Semestinya tulisan ini Minggu kemarin harus sudah diunggah. Tapi, hingga Hari Buku Nasional berlalu, tulisan ini masih sebatas rencana. Padahal buku yang jadi bahan tulisan sudah teronggok di meja, saya keluarkan dari rak sejak sepekan sebelumnya.
Membangunkan Raksasa Tidur. Begitu buku itu diberi judul. Ini bukan fiksi. Â Barangkali masuk kategori buku "how to". Tips gitu. Tapi tips yang berat. Padahal yang dibahas sesuatu yang ringan. Cuma setengah kilo beratnya. Apa itu? Otak.
Ada judul kecil setelah judul utama dari buku ini. Ada judul tambahan "Optimalkan Kemampuan Otak Anda dengan Metode Alissa". Itulah mengapa saya sebut sebagai buku "how to", ia memberi panduan terhadap sesuatu. Mengoptimalkan otak.
Buku bersampul biru ini menunjukkan, bahwa tak melulu alasan ideologis yang menjadi pijakan tiap pilihan kita. Aduuuh, opo Iki rek....Buku ini saya beli pada 19 Februari 2005 atau kalau tanggal hijriyahnya, 10 Muharram 1426. Ya, saya pun tak tahu mengapa dulu, sewaktu mahasiswa,--mahasiswa pertanian pula---membeli buku ini. Â Coba tengok lagi rak buku mu! Dari sekian judul, barangkali terselip satu dua buku, yang kamu juga tak tahu mengapa membelinya. Alasannya paling "dari pada".
Jadi, bukan karena pilihan ideologis tadi. Bahkan nama penulisnya pun asing, tak familiar. Sebentar. Atau... saya saja yang dulu kurang banyak baca. Akibatnya tak tahu banyak nama orang beken. Walakin karena penulis buku ini saya tergerak menulis tulisan ini.
Taufiq Pasiak. Ada gelar MPd di belakangnya. Dialah penulis buku tentang otak ini. Sejak membeli buku ini 15 tahun silam, nama Taufiq Pasiak lekat di ingatan. Karenanya, saat membaca sebuah artikel di Kompas edisi 25 April lalu saya jadi teringat bukunya tadi.
Tulisan di Kompas itu berjudul "Lintang Kemukus dan Pertanda Bencana Pandemi Covid-19". Taufiq satu di antara narasumber di tulisan itu. Kosmologi Jawa kerap mengaitkan munculnya lintang kemukus sebagai pertanda munculnya bala, bencana.Â
Oleh masyarakat Jawa, komet disebut lintang kemukus karena di salah satu ujungnya tampak mengeluarkan kukus alias asap. Adapun disebut lintang, Guru Besar Emeritus Astronomi ITB Bambang Hidayat bilang, Â itu penyebutan yang berarti bintang.Â
Masyarakat dulu belum mengenal pembedaan obyek langit seperti dalam astronomi modern sekarang. Saat itu, apa pun yang terlihat terang di langit kecuali Bulan, baik planet, rasi, komet atau meteor, semua disebut lintang.
Taufiq Pasiak yang kini Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado di tulisan itu mengatakan, upaya manusia mengaitkan fenomena alam dengan peristiwa yang terjadi di Bumi merupakan bagian dari upaya manusia menghadapi ketidakpastian. Dia bilang  otak manusia adalah belief generating machine, manusia menciptakan kepercayaan untuk memberikan rasa aman.
Dan dua paragraf terakhir di artikel itu cukup menarik. Menegaskan agar kita perlu rasional. Saya menyitat bulat-bulat.
Ketidakpastian adalah musuh terbesar manusia. Untuk mengatasi itu, otak manusia akan membangun mekanisme untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi jelas. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan cara apa pun, termasuk mengambil semua informasi di sekitarnya, tidak peduli benar atau salah ataupun rasional atau tidak, demi memberikan rasa aman dan nyaman.
Meski upaya sebagian orang mengaitkan komet ATLAS dengan pandemi Covid-19 bisa dipahami sebagai mekanisme bertahan hidup, di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 sepatutnya kita mengedepankan langkah-langkah rasional untuk menanggulangi wabah secara terukur. Kepanikan berlebihan dalam mengambil keputusan akibat lemahnya rasionalitas justru bisa membawa manusia dalam penderitaan yang panjang.
Rasionalitas. Itu kata kuncinya. Di "Membangunkan Raksasa Tidur" Taufiq juga menyinggung soal rasionalitas. Kata dia, merenung atau tafakur adalah aktvitas otak yang memadukan otak rasional, otak emosional-intuitif dan otak spiritual. Perenungan inilah yang bisa mencerahkan otak.
Kembali ke Hari Buku Nasional dan alasan membeli buku tadi. Kiranya setelah ini saya harus punya alasan rasional tiap mengeluarkan rupiah untuk membeli buku. Ada dalil aqli-nya. Alasan yang dimulai dari aktivitas otak, berpikir, "buku apa yang saya butuhkan?"
Pikir itu pelita hati. Begitu para bijak bestari.
Dus, tetiba saya teringat kiriman gambar di WAG. Gambar koran nasional Rakyat Merdeka, edisi Senin kemarin. Tahukan mazhab Koran ini. Judulnya aduhai.
Berita utama di halaman mukanya begini:
Jokowi: Buku Apa yang Anda Baca Di Masa Pandemi Covid-19?
Buku Tabungan Pak, Sudah Menipis Nih...
Selamat Hari Buku Pak..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H