Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sejarah Sembilan Belas Tahun Silam

17 April 2011   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak. Ayah. Abi. Papa. Dady. Atau kalian punya  kata lain yang merujuk pada kata itu? Aku tak peduli ada seberapa banyak kata yang berarti orangtua kandung laki-laki itu. Sekalipun, aku berkuliah di jurusan bahasa, menjadi duta bahasa untuk kota tinggalku dan sekian embel-embel bahasa lainnya, persetan dengan semua itu.

Asal tahu saja, aku benci dengan kata itu. Bapak! Tentu, bukan hanya pada kata dengan lima huruf itu. Tapi pada sosok orangtua biologis ku itu. Lalu terhadap pria, laki-laki yang berstatus sebagai seorang ayah aku juga menyemai kebencian.

Entah berapa lama aku tak tahu dengan kata itu. Sedari aku bayi, merangkak, dan mungkin hingga mulai mengenal apa itu keluarga kecil, aku tak memahami apa itu bapak. Bagiku, orangtuaku hanyalah ibu seorang. Lainnya, tidak ada!

Dulu, ketika aku kecil aku tahu teman sebayaku bermain dengan ibu dan laki-laki yang belakangan ku tahu mereka memanggilnya ayah. Pertanyaan yang ku ajukan, mengenai pendamping temanku itu tak mampu dijawab oleh ibuku. Aku hanya mendapati tangisan tertahan padanya. Tak berani lagi aku menanyainya, apalagi sampai ia menangis.

Dan kini, aku benci pada ibuku yang nyaris serupa sebagaimana kebencianku terhadap ayahku. Mengapa riwayat itu justru tak kudengar darinya. Aku terluka mendapati kabar itu dari majelis pergunjingan ibu-ibu di warung kampung. Aku ternyata bukan anak kandung ibuku.

Ini kali kedua ibu menangis atas pertanyaan yang kuajukan. Pertanyaanku lebih lengkap. “Siapa ibu dan ayahku sebenarnya? Siapa keluargaku?” selidikku pada ibu. Lalu ia tumpah dan aku menghujaninya dengan pukulan sebelum aku terkulai di pelukannya.

Sejumlah surat kabar yang sangat lawas yang ibu sodorkan menjadi terang atas gelap sejarah kelamku. Aku baca bercampur geram yang hampir-hampir merobek surat kabar usang itu.

Orok Dibuang di Tempat Sampah”

“Baru Lahir, Bayi  Dibuang di Tempat Sampah”

“Pasangan Muda Buang Anak”

“Pemulung Lihat Anak Muda Buang Orok”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun