Mohon tunggu...
Anak Lanang
Anak Lanang Mohon Tunggu... -

hanya rakyat biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agamamu, Agamaku & Agama-agama Kita

1 Agustus 2012   13:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Berikan mutiara kepada mereka yang mengerti nilai mutiara. Kepada mereka yang mengapresiasinya. Kepada mereka yang akan menghargainya.

“Seorang yang memiliki pengetahuan dan tidak berbagi dengan orang lain yang siap untuk menerimanya, adalah seorang kikir, pelit. Berbagilah dengan mereka yang siap.

“Tuhan ada dimana-mana, di Barat dan di Timur, di Selatan dan di Utara. Wajah-Nya ada dimana-mana, tetapi untuk pemusatan kesadaran kita membutuhkan kiblat…. maka, dalam setiap agama ada kiblat.

“Jagalah tali persahabatan dengan sesama manusia….. ya, dengan mereka yang berjiwa manusia, bukan berbadan manusia saja……” Beliau selalu menasihati kita untuk menjauhi mereka yang hanya berbadan manusia. Tidak perlu membenci mereka, hanya menjauhi saja, “Karena, kehewanian mereka bagaikan penyakit menular. Nanti, pada suatu ketika, jika kau sudah memiliki kemampuan untuk mengobati mereka, silakan mendekati mereka…. Tetapi, jangan dulu, jangan sekarang…. Kemampuan seperti itu belum ada dalam diri kita.”

Din, atau melakoni agama, menjalani ajaran agama, bagi beliau adalah proses seumur hidup, “Jika kau menganggap dirimu sudah menjadi Ulama, sudah memiliki Ilmu – maka kau akan mati dengan ilmumu itu. Segitu-gitu saja yang kau miliki. Kau tidak akan berkembang lebih lanjut.

“Seorang Ulama Sejati tidak pernah berhenti menggali diri…. Ia menemukan pemahaman-pemahaman baru dalam dirinya, bukan saja dengan membaca ulang kitab suci, tetapi dengan memahami ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta. Dimana-mana.”

Ya, Ayat-Ayat Allah bertebaran dimana-mana, “Ada yang dirangkum dan ditulis, dicetak…. Kita menyebutnya Al-Qur’an, Bacaan Mulia. Ada yang menyebutnya Bhagavad Gita, Nyanyian Mulia. Ada pula yang menyebutnya Injil, Berita Mulia. Semuanya mulia.

“Aku percaya,” lanjut Guruku, “bahwa semua itu berasal dari Satu, dari Allah. Semuanya, tanpa kecuali, berasal dari Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa.

“Dulu, aku pun sering mempersoalkan teman-teman Hindu yang kuanggap memuja berhala….. Tetapi, kemudian kupahami bahwa apa yang kuanggap berhala, adalah kiblat mereka. Mereka menggunakan semua itu sebagai sarana untuk memusatkan kesadaran mereka, sebagaimana aku menggunakan kaligrafi, bahkan gambar Mekah Shariff sebagai sarana untuk pemusatan kesadaranku.”

Dengan bekal pemahaman agama seperti inilah aku kembali ke negeri asalku, ke tanah air, ke Indonesia….. dan, awal-awalnya masih oke….. tetapi, lambat-laun, pemahaman agama yang berkembang disini sungguh membingungkan aku.

Agama tidak lagi menjadi sarana.
Agama disejajarkan dengan Tuhan, dianggap absolut. Begitu pula dengan kitab suci…. Dan, yang lebih celaka lagi, Manusia Indonesia, oleh lembaga yang merasa paling kompeten, tidak lagi diperkenankan untuk memahami aajaran agama sesuai dengan kesadarannya. Ia tidak diperkenankan untuk berijtihad. Pemahaman agama dibungkus rapi dalam kapsul, di pak, dan diberi tanda, “Sesuai dengan …..” Dan, hanyalah pak atau botol bertanda “Sesuai dengan ……” itulah yang diperjual-belikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun