Keringat itu menetes satu-satu setelah percumbuan malam itu. Tapi bukan itu yang kucari. Itu hanya bumbu. Apa yang terjadi setelah percumbuan itu, itulah yang penting. Ini adalah hari percakapan. Hari dimana aku dan kau mengawalinya dengan bercumbu. Bercumbu hingga keringat menetes satu-satu. Setelahnya kita berbicara. Tentang angin dan tentang bentuk purnama malam itu. Pastilah bentuknya selalu bulat, selalu indah untuk dirimu dan diriku.Â
Sehabis itu kau mulai berbicara tentang hal-hal lain. Hal-hal yang aku sendiri tak tahu. Yang pasti kubiarkan saja kau berbicara, sambil kuperhatikan bibir manismu yang bergerak-gerak. Tak penting apa yang kau ceritakan. Yang penting adalah bibirmu. Matamu. Senyum manismu. Tawamu setelah antologi dan prosa yang kau ceritakan padaku. Cerita yang tak kumengerti tapi aku hanya bisa ikut tersenyum. Dan kalau aku tak ikut tertawa, maka kau mulai mencubit diriku. Memaksaku harus tertawa walau hanya suara meringis yang kentara.
Setelahnya, kau pun diam. Inilah saat dimana aku yang bercerita. Tentang daun-daun. Tentang puisi yang kugubah untuk seribu tahun lagi. Tentang arus politik negeri. Tentang mimpi. Tentang harta. Dan terakhir… tentang dirimu. Selalu tentang dirimu. Cerita puja dan puji. Cerita bumbu manis pedas yang tak tergantikan. Cerita tentang tawa dan senyum yang selalu terbayang. Pokoknya.. tentang dirimu dan dirimu yang akhirnya membuatmu mabuk dan melenguh manja. Itu tanda buatku. Tanda percumbuan kedua harus segera dimulai.Â
Kali ini tak ada keringat. Tak ada riah riuh suara lenguh. Hanya tatapan mata yang terus memandang. Hingga akhirnya salah satu harus pudar dan hilang. Tinggallah sepasang mata yang berselimutkan tubuh. Mata yang lelah dan mulai mengantuk. Kau menghilang lagi di tengah malam itu. Meninggalkan diriku. Sendiri. Itulah hari percakapan kita dalam khayalku. Tanpa fisik dirimu.
Aku masih ingat tanggal dimana aku dan dirimu berbicara untuk yang terakhir kalinya. Satu hari sebelum Valentine. Waktu itu di rumahmu. Ingin aku melupakan saat itu. Yang ingin kuingat hanya wajahmu. Hanya rambut lurusmu yang panjang. Hitam tapi tak sempurna. Ujungnya ada yang pecah-pecah. Tak kau pakaikah shampo bagus itu? Yang bisa membuat rambutmu semakin indah walau tak disisir? Lalu apa lagi yang kuingat? Oh ya, tatapan teduh seorang Aurora Borealis yang melihatku dengan pandangan selidik, “Wahai kawan sejatiku.. apa saja yang kau hadapi hari ini?" begitu ujarmu.Â
Kawan? Memang, itulah awal diriku bagimu. Aku selalu ada saat kau terluka. Selalu ada saat kau butuh bantuanku. Akulah tempat bersandarmu. Dada kecilku memang tak terlalu bidang. Tapi cukuplah itu bagimu. Aku tahu kau nyaman di sana. Menghabiskan air matamu. Menghabiskan segala rasa sesal yang memberati pundakmu. Menghabiskan amarah akibat perkataan orangtuamu, “Kapan???"
Sampai akhirnya kita memutuskan untuk sejalan. Hanya kau dan aku. Aku, dirimu, namun tanpa dirinya. Itulah kita. Itulah masa-masa kesenangan kita. Masa-masa indah kau dan aku. Satu. Tanpa ragu.
Ahhh.. masih saja ingatanku kembali ke saat terakhir itu. Memang sakit. Pilu. Tapi itulah kenangan kita. Waktu itu di rumahmu. Tadi sudah kukatakan itu.
Waktu itu ayahmu sakit keras. Aku tahu betapa dekat dirimu dengan ayahmu. Ibumu yang menelepon pagi-pagi. Katanya ayahmu jatuh di kamar mandi. Stroke ringan. Mungkin karena sudah tua. Atau karena rokok yang tiap pagi selalu dihirupnya. Pagi pukul enam hingga pagi lagi pukul enam keesokan harinya. Kupikir… ayahmu tidak tidurkah? Atau mungkin bukan rokok itu masalahnya. Salahkan saja daging kambing kegemarannya. Atau bilang saja ini karena guna-guna. Toh, memang banyak yang tak suka dia. Banyak yang ingin dia segera turun tahta. Ya, aku tahu ayahmu adalah kepala dusun di tanah kelahiranmu. Tanah kelahiran dirimu dan adik perempuanmu.
Tapi ya sudahlah, toh hanya stroke ringan, apa pula dampaknya buatku? Kau hanya diam untuk beberapa saat. Setelah itu kau menghela nafas dan sinetron itu dimulai. Tak perlu dirimu menyelesaikan satu kalimat utuh, aku sudah tahu dimana muaranya berlabuh. Mudah saja. Kau harus segera menikah. Tak ingatkah dirimu dengan dada kecilku ini? Tempat menampung tangismu saat ibumu bertanya, “kapan???" Lalu, untuk apa semua tangis itu sekarang?
Ternyata sangat mudah bagi kita untuk akhirnya saling berstatus mantan. Kau mantan diriku. Dan aku mantan dirimu. Semudah itu. Kita akhirnya berjalan masing-masing. Tak lagi bersua satu sama lain. Kisah kita hanya bertukar lewat angin. Lewat mantra kata-kata. Kata dia kau sedang begini. Kata mereka aku yang sedang begitu. Kau membeli rumah baru. Kau menikah dengan pilihan ayahmu.Â
Aku membeli rumah lama, bekas seorang tentara. Yang mati setelah sebelumnya mengalami gangguan jiwa. Aku menikah dengan pilihan ibuku. Kau ternyata tak puas dengan dirinya. Aku baik-baik saja dengan pasanganku. Kau mencari pelarian lain dan menemukan cinta sejatimu. Aku mencoba bertahan memenuhi kodratku. Meyakini, kalau dia cinta sejatiku.
Perjalanan hidupmu dan hidupku memang berat. Bagai batu-batu yang menghadang membebat. Datang dan pergi. Datang kecil serupa kerikil, pergi menjadi batu kali. Bersabar memang baik, tapi bukankah ruang hati ini ada batasnya kawan?
Saat itu mulailah diriku mengingat masa-masa itu. Masa-masa indah kita. Mulailah kubayangkan kembali dirimu. Dirimu yang dulu, saat tak dilekang waktu. Saat itulah hari percakapan dimulai. Saat semuanya dimulai dengan percumbuan kita yang meneteskan keringat satu-satu. Saat aku membayangkan dirimu yang bercerita. Saat aku menatap bibirmu dan wajahmu yang teduh. Saat akupun ganti bercerita. Saat aku harus tertawa saat kau mencubit diriku manja. Dan akhirnya.. saat kau menghilang, lagi.. di tengah malam.
Aku tak tahu entah berapa banyak hari percakapan yang telah kulewati. Ratusan kah? Ribuankah? Namun hingga kini aku masih memegang hari percakapan itu. Merindukan dia datang. Satu kali dalam seminggu. Hari dimana kau dan aku berbagi. Bersatu. Di bawah purnama malam itu. Walau hanya bayangan semu di pikiranku.
Hari ini kita bertemu lagi. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Kudatangi pusaramu. Itupun tak berani kutatap langsung bebatuan buatan penutup dirimu. Aku hanya bisa menatap tulisan namamu. Yang dapat kubaca dari jauh. Dari balik pohon kamboja kusamarkan kehadiranku. Tak ingin aku melihatnya menemuimu. Dia kekasihmu. Dia cinta sejatimu. Pelarianmu. Seorang lelaki yang selalu berdoa untukmu. Setiap tahun dia datang padamu. Setiap tanggal empat belas Februari. Hari ini.
Dia selingkuhanmu. Tempat kau lari dari suamimu. Tempat dirimu mencurahkan segala susah dan senangmu. Dialah lelaki itu. Mas Joko namanya. Dia suamiku…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H