"Bu, murid-muridnya sangat cerdas. Apa mereka sudah terbiasa dengan bertanya dan mendiskusikan setiap materi seperti hari ini?"
 Saya menatap mahasiswa doktoral UNY itu dengan tidak percaya. Kaki saya yang belum hilang dari gemetar,  menjadi objek observasi penelitian,  tiba-tiba mengokoh laksana kaki-kaki gedung pencakar langit. Saya menjawabnya dengan penuh kepastian, benar,  hal itulah yang setiap hari kami lakukan di kelas.
Pada ujung tahun pembelajaran 2012, guru kelas satu dan empat dikumpulkan oleh kepala sekolah, tentang wacana pelaksanaan kurikulum 2013. Kepala sekolah menyampaikan dengan penuh kepastian  bahwa sekolah kami termasuk 20% sekolah yang dijadikan pilot project pelaksanaan kurikulum 2013. Saat itu hadir pengawas dari UPT untuk menjelaskan Kurikulum 2013. Sayangnya pengawas  tersebut justru menyampaikan bahwa, Kurikulum 2013 sudah pasti akan dilaksanakan, tetapi format dan instrumennya belum ditandatangani. Kami menjadi ragu-ragu tentang kepastian pelaksanaan kurikulum ini mengingat sudah di pengujung tahun 2012.
Minggu terakhir liburan, guru-guru kelas 3 dan 4 baru mendapat surat penugasan. Kami dikumpulkan di Hotel Eden, Kaki Gunung Merapi, untuk mengikuti pembekalan Kurikulum 2013. Ibarat prajurit perang, guru adalah garda terdepan pendidikan Indonesia. Apapun kurikulumnya, keberhasilannya ada pada guru. Kita pasti dapat  melakukan segalanya jika bersatu untuk  tujuan mulia. Itulah semboyan yang sering menjadi penyemangat  guru-guru  di sekolah kami. Dinginnya kaki Gunung Merapi dan jajaran pilar Hotel Eden menjadi saksi rentetan diskusi yang kami lakukan, di sela-sela pembekalan maupun simulasi praktik pembelajaran Kurikulum 2013. Kami tidak mempunyai waktu untuk mengkritisi tepat atau tidaknya Kurikulum 2013 dijalankan. Bagi kami, guru  sami'na wa atho'na, kami mendengar dan kami melaksanakan. Jika kami berkutat pada tepat tidaknya kurikulum, kami akan dimakan waktu. Berbagai hal harus kami putuskan menjadi draft yang diajukan kepada kepala sekolah, sebagai konsekuensi Kurikulum 2013. Kami harus siap dan mantap ketika masuk tahun ajaran 2013. Para siswa dan orang tua menunggu penjelasan tentang pelaksanaan Kurikulum 2013.
Pemakaian Kurikulum 2013 membawa perubahan besar  dalam  proses pembelajaran di institusi kami. Sebelum kurikulum ini diberlakukan, kami merupakan guru bidang studi. Kurikulum 2013 mengharuskan  pembelajaran sekolah dasar adalah pembelajaran tematik integratif.  Guru sekolah dasar adalah guru kelas yang mengampu seluruh muatan pelajaran dan dibelajarkan dengan tematik integratif. Â
Perubahan ini sangat mendasar. Kami sudah terbiasa belajar masing-masing bidang studi kemudian harus belajar seluruh materi pelajaran dengan pendekatan pembelajaran tematik integratif. Pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek dalam mata pelajaran maupun antar pelajaran agar para siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran seperti membuat minuman jus berbagai macam buah, sehingga buah yang penyusun tidak dapat terlihat lagi. Kami harus mengemas pembelajaran sehingga siswa tidak mengetahui muatan-muatan yang dibelajarkan. Perubahan mendasar ini kami terima satu minggu sebelum tahun ajaran baru, saat perangkat pembelajaran biasanya sudah tersusun rapi di meja kami, untuk menyambut tahun ajaran baru.
Sudah sepuluh tahun, saya menjadi bagian dari institusi pendidikan ini. Pada waktu itu sekolah ini menerapkan promosi dan degredasi dengan menggolongkan kelas berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh. Beberapa tahun terakhir saya dipercaya mengampu kelas dengan nilai rata-rata di bawah tujuh. Saya berada di antara murid-murid yang tidak memiliki semangat belajar karena berkebutuhan khusus slow learn,susah konsentrasi, atau masalah belajar yang lain. Banyak guru yang akan memasuki kelas saya, menghela nafas panjang dan menyiapkan energi untuk melaksanakan pembelajaran. Berbagai aduan kenakalan maupun kemalasan akan dilaporkan setelah mengajar. Saya hanya tersenyum dan mengangguk, walau kadang menangis dalam hati, terutama saat para guru apatis, tidak peduli, dan menganggap murid-murid saya tidak dapat dibenahi, sebuah kewajaran jika tanpa progres setelah pembelajaran.
Pada tahun ini, saya akan berada di antara murid-murid kelas saya, Â sejak pagi hingga tutup kelas. Beberapa teman ada yang prihatin dan memberi semangat, sementara teman yang lain pesimis. Bagi saya, ini adalah tantangan baru, tetapi jika melihat catatan wali kelas terdahulu tentang peserta didik kelas ini, saya menjadi gamang, lunglai, akankah dapat mengantarkan mereka di kelas selanjutnya? Apalagi pada pembekalan Kurikulum 2013, ada slide tentang pembelajaran tematik integratif yang menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran ini pada awalnya, dikembangkan untuk anak-anak berbakat dan bertalenta (gift and talented), cerdas, pada program perluasan belajar, dan yang belajar cepat. Semangat saya semakin mengerut, terbayang murid-murid saya, sama-sama berkebutuhan (anak gift), bedanya keduanya terlalu di atas dan di bawah.
Sami'na wa atho'naseorang guru, tidak taklid. Guru harus mempelajari dan membuat strategi. Saya berusaha mempelajari tematik integratif Fogarty. Pembelajaran tematik integratif menurutnya harus dapat memberikan pembelajaran bermakna. Kebermaknaan akan muncul manakala konsep yang saling tumpang tindih terjawab dengan berbagai informasi. Guru berhasil memfasilitasi siswa dalam pendekatan pembelajaran ini dengan cara mengarahkan dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri melalui diskusi, observasi, studi literature dan dokumentasi (metode inquiry), dan cara belajar yang dapat menumbuhkan dan memupuk motivasi internal peserta didik untuk belajar lebih jauh dan lebih mendalam.
Pengetahuan baru tentang tematik integratif dan berbagai pegangan dari pembekalan Kurikulum 2013 di Hotel Eden, baik silabus, pemetaan, dan RPP, menjadi modal awal memasuki tahun ajaran 2013. Salah satu yang tidak kalah penting adalah jejaring yang telah terbentuk antara kami guru-guru pelaksana Kurikulum 2013. Setidaknya kami tidak sendiri sehingga dapat saling bertanya, menjawab, dan berdiskusi tentang pelaksanaan kurikulum. Hal yang kemudian menjadi energi, jantung urat nadi bagi saya pribadi adalah teman-teman dalam paralel kelas. Kami tidak pernah berhenti berdenyut untuk bergerak, berdiskusi, menerjemahkan berbagai hal baru sehingga dapat diselaraskan dengan kebiasaan di sekolah kami.
Pada tanggal 15 Juli 2013 saya berdiri di depan pintu kelas menyambut murid-murid yang berjumlah 29 anak, terdiri dari 25 anak murid lama dan 4 murid pindahan. Catatan dan informasi dari wali kelas terdahulu menjadi acuan bagi saya mengatur tempat duduk dalam kelompok diskusi yang menjadi ruh dari pembelajaran tematik. Beberapa murid perempuan datang terlebih dahulu. Mereka tersenyum malu-malu, bersalaman dengan saya. Guru terdahulu menyampaikan anak-anak perempuan di kelas ini manis tetapi kurang bersemangat.Â
Mereka cenderung diam dan terlihat pesimis dengan masa depan. Hal ini yang saya kecam dari kebijakan pengelompokan kelas, tanpa sadar  guru dan orang tua menggiring pada status siswa paling rendah dalam capaian nilai, sehingga mereka tidak percaya diri dan apatis dengan pelajaran. Mereka terlihat semakin tidak yakin dengan dirinya, ketika melihat posisi duduk mereka menyebar di antara murid-murid laki-laki yang cenderung banyak bergerak dan berbicara. Pandangan mata tidak nyaman seolah memprotes kebijakan saya. Dengan penuh kepastian, saya memberi isyarat agar mereka mengikuti denah tempat duduk yang telah saya buat.
Ketika dalam ketidakpastian, saya tidak berhenti membaca surat Al Fatihah. Hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. Anugrah Tuhan seolah menjawab doa-doa saya. Anak baru di kelas kami ternyata sangat bersahabat dan mampu menjadi teladan. Komposisi yang menarik. Setiap kelompok diskusi memiliki cara dan karakter yang mendukung bagi teman. Tugas saya kemudian tinggal membuat skenario pembelajaran yang mampu mengoptimalkan kemampuan mereka masing-masing, sesuai dengan standar proses yang ada pengakuan atas perbedaan individu dan latar belakang budaya peserta didik.
Sebelum mengajar, kami, guru satu paralel, mendiskusikan pembelajaran yang berlangsung dengan melihat RPP yang sudah dibuat di Hotel Eden. Saya kemudian mencerrmatinya dan mencari  media yang memancing murid-murid bertanya. Saat akan mempelajari manusia purba misalnya, saya membawa torak atau tiruan tengkorak manusia. Mereka akhirnya bertanya dan tertarik untuk mempelajari manusia purba. Saya masih ingat ketika seorang siswa bertanya mengapa hanya karena merica kita dijajah Belanda, karena media yang saya bawa merica?Â
Saat itu saya kembali menanyakan, mengapa Belanda menjajah Indonesia karena merica? Tanpa saya sangka, seorang murid perempuan  yang biasanya tidak percaya diri,  menjawab dengan malu bahwa kata kakaknya Belanda adalah negara yang kecil wilayahnya sehingga membutuhkan rempah-rempah di negara lain. Hal ini membahagiakan saya, ketika murid tertarik untuk bertanya, dan teman lainnya mampu menjelaskan, saat itu pembelajaran berkembang.
Matematika adalah pelajaran yang paling ditakuti di kelas saya. Pada saat Kurikulum 2013, kemasan tematik integratif, membuat mata pelajaran ini tidak terlihat jelas, walau keberadaannya masih berasa. Berbagai kisah menarik membekas dalam ingatan. Saat itu kita sedang mempelajari tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan desimal. Di dalam Buku siswa tema Peduli terhadap Makhluk Hidup, terdapat soal tentang perbedaan lama tidur hewan di hutan. Salah satu murid tertarik dengan  data yang terdapat di dalam buku, yang menunjukkan hewan yang tidurnya paling lama ular, sementara yang tidurnya paling cepat adalah jerapah. Ia menanyakan, apakah data itu benar? Mengapa jerapah waktu tidurnya paling sedikit?Â
Mengapa ular tidurnya paling lama? Saat itu saya terkesima. Saya sudah menyiapkan berbagai materi tentang penjumlahan dan pengurangan desimal, tetapi yang muncul adalah pertanyaan yang saya sama sekali tidak memahami.  Saya kemudian meminta perwakilan murid, untuk meminjam buku tentang hewan di perpustakaan. Oh ya, sebelum kurikulum 2013 saya sudah sering bekerja sama dengan pustakawan kami dalam pembelajaran. Tetapi saat kurikulum 2013, saya menyampaikan kepada mereka, tidak dapat menjalankan kurikulum ini tanpa pendampingan buku-buku mereka. Terbukti pada hari itu, ketika tiba-tiba muncul pertanyaan yang  tidak saya pahami. Saya hanya berdoa semoga buku dapat menjawab segalanya.
Ensiklopedia dan Atlas hewan dibagi di masing-masing kelompok. Kami bersama mencari jawabannya. Saya terharu dan bangga ketika salah satu murid dapat menjawab bahwa jerapah tidurnya paling cepat karena mereka tidurnya sambil berdiri, sambil memperlihatkan keterangan yang menyebutkan tentang hal itu. Sementara ular tidurnya paling lama karena setelah makan mereka harus mengunyah makanannya terlebih dahulu dengan cara, diam, dan tidur agar tidak termuntahkan. Mungkin proses pembelajaran seperti ini, yang membuat para tamu menganggap murid-murid saya sangat cerdas. Para tamu datang ke sekolah kami karena ingin melihat pelaksanaan Kurikulum 2013, yang saat itu masih diberdebatkan.
Perubahan dalam Kurikulum 2013 di muatan matematika adalah rumus diturunkan oleh siswa, sehingga siswa tidak menghafal rumus tetapi memahami dari mana rumus berasal untuk menyelesaikan masalah yang ada di hadapannya. Pertama saya dan teman-teman meragukan terealisasinya proses pembelajaran ini, apalagi menurut guru di kelas 3, murid-murid saya membenci matematika.Â
Saya dengan ragu-ragu meminta murid-murid berdiskusi dalam kelompok  untuk mencari luas dan keliling meja dengan daun-daun yang mereka bawa dari rumah. Saya menunggu sambil berharap, apakah mereka dapat memecahkan rumus yang saya harapkan. Rupanya mereka mampu  menyelesaikan permasalahan yang saya ajukan satu persatu dan menurunkan rumus seperti yang saya harapkan. Saya semakin yakin kurikulum ini sangat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kecerdasannya.
Kurikulum 2013 mengembangkan ranah sikap sebagai salah satu standar kompetensi lulusan. Pengalaman yang berkesan bagi saya adalah ketika belajar Tema Pahlawanku. Saat itu saya menunjukkan foto Cut Nya Dien ketika baru saja ditangkap dari gerilya dan Cut Nya Dien ketika masih muda. Semua murid-murid menjadi penasaran untuk mempelajari sejarahnya. Berbekal rasa penasaran ini, saya kemudian memberikan tugas kepada murid-murid untuk membaca sejarah pahlawan. Para siswa yang dahulu malas membaca, menjadi bersemangat.Â
Mereka tidak sabar untuk menceritakan di depan teman-teman tentang pahlawannya. Sejarah para pahlawan kami kupas di kelas. Berbagai informasi kami dapatkan, bahkan banyak hal baru di luar pengetahuan saya. Raja Purnawarman yang menggali sendiri parit di negerinya, Kartini yang memberikan beasiswa belajar ke Belanda kepada Haji Agus Salim, Cut Nya Dien yang menutup mata di tempat yang jauh dari kelahirannya sebagai guru mengaji, bahkan sejarah Gajah Mada juga dipertanyakan oleh murid saya. Hal ini membuat jiwa kepahlawanan dan cinta tanah air lebih mudah saya tanamkan. Gerakan Literasi Sekolah yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, untuk menumbuhkan minat baca, sudah lama kami praktikkan.
Gairah belajar di dalam kelas, tidak sepenuhnya terekam oleh sekitar. Perdebatan tentang pelaksanaan Kurikulum 2013 terus berlangsung. Saat murid-murid duduk di kelas 6, pertanyaan wali murid yang menyangsikan Kurtilas memuncak. Apakah sekolah kami menjamin dapat meluluskan  murid-murid dengan nilai yang bersaing dengan mereka yang tidak menggunakan Kurikulum 2013?Â
Berbagai keluh kesah para guru yang menyangsikan dan menganggap Kurtilas tidak memberi kematangan siswa dalam mengerjakan soal di kelas. Saat itu saya cenderung menghindar dari perdebatan. Saya hanya dapat berdoa  dan mempercayai murid-murid. Saya tidak pernah membelajarkan jawaban tetapi bagaimana cara mencari jawaban, sehingga dapat menjadi modal bagi mereka ketika menghadapi permasalahan. Doa dan kepercayaan terjawab sudah. Institusi ini menjadi sekolah yang mendapat perolehan nilai rata-rata ujian sekolah tertinggi di kota.
Perasaan haru dan bangga mewarnai perekaman jejak peristiwa ketika Kurtilas dijalankan. Saya bangga menjadi bagian darinya. Saya merasa terharu menyaksikan perubahan sikap, semangat belajar, dan kepercayaan diri para siswa, sehingga tidak bosan saya bercerita, saya menjadi saksi keberhasilan Kurikulum 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H