Mohon tunggu...
Rachma Wati
Rachma Wati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Menangkar Budaya yang Hampir Tercabut

18 Maret 2019   21:55 Diperbarui: 18 Maret 2019   22:01 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah foto dalam tayangan slide menggelitik perasaan kami, peserta kuliah paska PGSD UNY. Foto itu sebenarnya pemandangan yang umum terlihat dalam dunia pendidikan di Indonesia. 

Foto  anak sekolah dasar yang menutupi kertas ulangannya dengan buku paket dan tempat pensil miliknya. Hal itu menjadi istimewa manakala dosen kuliah menyampaikan, bahwa foto itu diambil oleh temannya, peneliti dari Jepang, yang ingin melihat kebiasaan anak-anak Indonesia di dalam kelas. Peneliti Jepang tersebut tersenyum dan menanyakan alasan anak itu melakukan hal ini.

Peserta kuliah yang semuanya berprofesi  guru spontan tersenyum, manakala dosen kami menanyakan, "Masih adakah gambaran seperti dalam foto tersebut di kelas Bapak Ibu? Jika masih ada berarti proses pembelajaran yang selama ini berjalan, perlu bapak ibu evaluasi." Ujaran bergurau menjawab pertanyaan dosen keluar dari mulut kami, menutupi entah rasa bersalah, atau malu, karena pada kenyataannya gambaran foto tersebut masih menghiasi kelas kami saat ulangan.

Gambaran siswa yang ketakutan pekerjaannya dicontek oleh temannya, membawa saya dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Berprasangka buruk/suudzon,kepada orang lain, kelompok lain, bahkan kepada orang yang baru dikenal tampaknya marak di Indonesia. Kebiasaan saling mencurigai ini, jika kita biarkan akan menjadikan tercabutnya budaya saling tolong menolong dan bergotong royong, yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia.

Saya teringat pesan orang tua manakala akan menempati rumah   baru, yang saya bangun dengan suami, "Pager upa luwih pengkoh tinimbang pager bata." Arti dari nasihat ini adalah rumah kita akan lebih aman jika  kita saling berbagi dengan tetangga daripada kita membuat pagar yang tinggi dan kokoh. Budaya ini mulai luntur dalam masyarakat kita. Kita dapat menengok bangunan yang ada di sekitar kita, terutama di perkotaan. 

Rumah-rumah diberi pagar tinggi, dilengkapi dengan pecahan kaca, kawat, bahkan sisi TV untuk sebuah alasan agar terjaga keamanan penghuni di dalamnya. Terbayang di pemikiran saya, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak mereka bersekolah. Ketakutan pekerjaannya, hasil jerih payahnya, diambil oleh orang lain.

Kita kembali menengok ke dalam sekolah. Anak taman kanak-kanak diikutkan les baca tulis maupun berhitung. Jenjang sekolah dasar, SMP, SMA, maupun kuliah melalui tes yang bermuatan murni kognitif. Alhasil, anak-anak bangsa sibuk mengejar prestasi kognitif melalui tambahan-tambahan pelajaran yang menyita waktu, sehingga melupakan silaturahmi dengan tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. 

Sebuah ironi disampaikan salah satu murid, manakala mendapat tugas mewawancarai tetangga, "Aduh, saya lebih baik mengerjakan matematika 100 nomer daripada mewawancarai tetangga. Saya malu karena jarang berkomunikasi dengan tetangga." Lebih ironi lagi, beberapa wali murid tidak membolehkan anaknya bergaul dengan anak kapung karena bicaranya kotor dan bermain sampai lupa waktu.  

Abad 21 menuntut dunia pendidikan menyiapkan generasi yang cakap dalam berkolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreatif.  Kecakapan kolaborasi ini telah menjadi budaya bangsa yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Kolaborasi adalah proses penciptaan bersama. 

Dua atau lebih individu dengan keterampilan masing-masing berinteraksi untuk menciptakan sebuah karya bersama. Kita mengenal dalam masyarakat kita dengan istilah gotong royong. Keberhasilan dunia pendidikan menyiapkan peserta didik yang cakap dalam berkolaborasi akan menjadi penangkaran bagi budaya gotong royong agar tumbuh dan berkembang kembali dalam masyarakat kita.

Teori pendidikan yang dikemukakan Vygosky menyebutkan interaksi dari berbagai faktor-faktor interpersonal (sosial) kultural historis, dan individu sebagai kunci perkembangan manusia. Interaksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar seperti kolaborasi menstimulasi proses-proses perkembangan dan mendorong pertumbuhan kognitif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun