Mohon tunggu...
Raden Zulfikar
Raden Zulfikar Mohon Tunggu... Pengacara - Pekerja Teks Komersial

Seorang pembaca yang menulis, agar tidak hilang dari sejarah. Seperti kata Pram, 'Menulis adalah bekerja untuk keabadian.'

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Negeri para Tengkulak Royalti

9 Maret 2022   20:49 Diperbarui: 10 Maret 2022   13:40 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi (KPR live 2016)

Pada 2021 lalu, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ("PP 56"). 

Sebuah peraturan pelaksana dari UU Hak Cipta yang seharusnya sudah ada sejak tahun 2016, dua tahun setelah diperbaharui UU Hak Cipta.

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui PP 56 mengumumkan bahwa akan dibangun pusat data lagu yang datanya bersumber pada daftar umum ciptaan yang berisikan seluruh lagu musik yang dicatatkan pada daftar umum ciptaan yang disebut dengan Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM), konsep yang kurang lebih sama dengan konsep Portamento yang telah digagas oleh Irfan Aulia dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sejak 2017 lalu.

Kedua konsep pusat data musik yang digagas masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu menampung seluruh informasi dari sebuah lagu yang dibutuhkan untuk proses komersialisasi dengan format metadata yang memiliki ketersesuaian dengan ekosistem hak cipta internasional. Dualisme pusat data ini terjadi karena kurangnya koordinasi dan integrasi antar K/L. 

Padahal dengan konsep pusat data musik demikian, bisa terjadi sinergi antara K/L yang bersinggungan langsung dalam proses komersialisasi hak cipta lagu.

Misalkan, Kemenkumham mengatur mengenai katalog lagu, Ditjen Dukcapil Kemendagri yang mengatur mengenai data para musisi, serta Ditjen Pajak Kemenkeu yang mengatur mengenai pembayaran pajaknya.

Namun pada kenyataannya, ego sektoral memang sudah menjadi penyakit kronis dari Pemerintah yang sulit disembuhkan.

Tengkulak Royalti yang Diberi Kewenangan oleh Undang-Undang

Alih-alih melindungi hak para Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, PP 56 justru menambah daftar panjang pihak ketiga yang akan berdampak pada pemotongan royalti para musisi.

Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 1 butir 11 PP 56 menyatakan, bahwa LMKN adalah Lembaga bantu pemerintah (state auxiliary organ) non-APBN yang dibentuk oleh Menteri bertujuan untuk untuk menarik, menghimpun serta mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan Hak Ekonomi Pencipta. Jika non-APBN, lalu dari mana anggaran LMKN guna membiayai kegiatan operasional hariannya?

Permenkumham No. 20/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menyatakan bahwa LMKN dapat menggunakan Dana Operasional paling banyak 20 persen dari jumlah keseluruhan Royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya. 

Tak cukup demikian, LMKN pun diberi kewenangan untuk menggunakan Dana Cadangan, yaitu Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait yang tidak diketahui dan/atau belum menjadi anggota dari suatu LMK disimpan dan diumumkan oleh LMKN selama 2 (dua) tahun untuk diketahui Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan pemilik Hak Terkait (hal ini dikenal juga dengan Unclaimed Royalty). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun