Mohon tunggu...
Raden Agus Suparman
Raden Agus Suparman Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Pajak

Raden Agus Suparman, S.E., S.Ak., M.Si. telah menjadi praktisi pajak sejak 1995. Dimulai dari fungsional pemeriksa pajak (1995 sd 2010), Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan (2010 sd 2014). Lanjut mutasi ke Kepala Seksi Pengawasan di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama (2014 sd 2018), dan KPP Pratama Bandung Tegallega sampai pensiun dini (2018 sd 2022). Setelah pensiun dini, bergabung di Taxprime Academy, kemudian mendirikan PT Botax Consulting Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjawab Keheranan Jokowi

31 Oktober 2014   15:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04 3488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan jawaban dari berita tentang keheranan Presiden Jokowi terkait penerimaan pajak yang selalu dibawah target. Presiden Jokowi mengatakan bahwa dilihat rasio 10 tahun terakhir ini hanya naik 0,1%. Sejak tahun 2005-2013 penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Kemudian juga tax coverage ratio hanya 53%. Dan PPN yang paling potensial hanya 50%.

Jawaban saya tentu dalam perspektif sebagai pegawai DJP. Pegawai pajak yang setiap hari kerja ngantor di kantor pajak. Sebagai orang pajak yang sudah belasan tahun berhubungan dengan Wajib Pajak, saya paham kelemahan dan kekurangan DJP agar tax ratio meningkat. Histori DJP membuktikan bahwa nominal pajak yang dikumpulkan selalu naik tetapi tax ratio tetap stagnan. Pasti ada yang salah. Berikut opini saya.

Otonomi Pajak

Jawaban pertama untuk meningkatkan tax rasio adalah dengan melakukan perubahan radikal dalam organisasi pengumpul pajak. Disebut radikal, karena organisasi pengumpul pajak harus keluar dari birokrasi. DJP adalah instansi yang pertama dan pionir dalam reformasi birokrasi. Bahkan di Kementrian Keuangan, esolon I lain boleh dibilang ketinggalan dalam hal reformasi dibanding DJP. Dan DJP sering menjadi benchmark modernisasi. Itu fakta.

Reformasi jilid I DJP berlangsung 2002-2008 dengan agenda:


  1. Perubahan struktur organisasi menjadi function type. Tujuannya untuk meningkatkan pelanan pada Wajib Pajak. Maka lahirlah TPT (tempat pelayanan terpadu), outbond centre (kemudian menjadi Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan, KLIP), dan adanya petugas AR yang melayani dan sekaligus mengawasi Wajib Pajak.
  2. Pelayanan satu atap di KPP dengan melebur Karikpa dan KPPBB. Kemudian fungsi keberatan dipindah ke Kanwil.
  3. Membentuk KPP Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan KPP Pratama sesuai skala Wajib Pajak.
  4. Restrukturisasi kantor pusat DJP dan DJP. Kantor pusat fokus pada kebijakan, dan kanwil berfungsi sebagai koordinator antar KPP.
  5. Memperkenalkan transformasi sumber daya aparatur, proses bisnis, dan teknologi informatika sehingga manajemen DJP selalu up-to-date.
  6. Menerapkan fungsi pengawasan internal dan investigasi internal, yaitu KITSDA. Unit ini termasuk unit yang paling terkenal "galak"nya baik di pegawai DJP maupun pegawai Kementrian Keuangan lainnya. Operasi tangkap tangan KPK beberapa justru dimulai dari unit ini.
  7. Remunerasi pegawai. Jika kementrian lain baru ramai ngomongin remunerasi tahun 2014 ini, DJP sudah mempraktekkan sejak dulu.
  8. Perubahan Undang-Undang perpajakan yaitu UU KUP, UU PPh, dan UU PPN. UU KUP yang sekarang berlaku terkenal dengan konsep "equal treatment" antara DJP dan Wajib Pajak.


Reformasi jilid I kemudian disambung dengan reformasi jilid II. Rencana yang paling ambisius dalam reformasi jilid II ini adalah program PINTAR. Program PINTAR ini mengadopsi "best practices" sistem administrasi perpajakan di dunia. Ya, konsepnya terbaik di dunia, baik dalam aspek administrasi perpajakan maupun pengawasan perpajakan. Sayang, program PINTAR ini gagal tender dan tidak dilanjutkan.

Sistem informasi di DJP seperti baju rombeng yang banyak tambalannya. Disana-sini banyak yang rombeng, kemudian ditambal. Ada perlu tambahan sana-sini kemudian "dijahit". Tidak terintegrasi secara konsep dan teknologi. Banyak aplikasi yang digunakan tetapi tidak "saling kenal". Ini yang saya rasakan sebagai pegawai DJP. Ini karena PINTAR gagal tender.

Walaupun demikian, transformasi teknologi DJP tetap lanjut. Dengan konsep masing-masing. Saat ini, Wajib Pajak sudah bisa menikmati e-registration, e-faktur pajak, e-filling, e-SPT, e-billing dan banyak lagi fasilitas elektronik yang memudahkan Wajib Pajak.

Pertanyaannya, setelah gagal mengadopsi best practice dibidang teknologi informasi, reformasi apa lagi? Jawabannya adalah #OtonomiPajak. Dengan otonomi pajak, DJP akan berbenah dan mengadopsi best practices dalam administrasi perpajakan secara komprehensif. Berikan kewenangan kepada administrator pajak untuk melakukan upaya apapun dalam rangka meningkatkan tax ratio.

Rencana untuk meningkatkan tax ratio sudah diupayakan. Ide-ide dan usulan terbaik sudah disampaikan. Namun pada akhirnya berujung pada kendala birokrasi. DJP bagian dari pemerintahan. Kewenangan ada di instansi lain. Dalam hal instansi lain menolak untuk menyetujui, maka ide terbaik pun berhenti sebatas usulan. Hanya diatas kertas.

Wahju K. Tumakakan mengatakan bahwa Negara yang butuh otonomi pajak. Kantor pajak membutuhkan otonomi pajak untuk melakukan reformasi konprehensif. Kantor pajak harus diberikan kewenangan untuk meningkatkan tax ratio. Republik ini perlu penerimaan pajak yang besar untuk membiayai program-program besar. Itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun