Mohon tunggu...
Radfan Faisal
Radfan Faisal Mohon Tunggu... -

Wartawan, tinggal di Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lorong Gelap Marwah Daud Ibrahim

11 Oktober 2016   15:22 Diperbarui: 17 Oktober 2016   19:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua pekan terakhir, nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi mendominasi pemberitaan di hampir seluruh media. Setiap hari, pasti ada saja cerita mengenai sepak terjang pria asal Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Mulai kasus pembunuhan yang melilitnya, penipuan yang sudah banyak korbannya, sampai keberadaan padepokan yang didirikannya.

Hampir semua orang membicarakan sosok yang dikenal mampu menggandakan atau mengadakan uang itu. Aparat penegak hukum, politisi, birokrat, tokoh agama, budayawan, tokoh spiritual (saya sengaja membedakan tokoh agama dengan tokoh spiritual, karena belakangan kata spiritual telah mengalami penyempitan makna), maupun masyarakat umum.

Dimas Kanjeng dan padepokannya juga dibicarakan di hampir lintas disipliner. Baik itu dari agama dari sisi ritualnya, sosial dari gejala sosialnya, psikologi dari sisi kemampuannya mengendalikan pengikutnya, sampai fisika kuantum terkait kecepatannya mengadakan atau menggandakan uang yang diluar nalar orang kebanyakan.

Tak hanya menjadi obrolan di warung-warung kopi, Dimas Kanjeng dan padepokannya juga dibicarakan di banyak tempat. Mulai meja diskusi redaksi media, forum ilmiah perguruan tinggi, perkumpulan lembaga agama, sampai di meja-meja parlemen nusantara. Satu pertanyaan yang hampir sama mengemukanya, kemampuan apa yang dimiliki hingga bisa menarik puluhan ribu orang untuk bersimpuh meyakininya sebagai orang linuwih.

Semakin mengherankan ketika di barisannya ada sosok yang tak asing bagi dunia intelektual maupun politisi negeri ini. Ya, dialah Marwah Daud Ibrahim. Saya sebenarnya malas menjelaskan bagaimana latar belakang perempuan berjilbab ini. Karena latar belakangnya yang istimewa hampir tak berbekas saat dia menjadi martir bagi Taat Pribadi. Apalagi, hampir penduduk negeri ini sudah mengenalnya. Namun, tak apalah sekedar mengingatkan memori mengenai latar belakangnya, sekaligus sebagai bukti, bahwa kecerdasan intelektual yang tak dibarengi dengan keimanan juga muspro.

Baik semasa kecilnya di Soppeng, Sulawesi Selatan, dimana ia menjadi salah satu berlian yang cemerlang karena kecerdasannya. Hingga kemudian menjadi aktivis di Universitas Hasanuddin, dan melanjutkan kiprah di dunia akademik dengan mengambil gelar master komunikasi internasional American University.

Sampai kemudian menjadi salah satu orang kepercayaan Presiden ketiga BJ Habibie di Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Dari BPPT-lah, gelar doktor komunikasi internasional bidang satelit diraihnya. Ia lulus bukan dengan predikat pass atau merit, tapi distinction. Predikat yang setara dengan cumlaude. Karena itu pula, jabatan sebagai sekretaris umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) diamanahkan kepadanya. Pada waktu yang hampir bersamaan, ia kemudian menjajal dunia politik bergabung dengan Partai Golkar.

Tapi, sederet nilai akademik, pengalaman sebagai peneliti, ketokohannya sebagai politisi, serta keregiliusitasnya sebagai pentolan ICMI mendadak bopeng. Itu karena ia tampil menjadi pembela paling frontal saat Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi pesakitan di Polda Jatim. Apalagi, belakangan publik mengetahui jika Marwah menduduki jabatan sebagai Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi (PDKTP).

Indonesia gempar. Ya benar-benar gempar. Publik membicarakan peran sentralnya di yayasan tersebut. Ketika semua orang dekat Taat Pribadi perlahan meninggalkannya. Mulai dari raden, sultan, atau posisi apalah yang berada di lingkaran padepokannya, Marwah tampil dengan gagah berani membela sang guru besar padepokan.

Tentu tampilnya istri Ibrahim Taju ini menjadi santapan empuk media. Kemana Marwah melangkah, semua kamera menyorotinya. Ia tak mundur, ia melayani setiap wawancara media. Bukan hanya di padepokan, di Polda Jatim, di Mabes Polri atau dimanapun ia bertemu dengan awak media, Marwah selalu melayani sesi wawancara. Baik itu door stop, press conference, atau model wawancara lainnya.

Entah, apakah saat ini ia merasa bahwa posisi Taat Pribadi sebagai the most talked by the public, juga akan berdampak pada kredibiltasnya sebagai cendekia. Tidakkah ia khawatir akan dikucilkan semua orang, termasuk keluarga dekatnya sendiri. Tidakkah ia khawatir pilihannya untuk menjadi pembela Taat Pribadi juga menyusahkan anak-anaknya.

Namun, ibu 2 anak ini tidak bergeming. Ia tak ikut-ikutan sultan-sultan dan raden-raden Taat Pribadi, yang menghilang begitu junjungannya dikeler aparat Polda Jatim. Seabrek aktivitasnya diluar padepokan ia tangguhkan, ‘hanya’ demi membela anak mantan Kapolsek Gending itu. Demi pria yang ia sebut ‘sahabat’ itu, ia rela dihujat dan dicaci maki penduduk negeri ini.

Karena keteguhannya itu, saya sampai terkesima. Terutama saat ia berbicara panjang lebar di acara Indonesian Lawyer Club (ILC), pada Rabu (4/10) malam. Saya tak menyoroti dari sisi ‘kecerobohannya’ memaknai spiritualitas Taat Pribadi, namun lebih pada retorikanya dalam memahamkan audiens terkait kiprah pria yang lebih akrab disapa Dimas Kanjeng itu.

Marwah mengakui jika kemampuan Taat Pirbadi diluar rasionalitas yang jadi kesepakatan bersama. Ia melihat dari sisi metafisika, dimana ia menyebut kemampuan Taat sebagai bagian transdimensi. Yang tidak semua orang bisa, bahkan oleh seorang sufi sekalipun. Ia menganggap, apa yang dilakukan Taat adalah periode ketika ilmu pengetahuan sudah mentok, dan tak akan ada pembaruan lagi. Saat itulah menurut Marwah, dunia akan kembali meninggalkan rasionalitas dunia modern.

Penulis yang pernah menyusun skripsi dengan pendekatan Postmodernisme, kemudian menyandarkan keyakinan Marwah seperti penjelasan Pauline Rosenau (1992). Menurut Pauline, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat dari sisi industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, atau kehidupan dalam jalur cepat.

Pemikiran postmodernis cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern, Seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.

Sementara menurut Michael Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari best answer. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan postmodernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.

Itu sebabnya, Marwah tidak menyebut keyakinannya pada kemampuan Taat Pribadi sebagai kebenaran. “Saya tidak merasa paling benar, mari kita berproses untuk sama-sama mencari kebenaran itu. Saya juga tidak memaksakan keyakinan saya untuk juga diyakini orang lain. Jangan lihat persoalan ini hanya dari satu sudut pandang saja. Saya mencari kecocokan kemampuan ini dari bidang lain. Misalnya fisika kuantum atau disorientasi yang saya yakini,” begitu kata Marwah saat tampil di acara yang dipandu Karni Ilyas itu.

Karena itulah, pembelaannya pun tidak seperti pengikut lainnya, membabi-buta atau sekedar pokoknya. Ia mendefinisikan kesetiannya bukan dengan suka-suka, tapi dengan pendekatan ilmiah (tentu yang ia yakini sendiri). Mungkin karena dari sisi intelektualnya itulah (selain posisinya sebagai ketua yayasan), sebagian besar pengikut Taat Pribadi juga menghargai keberadaannya. Bahan, saat memberikan motivasi pada pengkut yang bertahan di padepokan, semuanya mengelu-elukannya, mencium tangannya, memeluknya, bahkan rela bertakbir untuknya.

Saya yakin, Marwah Daud Ibrahim sadar betul atas konsekuensi yang akan didapatkannya di kemudian hari. Perempuan yang pernah menjadi asisten peneliti Bank Dunia ini bukanlah seorang Ronin, yang kerap ikut arus kemanapun. Ia adalah samurai yang setia dengan segala tekad dan janji persahabatan. Ia menemani sang sahabat sekaligus menunjukkan konsistensinya untuk menghargai setiap kata yang pernah diucapkannya.

Dan ternyata, meski jalannya menurut hampir semua orang dinilai salah, Marwah tetap dihormati. Setidaknya itu keluar dari lisan mantan Ketum PBNU Hazyim Muzadi dan anggota DPR RI Akbar Faisal. “Kembalilah pada kami,” begitu kata keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun