Eksekusi putusan perkara perdata merupakan puncak atau akhir dari proses upaya hukum yang dilakukan pencari keadilan guna mendapatkan keadilan yang telah diperjuangkan sejak awal melalui jalur litigasi atau pengajuan gugatan kepada pengadilan oleh penggugat.
Penggugat dalam suatu perkara perdata di pengadilan juga disebut sebagai pencari keadilan / justibelen yaitu pihak yang merasa hak atau kepentingannya telah dirugikan oleh orang lain atau pihak tertentu, oleh karenanya gugatan diajukan kepada Pengadilan tujuannya adalah agar hak atau kepentingannya yang telah dirugikan tersebut dapat dipulihkan kembali melalui putusan pengadilan biasanya melalui pengembalian kepada keadaan awal sebelum kerugian terjadi (reinstatement) atau dengan pembayaran sejumlah uang dari pihak yang menimbulkan kerugian atau dengan mengembalikan barang kepunyaan penggugat, dan seterusnya.
Terhadap perkara perdata di atas, Â putusan pengadilan yang diharapkan penggugat adalah putusan yang amarnya merupakan suatu penghukuman (condemnatoir). Selain putusan condemnatoir, terdapat pula putusan declaratif yang amar putusannya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan dan putusan constitutief yang amar putusannya dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru.
Putusan declaratif dan constitutief tidak memerlukan eksekusi oleh pengadilan karena sifatnya yang hanya menerangkan, meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum.
Sebaliknya putusan condemnatoir yang amarnya merupakan penghukuman terhadap pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, yang dapat terdiri dari penghukuman membayar sejumlah uang, penyerahan suatu barang, pelaksanaan suatu perbuatan pekerjaan dan seterusnya hingga penghukuman pihak yang kalah untuk tidak melakukan sesuatu, dibutuhkan peran pengadilan dalam menjalankan eksekusi putusan.
Terkait judul tulisan di atas, permasalahan dalam eksekusi suatu putusan perdata yang dimaksud adalah permasalahan dalam eksekusi suatu putusan condemnatoir khususnya permasalahan yang ada atau timbul di Pengadilan Negeri (PN), di mana PN adalah pihak yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan dan menjalankan eksekusi seperti halnya peran jaksa dalam suatu putusan pidana. Faktanya adalah sangat banyak putusan pengadilan (condemnatoir) tidak dieksekusi (tidak diajukan), gagal dieksekusi atau mandek/macet eksekusi.
Eksekusi di Pengadilan Negeri
Terkait putusan condemnatoir yang tidak diajukan eksekusinya kepada pengadilan negeri, sebabnya bisa bermacam-macam: pihak yang kalah bersedia menjalankan putusan secara sukarela, terjadi perdamaian, pihak yang kalah menghilang/ tidak dapat ditemukan, meninggal dunia, sudah tutup/ bangkrut, tidak ada harta yang dapat disita, hingga tidak mampu membayar biaya eksekusi terutama biaya tidak resmi atau imbalan uang yang diminta oknum pengadilan.
Banyak dari kalangan masyarakat awam pencari keadilan yang jadi pemohon eksekusi merasa kecewa, frustrasi, putus asa, kehilangan harapan atau punya pengalaman pahit berurusan dengan pengadilan dikarenakan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) tidak dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang diharapkan. Penyebab utamanya adalah integritas staf pengadilan yang di bawah standar.
Sebagian besar pencari keadilan/ pemohon eksekusi dihadapkan kepada perilaku pejabat pengadilan yang tidak sesuai ketentuan kode etik dan perilaku pejabat pengadilan (KEPPP): Kode Etik Perilaku Hakim (KEPPH) Kode Etik Perilaku Panitera dan Kode Etik Perilaku Juru Sita (KEPPP-JS), yang mana khusus untuk pelanggaran terkait eksekusi ini sangat minim tindakan tegas dari Mahkamah Agung terhadap oknum pelakunya.
Motif Imbalan dan Permintaan Uang dalam Pelanggaran SOP
Yang paling dominan permasalahan eksekusi adalah terkait pelanggaran Standar Operasional dan Prosedur (SOP), terutama menyangkut waktu penyelesaian suatu tahapan dalam eksekusi. Contoh: Permohonan eksekusi suatu putusan yang diajukan kepada Pengadilan untuk penerbitan penetapan eksekusi adalah 255 menit (4 jam 25 menit, kurang dari satu hari kerja)  paling lambat 7 (hari) sebagaimana ketentuan SOP Dirjen Badilum  Mahkamah Agung Nomor 1228 Tahun 2018.
Dalam SOP Eksekusi Riel No. 1228 Tahun 2018 tersebut paling lambat dalam waktu 4 jam 30 menit dari sejak diajukan oleh pemohon penetapan eksekusi telah diterbitkan oleh Ketua Pengadilan, di mana agenda pertama adalah pelaksanaan aanmaning/ teguran kepada pihak yang kalah. Â Akan tetapi fakta atau realitasnya, jangka waktu 7 hari sesuai SOP selalu diabaikan. Sebagian besar penetapan eksekusi oleh Ketua Pengadilan diterbit lebih dari satu bulan lamanya, kecuali ada imbalan sejumlah uang sebagai pelicin atau pendorong. Â Ironis? Ya, akan tetapi begitulah faktanya suka atau tidak suka.
Hampir tidak pernah ditemukan Penetapan Eksekusi diterbitkan dalam satu hari kerja oleh Ketua Pengadilan. Pengalaman penulis selaku pemohon, penetapan eksekusi oleh Ketua Pengadilan paling cepat setelah lewat satu bulan sejak pengajuan eksekusi disampaikan.
Apa hambatannya untuk dapat menerbitkan penetapan eksekusi sesuai SOP yakni selesai dalam 1 (satu) hari kerja paling lambat 7 (tujuh) hari? Jawabnya bukan karena kendala teknis atau administrasi melainkan karena perilaku pejabat pengadilan yang mengharapkan pemberian imbalan uang dari pemohon eksekusi.
Di dalam pikiran atau persepsi pejabat pengadilan eksekusi sama dengan uang. Pemohon eksekusi dianggap akan mendapat sejumlah uang bukan dalam konteks ganti rugi melainkan dianggap seolah-olah mendapat rezeki nomplok atau durian jatuh oleh karenanya pejabat pengadilan menganggap harus mendapat bagian dari hasil eksekusi. Makin besar nilai uang objek eksekusi semakin besar permintaan imbalan uang oleh oknum pengadilan. Ada oknum yang terang-terangan minta uang, tetapi lebih banyak menggunakan modus memperlambat penerbitan penetapan eksekusi atau tidak memprosesnya sama sekali hingga si pemohon datang memohon-mohon agar penetapan eksekusi diterbitkan.
Contoh lain, suatu penetapan eksekusi tidak diterbitkan atau diperlambat oleh Ketua Pengadilan dikarenakan berkolusi dengan pihak termohon eksekusi. Maknanya adalah oknum pengadilan menerima uang suap dari pihak yang kalah untuk menghambat dijalankan eksekusi atau eksekusi digagalkan dengan 1001 cara. Jika eksekusi gagal, pihak yang menang hanya bisa gigit jari, apes bak kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah banyak uang, tenaga, waktu, pikiran dihabiskan dalam pengajuan perkara kepada Pengadilan, setelah menang dan putusan inkracht ternyata eksekusi putusan gagal/ tidak dijalankan oleh Pengadilan padahal untuk permohonan eksekusi uang dan waktu sudah banyak terbuang.
Dari sekian banyak permasalahan eksekusi putusan pengadilan negeri penyebab utama terkait moral dan perilaku pejabat pengadilan yang tidak berintegritas. Hampir semua masalah eksekusi ditimbulkan oleh integritas buruk oknum ketua pengadilan.
Bagaimana dengan kualitas atau kapasitas pejabat pengadilan? 95% dari pejabat yang berwenang dan terlibat dalam proses eksekusi memiliki kemampuan dan kualitas yang tinggi, hanya segelintir ketua pengadilan, panitera dan juru sita yang tidak tahu atau tidak mampu menjalankan tugas, apalagi tidak ada hal yang luar biasa dalam menjalankan eksekusi.
Di Negara Hukum Republik Indonesia terdapat lebih 700 pengadilan negeri sayangnya tidak satu pun di antaranya yang punya "Program 1 Hari Kerja  Penyelesaian Penetapan Eksekusi"
Apa kendala pengadilan tidak mencanangkan penetapan eksekusi selesai dalam 1 hari kerja? Tidak ada, kecuali berkaitan dengan kualitas moral dan integritas pejabat pengadilan
Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Harus Dimudahkan
Di era teknologi informasi, komputerisasi dan otomatisasi yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat baik di kota mau pun di pelosok desa, pengadilan negeri Indonesia belum beranjak dari "zona nyaman": memproses permohonan eksekusi sama seperti masa di awal kemerdekaan, paling cepat satu bulan. Satu-satunya alasan pengadilan enggan mempermudah dan mempercepat pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan adalah karena tidak ingin kehilangan sumber penghasilan tambahan berupa pemberian imbalan uang.
Permasalahan eksekusi pada pengadilan negeri  sejatinya adalah permasalahan yang dengan sengaja ditimbulkan, sengaja dibuat, dari tidak ada menjadi ada, dari mudah dipersulit, dari sebentar diperlambat, dari sederhana dibikin rumit, dari transparan dibuat gelap, tertutup seolah-olah sakral, dan seterusnya yang mana semuanya ini merupakan refleksi dari kualitas moral atau integritas buruk dari pejabat pengadilan
SOP Versus Fakta
Berapa lama penuntasan suatu eksekusi putusan riel / condemnatoir? Merujuk kepada Standar Operasional dan Proaedur  (SOP) Ditjen Badilum Mahkamah Agung No. 1228 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
- Penetapan Eksekusi / Anmaaning: Sejak permohonan diterima hingga terbit penetapan eksekusi aanmaning oleh Ketua Pengadilan membutuhkan 255 menit atau kurang dari 5 jam kerja. Untuk mudahnya dianggap satu hari kerja (SOP MA-RI). Fakta di lapangan penetapan eksekusi / aanmaning diterbitkan paling cepat setalah satu bulan, bisa tiga bulan dan bisa pula tidak diterbitkan jika permintaan imbalan uang tidak dipenuhi pemohon.
- Pelaksanaan aanmaning 8 hari kerja, yang menurut hemat penulis terlalu lama, sudah saatnya Mahkamah Agung menerbitkan aturan baru untuk  memangkas waktu aanmanning menjadi maksimal 3 hari. Pelaksanaan aanmaning kedua 8 hari kerja, sudah saatnya MA RI mencabut aturan ini dikarenakan merugikan pemohon eksekusi.Â
Ketika suatu putusan pengadilan  telah inkracht pihak yang menang pasti meminta kepada pihak yang kalah untuk menjalankan putusan, oleh karenanya adalah tidak efisien dan hanya buang waktu apabila anmaaning sampai harus dilakukan dua kali. Bahkan parahnya, banyak ditemukan setelah dua kali aanmaning namun pihak yang kalah tetap bandel ketua pengadilan malah meminta kedua pihak untuk berdamai, yang artinya perkara yang selesai seolah-olah menjadi baru dimulai. Oknum ketua pengadilan yang seperti ini, menunda-nunda eksekusi/  buying time sesuai kehendak termohon eksekusi pasti didasarkan atas pemberian uang.
- Pengosongan: Tahap eksekusi selanjutnya adalah penetapan pengosongan rekening atau rumah atau bidang tanah memerlukan waktu 30 menit (Sesuai SOP). Fakta di lapangan penetapan pengosongan bisa 1 sampai 3 bulan. Pelaksanaan Pengosongan versi SOP adalah 300 menit atau 5 jam kerja. Fakta di lapangan paling cepat satu minggu.
Penyerahan hasil pengosongan. Menurut SOP seketika diserahkan kepada pemohon. Fakta di lapangan bisa satu minggu, satu bulan, berbulan-bulan bahkan tahunan tergantung kehendak ketua pengadilan.
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan adalah terdapat jurang perbedaan antara pelaksanaan eksekusi berdasarkan SOP Mahkamah Agung dengan fakta di lapangan. Apabila pengadilan menjalankan eksekusi putusan secara benar  diperlukan waktu satu bulan agar eksekusi tuntas, akan tetapi realitas praktik di pengadilan penuntasan eksekusi sebagian besar berbulan-bulan bahkan tahunan, hal mana 99% disebabkan rendahnya kualitas moral/ integritas pejabat pengadilan.
Solusi pertama untuk memperbaiki moral dan integritas pejabat pengadilan berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan adalah dengan sosialisasi intensif secara nasional tentang SOP Eksekusi Putusan agar seluruh rakyat mengetahuinya. Setelah itu, jika ada pejabat pengadilan yang nekat melanggar SOP tersebut, Mahkamah Agung harus bersikap tegas dengan sanksi pemecatan dan pidana.
Terobosan sederhana seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung yang mengakibatkan lembaga peradilan menjadi lembaga terakhir yang berbenah diri, lembaga yang paling lambat menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman dan peradaban.
Anekdot tentang pengadilan yang mengatakan: "Hanya penguasa dan orang kaya yang dapat memperoleh keadilan karena harganya mahal dan langka", terasa mengandung kebenaran karena mudah ditemukan faktanya dalam kehidupan sehari-hari.
Jakarta, Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H