Riba dalam bahasa Arab adalah az-ziyadah, yang artinya tambahan atau kelebihan. Jika dalam konteks umum, kelebihan yang dimaksud ialah tambahan terhadap harta atau pokok utama.Â
Mengutip Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bila 'iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajal) yang diperjanjian sebelumnya (ini yang disebut riba nasi'ah). Menurut dosen Program Studi Ekonomi Islam (PSEI) UII Bapak Adi Wicaksono, SE., MEI, "Riba di perbankan konvensional, berupa bunga mungkin sudah difahami oleh Sobat Ekis semua.Â
Namun, ada pula riba yang biasa ditemui di lingkungan sekitar rumah tangga, yaitu bunga pinjaman pada kas RT RW. Biasanya ibu -- ibu desawisma atau semacamnya, punya kas yg menganggur. Nah, dana itu dipinjamkan ke anggota dasawisma dengan sistem bunga".
"Selain itu, adapula bunga di pasar modal konvensional, yaitu yang terjadi pada transaksi margin trading. Investor dipinjami dana dari sekuritas untuk bertransaksi, dan atas pinjaman dana tersebut investor dikenakan bunga" tambah pak Adi.
Dasar Hukum Riba
Posisi riba dalam kehidupan telah ditetapkan didalam hukum agama Islam, maupun ijma' ulama. Kedua hukum ini harus kita telaah dengan baik agar tidak salah memahami bagaimana riba dapat memengaruhi kehidupan finansial kita.
1. Hukum Riba dalam Islam
Dalam agama Islam, riba dinyatakan sebagai sesuatu yang dilarang secara tegas. Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, secara jelas mengharamkan praktik riba. Dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 130, Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."(QS. Ali Imran [3]: 130)
Kemudian, pada Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 275, Allah berfirman:
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.Â
Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."(QS. al-Baqarah [2]:275)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan lebih detail bagaimana riba merupakan perbuatan yang sangat dikutuk oleh Allah dan menganjurkan setiap umat muslim untuk meninggalkan riba, dan mulai menerapkan jual beli yang telah dihalalkan oleh Allah.
2. Hukum Riba dalam Ijma' Ulama
Selain hukum riba yang terdapat dalam Al-Quran, ulama-ulama Islam juga telah mencapai ijma' atau kesepakatan tentang larangan riba melalui fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 21/DSN-MUI/IV/2001.
Fatwa ini berisikan tentang kesepakatan untuk menguatkan hukum riba sebagai haram dalam Islam, dan pedoman bagi umat Islam bahwa dalam setiap kegiatan Syariah, baik itu asuransi, maupun akad, tidak boleh mengandung unsur riba, gharar (penipuan), maysir (perjudian), zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Jenis-Jenis Riba
Riba memiliki dua jenis utama yang harus Anda perhatikan, antara lain:
1. Riba Al-Fadl
Riba al-fadl adalah bentuk riba yang terjadi ketika ada pertukaran uang dengan uang atau barang konsumsi dengan barang konsumsi dengan tambahan. Ini berarti riba al-fadl adalah jenis riba yang terjadi dalam pertukaran komoditas yang sama, tetapi dengan perbedaan kualitas.
2. Riba Al-Nasi'ah
Sementara itu, riba al-nasi'ah adalah praktik pengambilan atau pemberian tambahan pada suatu barang atau modal yang ditunda pembayarannya dan pembayaran akhirnya. Riba al-nasi'ah sangat rawan terjadi dalam jenis transaksi yang melibatkan barang-barang yang belum jelas padanannya.
Contoh pada riba ini dapat terlihat dalam situasi pertukaran emas 24 karat antara dua pihak yang berbeda. Ketika pihak pertama sudah menyerahkan emasnya, namun pihak kedua menyatakan bahwa mereka akan memberikan emas miliknya dalam waktu satu bulan mendatang. Keadaan ini dianggap sebagai riba karena nilai emas dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu.
Cara Menghindari Riba
Riba adalah tindakan yang harus kita hindari sejauh mungkin, agar setiap transaksi, baik itu jual beli, maupun pinjaman, dapat berlangsung secara transparan, adil, dan diridhai oleh Allah. Adapun cara-cara yang bisa Anda lakukan untuk menghindari riba adalah sebagai berikut:
1. Menghindari Riba dalam Transaksi Jual Beli
Untuk menghindari riba dalam transaksi jual beli, penting untuk memastikan bahwa semua transaksi dilakukan dengan cara yang jelas dan adil. Harga dan syarat-syarat pembayaran harus jelas, dan tidak boleh ada unsur riba dalam bentuk apa pun. Transparansi dan integritas dalam transaksi jual beli sangat penting dalam Islam.
2. Menghindari Riba dalam Transaksi Pinjaman
Untuk menghindari riba dalam transaksi pinjaman, tiap individu dapat mencari alternatif yang halal ketika membutuhkan dana tambahan. Banyak lembaga keuangan syariah yang menawarkan solusi pinjaman yang bebas dari riba.Â
Selain itu, menjaga kedisiplinan keuangan pribadi dan menghindari utang yang tidak perlu juga merupakan langkah penting.
Dampak Riba pada Kehidupan
Riba memiliki dampak yang negatif yang harus kita jauhi. Dampak ini mencakup ruang lingkup individu dan masyarakat secara keseluruhan.
1. Dampak Riba pada Individu
Praktik riba dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada individu. Dengan membayar bunga tambahan, individu dapat terjerat dalam siklus utang yang sulit untuk diatasi. Ini dapat menyebabkan stres keuangan, ketidakstabilan ekonomi, dan bahkan kemiskinan.
2. Dampak Riba pada Masyarakat
Dampak riba tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Praktik riba dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengakibatkan ketidakadilan sosial.
Riba adalah praktik yang dilarang dalam Islam karena mengandung unsur ketidakadilan dan eksploitasi. Memahami jenis-jenis riba serta dampaknya sangat penting bagi umat Islam untuk menjaga integritas finansial dan sosial mereka.Â
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi syariah, diharapkan masyarakat dapat menjalani kehidupan ekonominya secara adil dan berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H