Berbulan-bulan berlalu, saya masih berkutat dengan kesibukan Ibu Kota. Hingga tiba ketika saya mendapat tugas dinas ke Bandung. Namun, apa yang terjadi? Ketika di Bandung, saya pun masih memilih untuk berkumpul bersama teman saya, bercerita tentang pekerjaan, dan hal lainnya. Pada saat itu, saya menyempatkan diri untuk singgah ke rumah, hanya untuk mengistirahatkan otak dari kepenatan pekerjaan.
Hingga pada pagi hari, seisi rumah telah kosong. Ternyata Ibu sedang pergi bersama dengan temannya. Tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba saja saya merasakan kehampaan, kekosongan, terasa sesuatu menusuk dada saya ketika saya dapati keadaan rumah sangat kosong, tanpa ada Ibu. Ternyata ini rasanya terbangun di rumah tanpa dibangunkan suara tua seorang wanita yang selalu familiar di telinga, ini rasanya terbangun di rumah tanpa adanya Ibu di dapur sedang memasakkan sarapan, ini rasanya hampa.
Akhirnya pada siang hari, Ibu pulang. Ibu menatap saya dengan senyum, sambil berkata, “Eh kaka, tumben banget masih di rumah.” Saya pun menyadari ada yang berbeda dari Ibu. Rambut yang mulai putih, dengan kerutan di wajahnya, dan tubuhnya yang tidak lagi proporsional, namun tetap cantik, Ibu. Ya, Ibu sudah tua. Saya pun tidak dapat mengembalikan waktu sehingga dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama Ibu. Dalam hati saya menangis. Begitu angkuhnya, begitu egoisnya diri saya, tidak memberikan waktu untuk bersama Ibu, terlalu sibuk dengan aktivitas diri, hingga untuk kedua kalinya saya tersadar bahwa Ibu tidak akan berada selamanya di dunia ini.
[caption caption="Mi Tiempo Para La Madre. Dok.pri"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H