Tulisan ini merupakan jawaban dari berita tentang keheranan Presiden Jokowi terkait penerimaan pajak yang selalu dibawah target. Presiden Jokowi mengatakan bahwa dilihat rasio 10 tahun terakhir ini hanya naik 0,1%. Sejak tahun 2005-2013 penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Kemudian juga tax coverage ratio hanya 53%. Dan PPN yang paling potensial hanya 50%.
Jawaban saya tentu dalam perspektif sebagai pegawai DJP. Pegawai pajak yang setiap hari kerja ngantor di kantor pajak. Sebagai orang pajak yang sudah belasan tahun berhubungan dengan Wajib Pajak, saya paham kelemahan dan kekurangan DJP agar tax ratio meningkat. Histori DJP membuktikan bahwa nominal pajak yang dikumpulkan selalu naik tetapi tax ratio tetap stagnan. Pasti ada yang salah. Berikut opini saya.
Otonomi Pajak
Jawaban pertama untuk meningkatkan tax rasio adalah dengan melakukan perubahan radikal dalam organisasi pengumpul pajak. Disebut radikal, karena organisasi pengumpul pajak harus keluar dari birokrasi. DJP adalah instansi yang pertama dan pionir dalam reformasi birokrasi. Bahkan di Kementrian Keuangan, esolon I lain boleh dibilang ketinggalan dalam hal reformasi dibanding DJP. Dan DJP sering menjadi benchmark modernisasi. Itu fakta.
Reformasi jilid I DJP berlangsung 2002-2008 dengan agenda:
- Perubahan struktur organisasi menjadi function type. Tujuannya untuk meningkatkan pelanan pada Wajib Pajak. Maka lahirlah TPT (tempat pelayanan terpadu), outbond centre (kemudian menjadi Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan, KLIP), dan adanya petugas AR yang melayani dan sekaligus mengawasi Wajib Pajak.
- Pelayanan satu atap di KPP dengan melebur Karikpa dan KPPBB. Kemudian fungsi keberatan dipindah ke Kanwil.
- Membentuk KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama sesuai skala Wajib Pajak.
- Restrukturisasi kantor pusat DJP dan DJP. Kantor pusat fokus pada kebijakan, dan kanwil berfungsi sebagai koordinator antar KPP.
- Memperkenalkan transformasi sumber daya aparatur, proses bisnis, dan teknologi informatika sehingga manajemen DJP selalu up-to-date.
- Menerapkan fungsi pengawasan internal dan investigasi internal, yaitu KITSDA. Unit ini termasuk unit yang paling terkenal "galak"nya baik di pegawai DJP maupun pegawai Kementrian Keuangan lainnya. Operasi tangkap tangan KPK beberapa justru dimulai dari unit ini.
- Remunerasi pegawai. Jika kementrian lain baru ramai ngomongin remunerasi tahun 2014 ini, DJP sudah mempraktekkan sejak dulu.
- Perubahan Undang-Undang perpajakan yaitu UU KUP, UU PPh, dan UU PPN. UU KUP yang sekarang berlaku terkenal dengan konsep "equal treatment" antara DJP dan Wajib Pajak.
Reformasi jilid I kemudian disambung dengan reformasi jilid II. Rencana yang paling ambisius dalam reformasi jilid II ini adalah program PINTAR. Program PINTAR ini mengadopsi "best practices" sistem administrasi perpajakan di dunia. Ya, konsepnya terbaik di dunia, baik dalam aspek administrasi perpajakan maupun pengawasan perpajakan. Sayang, program PINTAR ini gagal tender dan tidak dilanjutkan.
Sistem informasi di DJP seperti baju rombeng yang banyak tambalannya. Disana-sini banyak yang rombeng, kemudian ditambal. Ada perlu tambahan sana-sini kemudian "dijahit". Tidak terintegrasi secara konsep dan teknologi. Banyak aplikasi yang digunakan tetapi tidak "saling kenal". Ini yang saya rasakan sebagai pegawai DJP. Ini karena PINTAR gagal tender.
Walaupun demikian, transformasi teknologi DJP tetap lanjut. Dengan konsep masing-masing. Saat ini, Wajib Pajak sudah bisa menikmati e-registration, e-faktur pajak, e-filling, e-SPT, e-billing dan banyak lagi fasilitas elektronik yang memudahkan Wajib Pajak.
Pertanyaannya, setelah gagal mengadopsi best practice dibidang teknologi informasi, reformasi apa lagi? Jawabannya adalah #OtonomiPajak. Dengan otonomi pajak, DJP akan berbenah dan mengadopsi best practices dalam administrasi perpajakan secara komprehensif. Berikan kewenangan kepada administrator pajak untuk melakukan upaya apapun dalam rangka meningkatkan tax ratio.
Rencana untuk meningkatkan tax ratio sudah diupayakan. Ide-ide dan usulan terbaik sudah disampaikan. Namun pada akhirnya berujung pada kendala birokrasi. DJP bagian dari pemerintahan. Kewenangan ada di instansi lain. Dalam hal instansi lain menolak untuk menyetujui, maka ide terbaik pun berhenti sebatas usulan. Hanya diatas kertas.
Wahju K. Tumakakan mengatakan bahwa Negara yang butuh otonomi pajak. Kantor pajak membutuhkan otonomi pajak untuk melakukan reformasi konprehensif. Kantor pajak harus diberikan kewenangan untuk meningkatkan tax ratio. Republik ini perlu penerimaan pajak yang besar untuk membiayai program-program besar. Itu!
Reformasi sebelumnya terbukti telah memberikan lonjakan penerimaan pajak. Lanjutkan reformasi DJP dengan #OtonomiPajak
Banyak gagasan bagus yang disampaikan teman-teman pegawai DJP. Secara umum saya lihat muaranya ke arah best practice dengan kata kunci administration reform seperti artikel berikut : Indonesia Butuh Badan Otonomi Pajak, Otonomi Bagi Otoritas Pajak Indonesia adalah Kunci Keberhasilan Pemerintah Baru, Administrasi Pajak Ideal Masa Depan, Transformasi Kelembagaan: Mewujudkan DJP Sebagai Lembaga Administrasi Perpajakan Yang Terpercaya, Blueprints Kelembagaan Badan Otonom Penerimaan Negara.
Buka Semua Rekening Bank
Ini bukan gagah-gagahan kantor pajak Indonesia saja. Tetapi standar pembukaan rekening koran sudah menjadi agenda OECD dan Pemimpin G20. Indonesia merupakan anggota G20. Dan Indonesia telah menandatangani konvensi. Maka tidak ada alasan lain untuk tidak ikut arus besar (mainstream). Bagi yang belum paham manfaatnya silakan tonton video berikut:
Jadi, jangan berharap tax ratio naik jika masalah data pun masih MASALAH. Sekedar contoh: PPATK-nya Australia itu melaporkan hasil analisanya ke ATO (kantor pajak Australia). Laporan tersebut kemudian menjadi bahan analisa kepatuhan perpajakan setiap orang dan perusahaan (biasa disebut CRM).
Sebagai petugas pajak, saya memahami betul trik-trik Wajib Pajak menghindari membayar pajak. Data berdatangan dari instansi lain agar dimanfaatkan oleh DJP. Tetapi data yang paling afdol adalah rekening koran. Wajib Pajak sudah mati kutu jika rekening koran diperlihatkan. Inilah kenapa banyak yang menentang rekening koran dibuka oleh kantor pajak. Banyak pengusaha dan orang kaya yang berkepentingan agar kantor pajak seperti macan tidur dan ompong serta kukunya rontok. Kalaupun bangun, dia cuma bisa mengaum. Menyedikan si macan!
Penolakan pembukaan rekening bank berasal dari semua kalangan. Berikut 2 contoh berita penolakan pembukaan rekenng bank: Bank Domestik Tolak Pembukaan Rekening Warga AS, OJK Sindir Otoritas Pajak Terkait Pembukaan Rekening Nasabah.
Berikan Motivasi
Mengutip ucapannya Ary Ginanjar sang maestro, bahwa kinerja itu perkalian kapasitas dan motivasi. Kapasitas perlu tetapi jika kapasitas itu tidak digerakkan, atau tidak bekerja dengan optimal maka dia bekerja hanya sebagian dari kapasitas. Saya yakin pegawai DJP yang berjumlah 33.000 adalah pegawai pilihan. Memang tidak semua sesuai harapan, tetapi mayoritas dari itu merupakan orang-orang terpilih. Tetapi orang-orang terpilih tersebut tidak ada artinya jika demotivasi!
[caption id="attachment_350839" align="alignnone" width="712" caption="Scumacher menjadi juara karena mesin yang canggih, keahlian tinggi, dan energi super"][/caption]
Bayangkan jika Schumacher balap dengan mesin Formula One tetapi menggunakan bahan bakar minyak oplosan. Dijamin akan tetap kalah. Mungkin saja bisa jalan dan sampai finish tetapi yang terakhir :(
[caption id="attachment_350915" align="alignnone" width="983" caption="Kecepatan kereta kuda seperti ini ditentukan oleh kuda yang paling lambat"]
Bagaimanapun, pegawai pajak selalu berpikir rasional. Tempat mana yang lebih menguntungkan, itulah yang diambil. Teman-teman saya sendiri banyak yang pindah ke swasta menjadi konsultan pajak karena di DJP dia tidak memiliki harapan. Tidak ada motivasi agar tetap bekerja untuk DJP. Jika ada tempat lain yang bisa membayar lebih mahal dan lebih nyaman, tentu memilih tempat yang lebih nyaman dibandingkan dengan tempat yang jauh dari keluarga dengan gaji yang tidak sebanding dengan risiko yang dia tanggung.
Dimanapun berada, pegawai pajak memiliki risiko tinggi. Mulai dari orang yang menyangka kaya seperti Gayus sampai ancaman keselamatan dirinya dan keluarga. Imej buruk seperti itu ditambah lagi dari sisi internal yang tidak mengayomi. Lebih banyak ancaman daripada penghargaan.
Bagaimana bekerja secara maksimal jika sebagian besar pegawai "menyelamatkan diri masing-masing". Suatu keberuntungan jika tidak dihukum! Lebih baik bekerja sedikit daripada bekerja banyak tetapi penuh risiko. Yang penting sampai finish walaupun dengan jalan kaki santai. Bagaimana bisa mengejar target yang sudah ditentukan Menkeu??
Tenaga pemasaran di perusahaan mendapat insentif jika telah mencapai target. Makin besar kontribusi si pemasar ke perusahaan, makin besar insentif yang diberikan. Maka tenaga pemasar mungkin saja lebih besar penghasilan dibandingkan bagian lain. Diskriminasi ini jangan dibaca bahwa bagian lain tidak penting. Satpam perusahaan tentu penting. Tanpa mereka, perusahaan mungkin menjadi objek pencurian. Bagian administrasi juga penting, karena tanpa mereka pemilik bisa jadi tidak tahu untung atau rugi. Semua bagian penting. Tetapi orang yang memberikan kontribusi terbesar untuk pendapatan mendapat porsi yang lebih besar.
Jadi, berikan pegawai pajak motivasi  agar mereka bekerja dengan OPTIMAL. Berikan kepastian reward agar mereka bekerja dengan motivasi paling tinggi.  Itu (MTG mode on)!
Terakhir, mari kita kerja. Kerja dan kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H