Mohon tunggu...
Rachmawati Ash
Rachmawati Ash Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, dan pegiat literasi

Hobi menulis, membaca dan menonton film romance. Kegiatan mengajar di SMA, menulis novel, cerpen, artikel dan bahan ajar. Mengisi materi literasi ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung yang Terbang di Langit

16 Januari 2024   19:28 Diperbarui: 16 Januari 2024   19:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayahku juga memanggil seseorang yang datang dengan pakaian serba putih. Orang itu menyuruhku berbaring, membuka mataku bergantian, kanan, lalu disusul mata yang kiri. Orang itu manggut-manggut. Setelah beberapa waktu berbincang dengan ayah dan ibuku di ruang tamu, orang itu pergi. Kulihat orang itu meninggalkan berbagai macam kapsul dan kaplet di meja ruang tamu.

Sejak saat itu, setiap hari aku harus minum kapsul-kapsul itu. Kakak yang menyiapkannya untukku. Ayah semakin menjadi-jadi, setiap jendela dan pintu dipasang terali besi, pintu rumah dan pintu pagar selalu dikunci dengan rapat. Aku heran, kenapa semua orang mendadak menjadi takut melihatku keluar rumah. Aku seperti pesakitan yang membawa penyakit menular.

Aku berusaha mencari kunci rumah, tapi tak pernah menemukannya. Dikurung selama berhari-hari membuatku jenuh, aku hanya bisa melihat keadaan di luar rumah dari balik jendela kaca. Aku malas berdebat dengan ayahku, itu hanya akan membuatnya bertengkar dengan ibuku. Aku tak ingin ibuku terkena masalah karena ulahku yang tidak menurut kepada Ayah.

Setiap hari, waktuku habis hanya untuk duduk di kursi dekat jendela ruang tamu. Melihat apa yang terjadi hanya dari balik jendela kaca. Aku jenuh, aku mulai tersenyum dan menangis sendiri, menyalahkan diriku yang tidak bisa melawan kejahatan Ayah. Bagaimana bisa, seorang ayah mengurung anaknya sendiri di dalam rumah, seperti seorang tahanan yang menakutkan.

Aku menatap langit, awan putih berjalan ke utara. Perlahan-lahan membentuk wajah Sinta. Aku tersenyum, melambaikan tanganku padanya. Aku juga memanggil namanya, beberapa kali dengan suara keras. Awan memudar, aku kecewa dan ingin sekali menangis.

Aku kembali menatap awan, kali ini kulihat kawanan burung berwarna putih terbang bergerombol. Mereka meliuk-liuk di udara, terbang dengan bebas. Aku bertanya-tanya, di mana mereka akan hinggap. Burung-burung itu bergerombol, terbang bergelombang-gelombang seperti awan.

Aku mulai berpikir ingin menjadi burung. Aku ingin terbang bebas ke mana pun aku mau. Aku ingin melihat indahnya gunung yang hijau, laut yang biru dan merasakan terik matahari yang membakar kulitku. Aku mulai merentangkan tangan, meliuk-liuk di udara, aku merasakan kebebasan yang selama ini kuinginkan.

Kakakku histeris, memanggil-manggil namaku untuk menyuruhku turun dari langit. Aku hanya tersenyum melihatnya dari atas, aku hinggap dari tempat satu ke tempat lainnya. Kakak kembali datang bersama Ibu, mereka menyuruhku turun. Aku terbang menukik, mendarat di lantai rumah. Aku senang telah berubah menjadi burung yang bisa terbang bebas sesuka hatiku.

**

Kakakku menjadi sangat menyebalkan, dua kali sehari memberiku kapsul dengan secangkir air putih. Jika aku tidak mau meminumnya, Ibu akan menangis. Aku tidak suka melihat ibuku berlinang air mata tanpa sepatah kata pun.

Setelah meminum kapsul, aku kembali terbang di udara, hinggap dari tempat satu ke tempat lainnya. Aku merentangkan sayap, menikmati udara segar pegunungan yang hijau. Aku kembali terbang ke tempat yang lebih tinggi, melihat sawah yang menghampar luas. Sayangnya kapsul yang kuminum beberapa menit lalu membuatku mengantuk. Aku pun tertidur di atas dahan pohon mangga yang rindang. Sampai aku terlelap, sepertinya Ibu dan Kakak masih menungguku di bawah pohon, mereka saling berpelukan dan menatapku dengan iba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun