Sirkulasi termohalin adalah gerakan massa air yang didorong oleh perbedaan densitas, yang dihasilkan dari variasi suhu dan salinitas. Sirkulasi ini berperan penting dalam distribusi panas di seluruh dunia, yang pada gilirannya mempengaruhi iklim global. Di daerah kutub, air yang dingin dan kaya garam tenggelam ke dasar laut, membentuk arus bawah laut yang kuat yang bergerak menuju wilayah tropis. Proses ini dikenal sebagai "sabuk penghantar global" (global conveyor belt), sebuah sistem arus laut yang membawa panas dari daerah tropis ke daerah kutub dan sebaliknya.
Perubahan dalam salinitas, misalnya karena mencairnya es di kutub akibat pemanasan global, dapat mengganggu sistem ini. Ketika es mencair, air tawar dilepaskan ke laut, mengurangi salinitas di sekitar kutub. Penurunan salinitas ini mengurangi densitas air, sehingga memperlambat sirkulasi termohalin. Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan iklim yang signifikan, termasuk pendinginan di Eropa Utara dan perubahan pola hujan di berbagai wilayah di dunia.
2. Pengaruh Salinitas Terhadap Titik Beku Air Laut
Salah satu sifat penting yang dipengaruhi oleh salinitas adalah titik beku air laut. Air tawar membeku pada suhu 0C, namun air laut, karena kandungan garamnya, membeku pada suhu yang lebih rendah, sekitar -2C. Ini berarti bahwa di daerah kutub, air laut dapat tetap cair pada suhu di bawah titik beku air tawar. Hal ini penting dalam proses pembentukan es laut dan siklus tahunan lapisan es di kutub.
Perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi ketebalan dan luas es laut. Ketika salinitas meningkat, es laut yang terbentuk menjadi lebih tipis dan lebih rapuh. Sebaliknya, penurunan salinitas dapat menyebabkan pembentukan es yang lebih tebal dan lebih luas. Fenomena ini penting dalam konteks perubahan iklim, karena lapisan es laut mempengaruhi albedo (kemampuan permukaan untuk memantulkan sinar matahari), yang pada gilirannya mempengaruhi pemanasan global.
Pengaruh Garam Terhadap Kehidupan Laut
Salinitas merupakan faktor kunci yang mempengaruhi distribusi dan keberlanjutan kehidupan di lautan. Sebagian besar organisme laut, dari plankton hingga mamalia besar seperti paus, telah beradaptasi dengan kondisi salinitas tertentu. Perubahan salinitas dapat berdampak besar pada osmoregulasi, yaitu proses biologis di mana organisme mengatur keseimbangan air dan ion di dalam tubuh mereka.
1. Adaptasi Organisme Laut Terhadap Salinitas
Organisme laut diklasifikasikan berdasarkan kemampuan mereka untuk bertahan di lingkungan dengan salinitas yang bervariasi. Organisme stenohalin hanya mampu bertahan pada kisaran salinitas yang sempit, sedangkan organisme euryhalin dapat bertahan di lingkungan dengan fluktuasi salinitas yang lebih besar. Misalnya, ikan laut seperti hiu dan tuna adalah contoh organisme stenohalin yang membutuhkan salinitas konstan untuk bertahan hidup. Di sisi lain, spesies seperti salmon dan belut adalah euryhalin, yang mampu bermigrasi antara air tawar dan air laut selama siklus hidupnya.
Dalam ekosistem estuari, di mana air tawar bertemu dengan air laut, terdapat variasi salinitas yang sangat besar. Organisme yang hidup di daerah ini, seperti moluska dan krustasea, memiliki kemampuan adaptasi yang unik untuk bertahan hidup di lingkungan dengan fluktuasi salinitas yang tinggi. Namun, perubahan salinitas yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pembuangan limbah atau pengalihan aliran sungai, dapat mengganggu keseimbangan ekosistem ini dan mengancam keberlanjutan spesies yang ada.
 2. Dampak Perubahan Salinitas Terhadap Jaringan Makanan Laut