Mohon tunggu...
Raden Zulfikar
Raden Zulfikar Mohon Tunggu... Pengacara - Pekerja Teks Komersial

Seorang pembaca yang menulis, agar tidak hilang dari sejarah. Seperti kata Pram, 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Negeri para Tengkulak Royalti

9 Maret 2022   20:49 Diperbarui: 10 Maret 2022   13:40 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi (KPR live 2016)

Disrupsi digital dan preferensi konsumen telah menciptakan tantangan dan model bisnis baru di industri musik. Kemampuan teknologi digital telah mengubah model bisnis lama dari seluruh pemangku kepentingan di industri musik dunia baik dari performing rights organization yang mapan, penerbit musik, label rekaman, hingga stasiun radio dan televisi. 

Tercatat bahwa Indonesia menduduki Global Rank ke-33 dengan market size sebesar US$ 48,2 juta pada tahun 2019. Revenue dari rekaman musik pada tahun 2019 melalui layanan musik streaming tumbuh sekitar 53,9 persen atau sebesar US$ 26 juta dengan menduduki peringkat ke-37 (Global Music Report 2020).  

Kemudian pada tahun 2020, sumbangan subsektor musik untuk PDB Nasional adalah sebesar Rp5,98 triliun, atau sekitar 0,53 persen atas keseluruhan PDB nasional 2020. 

Pertumbuhan musik di 2020 sekitar -1,47 persen (Outlook Parekraf 2020, Kemenparekraf). Namun yang kini jadi pertanyaan, dari angka tersebut berapa banyak royalti yang masuk ke kantong para musisi?

Royalti yang Diterima Tidak Sepadan

Permasalahan industri musik tidak serta merta selesai dengan adanya layanan musik streaming, karena permasalahan yang kemudian timbul dari layanan streaming ini adalah biaya berlangganan yang dianggap terlalu murah berdampak ke pembayaran royalti terlalu kecil. 

Tahun 2019 lalu, rata-rata royalti yang dibayarkan Spotify kepada artisnya adalah sebesar 0,0032 dolar (atau sekitar 50 rupiah) per stream. Angka menyedihkan itu bahkan bukan keuntungan bersih untuk sang musisi. 

52 persen royalti dibayarkan langsung oleh Spotify ke label, dan belum lagi jika musisi tersebut menggunakan jasa aggregator yang umumnya akan memotong sekitar 30 persen, sehingga hanya sekitar 15 persen yang sampai ke tangan musisi. Maka jangan heran kalau musisi hanya mendapatkan receh saja dari karya ciptanya.

Seorang musisi independen bercerita bahwa royalti yang ia terima untuk salah satu lagu yang berhasil meraih 4,2 juta stream--angka yang sama sekali tidak sedikit--hanya sebanyak US$5.000, atau sekitar Rp 70 juta. Dan artis yang bersangkutan tidak terikat label mana pun, artinya, ia tidak harus berbagi royalti tersebut dengan label, cukup dengan distributor. 

Angka Rp 70 juta mungkin terlihat cukup besar, tapi tetap tidak sepadan bila dibandingkan dengan biaya produksi serta biaya promosi dari sebuah lagu atau album hingga nantinya mendapatkan jumlah streaming sebanyak itu. 

Ketimpangan antara musisi independen dengan musisi papan atas di bawah naungan label besar akan sangat terasa jika melihat royalti yang dibayarkan platform Spotify ke koceh para musisi.

Ego Sektoral Pemerintah

Pada 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ("PP 56"). 

Sebuah peraturan pelaksana dari UU Hak Cipta yang seharusnya sudah ada sejak tahun 2016, dua tahun setelah diperbaharui UU Hak Cipta.

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui PP 56 mengumumkan bahwa akan dibangun pusat data lagu yang datanya bersumber pada daftar umum ciptaan yang berisikan seluruh lagu musik yang dicatatkan pada daftar umum ciptaan yang disebut dengan Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM), konsep yang kurang lebih sama dengan konsep Portamento yang telah digagas oleh Irfan Aulia dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sejak 2017 lalu.

Kedua konsep pusat data musik yang digagas masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu menampung seluruh informasi dari sebuah lagu yang dibutuhkan untuk proses komersialisasi dengan format metadata yang memiliki ketersesuaian dengan ekosistem hak cipta internasional. Dualisme pusat data ini terjadi karena kurangnya koordinasi dan integrasi antar K/L. 

Padahal dengan konsep pusat data musik demikian, bisa terjadi sinergi antara K/L yang bersinggungan langsung dalam proses komersialisasi hak cipta lagu.

Misalkan, Kemenkumham mengatur mengenai katalog lagu, Ditjen Dukcapil Kemendagri yang mengatur mengenai data para musisi, serta Ditjen Pajak Kemenkeu yang mengatur mengenai pembayaran pajaknya.

Namun pada kenyataannya, ego sektoral memang sudah menjadi penyakit kronis dari Pemerintah yang sulit disembuhkan.

Tengkulak Royalti yang Diberi Kewenangan oleh Undang-Undang

Alih-alih melindungi hak para Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, PP 56 justru menambah daftar panjang pihak ketiga yang akan berdampak pada pemotongan royalti para musisi.

Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 1 butir 11 PP 56 menyatakan, bahwa LMKN adalah Lembaga bantu pemerintah (state auxiliary organ) non-APBN yang dibentuk oleh Menteri bertujuan untuk untuk menarik, menghimpun serta mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan Hak Ekonomi Pencipta. Jika non-APBN, lalu dari mana anggaran LMKN guna membiayai kegiatan operasional hariannya?

Permenkumham No. 20/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menyatakan bahwa LMKN dapat menggunakan Dana Operasional paling banyak 20 persen dari jumlah keseluruhan Royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya. 

Tak cukup demikian, LMKN pun diberi kewenangan untuk menggunakan Dana Cadangan, yaitu Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait yang tidak diketahui dan/atau belum menjadi anggota dari suatu LMK disimpan dan diumumkan oleh LMKN selama 2 (dua) tahun untuk diketahui Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait (hal ini dikenal juga dengan Unclaimed Royalty). 

Dengan demikian LMKN tersebut secara sah diberi kewenangan oleh undang-undang mengambil royalti pembiayaannya malah dibebankan ke musisi itu sendiri. Kebijakan tersebut tentunya juga akan memperkuat trust issue dari para musisi dan pencipta lagu kepada Pemerintah.

Sangat ironis ketika Pemerintah yang seharusnya membuat suatu lembaga guna menyejahterakan, tapi justru malah memberatkan musisi itu sendiri. 

Pemerintah seharusnya belajar dari aggregator musik dalam hal pengelolaan distribusi royalti yang komprehensif, dimana aggregator memberikan laporan yang akurat, terperinci, sehingga membuatnya ideal untuk distribusi royalti yang transparan dan efisien. Bukannya malah menjadi middleman pada ekosistem musik Indonesia. 

Sehingga dirasa perlu untuk Pemerintah bersinergi antara Kementerian dan Lembaga dengan membuat grand design yang menyangkut apa dan kemana arah strategi pembangunan sistem digital dan pengelolaannya, menyangkut perumusan tujuan, roadmap, pembagian tugas, serta milestone dari ekosistem musik di Indonesia yang menguntungkan para pelaku ekonomi kreatif subsektor musik. 

Maka, negara harus berperan bagaikan sebuah aquarium besar yang airnya selalu terjaga bersih, oksigennya cukup, dan tidak memotong jatah makanan ikan, sehingga beragam ikan-ikan bisa berenang dan tumbuh sehat di dalamnya.

***

Selamat Hari Musik Nasional!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun