Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inses

4 Maret 2012   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Melalui tugas ini, sepertinya si bos sedang mengujiku.Ia ingin melihat kemamapuanku, seberapa tangguh aku ditengah keterbatasan pemahaman akan medan tempur .  Tapi  ada rasa kesal menghampiri. Perintah yang haram ditimpali dengan  kalimat negatif alias penolakan itu hanya disampaikan melalui dua pesan yang menghabiskan Rp 300 rupiah. Tak lebih!.

“apa sih susahnya menelpon. Orang buta sama sekali dengan lokasi,mana jauh. Huu, dasar bos bos,” aku menggerutu sendiri.  Sembari meminyaki rambutku yang pendek aku mengingatkan diri sendiri, “Makanya lu Yud kalo udah jadi bos ntar, jangan sak karepe dewe. Tau? Pikirin ntuh anak buah.”  Toh akhirnya Monolog di depan cermin itu menyemangati pagi ku.

Ditengah perjalanan aku terhenti. Aku merasa ada yang kurang. Ya, nomor telepon Pak RT belum kuminta. “Sial, telepon dan SMS ku tak dijawab. Argghh…apa sih susahnya mengirimi nomor handphone nara sumber.”Gerutu keduaku di hari Senin itu pecah.

Tanaman karet sangat dominan di Desa Sridadi.  Rumah-rumah warga nyaris menyatu dengan tanaman yang disadap itu. Rumah di sana jarang-jarang. Antara satu rumah dengan rumah lain setidaknya berjarak 25 meter hingga 50 meter. Akhirnya aku tiba di rumah panggung yang lebih bagus dari rumah sekitar yang kulewati sebelumnya. Sejumlah sepeda motor terparkir di halaman rumah, sementara di teras rumah panggung beberapa pria terlibat perbincangan seru.

“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.

Koor serentak keluar dari mulut mereka. Seorang pria paruh baya mengenakan peci hitam segera saja menuruni tangga. Sepertinya dari tadi ia tengah menanti sesuatu.

“Bang Yudi ya? Saya Joko, Pak RT,” langsung saja ia memberondongi sementara aku belum menjawab tanyanya,kecuali dengan anggukan kepala.

*

Aku terhenyak begitu mendapati potret buram keluarga Sumini, ibu dari Somad. Keduanya telah melakukan hubungan layaknya suami istri, padahal mereka sedarah daging. Inses. Aku tak tahu siapa yang menodai dan siapa yang dinodai.

Sumini,ibu Somad bersuamikan Ritas, duda dengan tiga anak. Sumini mengakhiri masa jandanya sejak  satu tahun lalu. Somad adalah anak satu-satunya.  Wanita berkulit cokelat itu aku temui di kantor polisi setempat. Ia tengah dimintai keterangan.  Di sana ada pula Somad yang mendekam di balik jeruji.

Ada dua lajur tipis nan samar di wajah itu. Garis tak lurus yang berhulu di mata dan bermuara di pipi. Siapapun tahu bahwa itu adalah bekas air mata yang sedari tadi mengalir di mata Sumini. Peluh berpadu debu membuat wajah itu tampak kumal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun