Bagaimana dengan penyelesaian utang yang tidak ada jaminannya? Nasib Anda bisa jadi seperti si Robert teman saya. Menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, setelah sepuluh tahun berjuang apa hasilnya? Arang habis besi binasa. Menuntut penggantian kambing, hasilnya malah kehilangan sapi.
Gugatan Sederhana Yang Tidak Sederhana
Bagaimana dengan penyelesaian utang piutang atau ganti kerugian yang nilainya relatif kecil? Sebut saja di bawah Rp500 juta. Menurut hukum di Republik ini Anda bisa mengajukan gugatan sederhana ke pengadilan. Karena nilainya kecil, pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan dibuat sesederhana mungkin. Dipimpin hakim tunggal, pembuktiannya sederhana, selesai dalam 25 hari kerja, tidak ada upaya hukum banding atau kasasi. Yang tersedia hanya upaya keberatan dari pihak yang dikalahkan. Prosesnya menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 Tahun 2019 cepat dan mudah. Kelihatannya ada harapan untuk memperoleh keadilan melalui gugatan sederhana. Saya sebut 'kelihatannya' karena berbeda dengan fakta atau kenyataan.
Pada saat awal PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana diterbitkan, para pencari keadilan menyambut antusias lembaga hukum ini. Berharap keadilan dapat terwujud seperti yang diidam-idamkan walau pun dalam skala mini karena jumlah ganti rugi dalam perkara sederhana yang dibatasi hanya maksimal Rp.500 juta. Akan tetapi, bak pungguk merindukan rembulan, ternyata lembaga gugatan sederhana perlahan namun pasti ditinggalkan para pencari keadilan karena ternyata lembaga ini pun tak luput dari tangan-tangan kotor para mafia peradilan. Dalam perkara gugatan sederhana pun, oknum-oknum pengadilan mulai panitera pengganti hingga panitera, hakim hingga ketua pengadilan masih sudi cawe-cawe dalam perkara (baca: terima suap untuk mengatur putusan).
Lalu, bagaimana dengan ungkapan "lex semper dabit remedium, hukum selaku memberikan perbaikan?" Lupakan saja, itu hanya sekedar ungkapan kosong belaka. Selama aparatur pengadilan masih seperti hari ini: tidak berintegritas, dan doyan suap,  maka  selaku pencari keadilan anda lebih tepat untuk selalu mengingat ungkapan "Lex non semper remedium, hukum tidak selalu memberi perbaikan!".Â
Bukankah undang-undang jelas menyebutkan bahwa hakim dan pengadilan harus melakukan segala upaya secara maksimal guna mewjudkan keadilan bagi para pencari keadilan? Ketentuan undang-undang memang begitu, tapi faktanya adalah sebaliknya: para oknum pengadilan berjuamg maksimal mencari segala cara untuk memenuhi keinginan pihak yang memberi uang suap atau sogokan.Â
Saya tidak bermaksud melemahkan semangat para pencari keadilan untuk menempuh upaya hukum melalui lembaga pengadilan. Maksud dan tujuan saya adalah memberi peringatan kepada aparat pengadilan di Indonesia agar selalu mengingat sumpah jabatannya, menghidupkan kembali hati nuraninya dan hidup di jalan yang benar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum bukan mafia hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H