Saya baru bertemu seorang kenalan. Â Kecuali pekerjaan, nama saya sepertinya ia lupa. Dan karena itulah, ia ingin memberi klarifikasi. Ini terkait kasus positif corona. Wabilkhusus klaster Gowa.
Di Jambi, dari 32 pasien positif Covid-19, 70 persen dikelompokkan dalam klaster ini. Beberapa di antara mereka adalah yang pernah ke Gowa untuk tablig akbar Maret lalu dan keluarga terdekatnya ada dalam klaster ini.
Teman saya ini seorang Jemaah Tablig. Adapun  klaster Gowa, oleh banyak orang diyakini adalah jemaah ini. Saya mulanya begitu. Tapi  teman tadi bilang, mereka yang menggelar tablig akbar di Gowa sana bukan Jemaah Tablig. Walakin, Syuro Alami.  Ya, Syuro Alami begitu namanya. Singkatnya, pecahan dari kelompok Jemaah Tablig.
Pertemuan kami cukup singkat. Saya tak sempat tanyakan, apa yang membedakan Jemaah Tablig dengan Syuro Alami. Nah, karena ketidaktahuan masyarakat ditambah pula banyaknya pasien positif corona merupakan klaster Gowa, Jemaah Tablig dirugikan. Bahkan, dia bilang, di daerah ada warga yang ingin membakar rumah anggota Jemaah Tablig.
Sampai di situ saya mafhum.
Tapi saya jadi tak paham tatkala ia mengait-ngaitkan massifnya pemberitaan klaster Gowa dengan urusan politik. Ia juga menyoal tindakan pemerintah daerah menangani saudara seiman Jemaah Tablig yang dikaitkan sebagai orang-orang klaster Gowa. Motif politik yang kebetulan memang jelang pilkada (kendati diundur gara-gara corona). Ya, saya gagal paham. Â Serupa gagalnya saya memahami bagaimana orang Islam lebih memilih "perjalanan spiritual" ke mana gitu (hehe) ketimbang umrah ke tanah suci.
Ketika corona masih  sebatas di Wuhan, saya tak yakin bahwa Corona Virusdisease 2019 ini memang benar adanya. Benar bahwa itu virus yang menyebabkan sakit berujung maut, saya syak.Â
Ketika itu saya juga tak begitu peduli dengan yang namanya corona. Barangkali terpengaruh teori-teori konspirasi. Virus corona ini mungkin sengaja disebar China dengan motif tertentu. Atau mungkin laboratorium mereka  abai dengan protokol keamanan sehingga tersebarlah virus ini. Mulanya begitu. Tapi sekarang sudah tak begitu. Tapi begini.
Faktanya, corona kini melumpuhkan banyak hal di bumi ini sekaligus memberikan hal baik bagi bumi. Antidot.
Dan fakta pula, bahwa klaster Gowa bukan hanya muncul di Jambi. Di sejumlah tempat, pasien positif corona punya riwayat perjalanan ke Gowa untuk ikut tablig akbar itu. Maka, tentu saya tak sepakat bila teman tadi menilai perkara nyawa banyak orang ini dikaitkan dengan politik. Sebagaimana saya tak sepakat bila penanganan pandemi  ini dijadikan panggung politik kepala daerah.
Data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Jambi per Kamis 29 April 2020,  pelacakan terhadap klaster Gowa  ada 203 orang yang kontak dengan pasien positif corona di klaster ini.
Pada 2002, saya bersentuhan dengan Jemaah Tablig. Khuruj pun saya sudah pernah. Hingga kini sejumlah teman pun masih aktif di kelompok ini.Â
Beberapa hari lalu seorang teman yang juga akademisi menulis tentang jemaah ini. Ia menulis sejumlah prinsip jemaah yang rutin membaca Kitab Fadhilah Amal karya Muhammad Zakariya al Kandhlawi itu. Satu di antaranya, tulis teman tadi, Jemaah Tablig menjaga jarak dengan politik dan debat kekuasaan.
"Jadi ketika terjadi debat soal penanggulangan Covid-19 ini, lebih baik berpasrah kepada Allah dan melanjutkan kerja-kerja agama daripada terlibat dalam hiruk pikuk duniawi tentang pandemi."
Begitu kata teman saya yang bukan Jemaah Tablig.
Dan saya berharap, teman saya yang Jemaah Tablig juga tak mengaitkan bahwa pemberitaan klaster Gowa juga bermuatan politik.
Tapi kawanku. Di luar itu, tentu kita tetap saudara. Perkara cara beragama yang berbeda, soal lain. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H