Dua pekan terakhir, nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi mendominasi pemberitaan di hampir seluruh media. Setiap hari, pasti ada saja cerita mengenai sepak terjang pria asal Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Mulai kasus pembunuhan yang melilitnya, penipuan yang sudah banyak korbannya, sampai keberadaan padepokan yang didirikannya.
Hampir semua orang membicarakan sosok yang dikenal mampu menggandakan atau mengadakan uang itu. Aparat penegak hukum, politisi, birokrat, tokoh agama, budayawan, tokoh spiritual (saya sengaja membedakan tokoh agama dengan tokoh spiritual, karena belakangan kata spiritual telah mengalami penyempitan makna), maupun masyarakat umum.
Dimas Kanjeng dan padepokannya juga dibicarakan di hampir lintas disipliner. Baik itu dari agama dari sisi ritualnya, sosial dari gejala sosialnya, psikologi dari sisi kemampuannya mengendalikan pengikutnya, sampai fisika kuantum terkait kecepatannya mengadakan atau menggandakan uang yang diluar nalar orang kebanyakan.
Tak hanya menjadi obrolan di warung-warung kopi, Dimas Kanjeng dan padepokannya juga dibicarakan di banyak tempat. Mulai meja diskusi redaksi media, forum ilmiah perguruan tinggi, perkumpulan lembaga agama, sampai di meja-meja parlemen nusantara. Satu pertanyaan yang hampir sama mengemukanya, kemampuan apa yang dimiliki hingga bisa menarik puluhan ribu orang untuk bersimpuh meyakininya sebagai orang linuwih.
Semakin mengherankan ketika di barisannya ada sosok yang tak asing bagi dunia intelektual maupun politisi negeri ini. Ya, dialah Marwah Daud Ibrahim. Saya sebenarnya malas menjelaskan bagaimana latar belakang perempuan berjilbab ini. Karena latar belakangnya yang istimewa hampir tak berbekas saat dia menjadi martir bagi Taat Pribadi. Apalagi, hampir penduduk negeri ini sudah mengenalnya. Namun, tak apalah sekedar mengingatkan memori mengenai latar belakangnya, sekaligus sebagai bukti, bahwa kecerdasan intelektual yang tak dibarengi dengan keimanan juga muspro.
Baik semasa kecilnya di Soppeng, Sulawesi Selatan, dimana ia menjadi salah satu berlian yang cemerlang karena kecerdasannya. Hingga kemudian menjadi aktivis di Universitas Hasanuddin, dan melanjutkan kiprah di dunia akademik dengan mengambil gelar master komunikasi internasional American University.
Sampai kemudian menjadi salah satu orang kepercayaan Presiden ketiga BJ Habibie di Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Dari BPPT-lah, gelar doktor komunikasi internasional bidang satelit diraihnya. Ia lulus bukan dengan predikat pass atau merit, tapi distinction. Predikat yang setara dengan cumlaude. Karena itu pula, jabatan sebagai sekretaris umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) diamanahkan kepadanya. Pada waktu yang hampir bersamaan, ia kemudian menjajal dunia politik bergabung dengan Partai Golkar.
Tapi, sederet nilai akademik, pengalaman sebagai peneliti, ketokohannya sebagai politisi, serta keregiliusitasnya sebagai pentolan ICMI mendadak bopeng. Itu karena ia tampil menjadi pembela paling frontal saat Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi pesakitan di Polda Jatim. Apalagi, belakangan publik mengetahui jika Marwah menduduki jabatan sebagai Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi (PDKTP).
Indonesia gempar. Ya benar-benar gempar. Publik membicarakan peran sentralnya di yayasan tersebut. Ketika semua orang dekat Taat Pribadi perlahan meninggalkannya. Mulai dari raden, sultan, atau posisi apalah yang berada di lingkaran padepokannya, Marwah tampil dengan gagah berani membela sang guru besar padepokan.
Tentu tampilnya istri Ibrahim Taju ini menjadi santapan empuk media. Kemana Marwah melangkah, semua kamera menyorotinya. Ia tak mundur, ia melayani setiap wawancara media. Bukan hanya di padepokan, di Polda Jatim, di Mabes Polri atau dimanapun ia bertemu dengan awak media, Marwah selalu melayani sesi wawancara. Baik itu door stop, press conference, atau model wawancara lainnya.
Entah, apakah saat ini ia merasa bahwa posisi Taat Pribadi sebagai the most talked by the public, juga akan berdampak pada kredibiltasnya sebagai cendekia. Tidakkah ia khawatir akan dikucilkan semua orang, termasuk keluarga dekatnya sendiri. Tidakkah ia khawatir pilihannya untuk menjadi pembela Taat Pribadi juga menyusahkan anak-anaknya.