Menikmati perjalanan dari Karubaga ke Panaga ini, aku disuguhi pemandangan yang luar biasa. Perjalanan ini sulit karena harus naik turun gunung beberapa kali dan menyusuri pinggir jurang yang sempit. Karubaga? Panaga? Daerah manakah itu? Karubaga adalah ibukota Kabupaten Tolikara yang terletak di pegunungan tengah Papua. Kabupaten Tolikara ini memang sangat terpencil letaknya. Banyak wilayah yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau kalau mau, perjalanan bisa ditempuh dengan menaiki pesawat kecil tipe Caravan atau Pilatus yang berisikan 5 - 9 orang. Tapi, biasanya jarang karena kondisi cuaca yang didominasi oleh hujan dan kabut.
Disepanjang perjalanan yang aku lewati, aku melihat banyak sekali mata air kecil-kecil yang di alasi daun buah merah (buah khas pegunungan tengah Papua, semacam daun pandan yang besar) dengan panjang sekitar satu meter. Dan ternyata mata air itu di pergunakan sebagai air minum bagi siapa saja yang melewati tempat itu. Mata air ini juga berfungsi untuk air minum bagi orang-orang yang bekerja diladang, yang sedang menempuh perjalanan dan juga biasa digunakan untuk mencuci hipere. Hipere adalah bahasa lokal untuk ubi jalar. Memang di sepanjang perjalanan tadi banyak kulihat lahan yang ditanami hipere yang merupakan makanan pokok suku Lani.
[caption id="attachment_363119" align="aligncenter" width="490" caption="Salah satu mata air sepanjang perjalanan Karubaga - Panaga. Dok. Pribadi."][/caption]
"Kalau cepat mungkin sore kita su sampe (sudah sampai), mungkin jam lima begitu bapa", itu jawab Philep Yikwa, seorang tokoh masyarakat yang juga merupakan fasilitator lapangan di tempatku bekerja ketika aku menanyakan jam berapa nanti kira-kira kami akan tiba. Dari Panaga kami berangkat sekitar jam 6 pagi dengan bekal seadanya. Air kemasan botol yang aku bawa dari Karubaga sudah habis, mau tidak mau aku harus berani meminum air dari mata air yang disediakan oleh alam di sepanjang perjalanan. Ternyata rasanya begitu menyegarkan, jernih warnanya dan enak rasanya. Dari penjelasan pak Yikwa, aku mendapatkan informasi bahwa hutan diatas mata air harus dijaga sehingga air akan selalu mengalir.
Memang, tatkala aku melihat sekeliling, yang tampak hanya pepohonan lebat yang menaungi mata air tersebut. Lokasi mata air yang terlindungi dan jauh dari kota sehingga bebas dari polusi memang sepertinya menjamin kualitas air ini. Tak heran siapapun yang melewati mata air ini pasti menyempatkan diri meminumnya barang satu dua teguk.
"Coba bapa liat, di setiap mata air pasti ada buah merah tumbuh. Itu supaya air yang lewat akar-akar pohon buah merah jadi jernih dan enak diminum", jelas Pak Yikwa. Aku berpikir, hmm..benar juga, dan memang hutan di sini masih terpelihara dengan baik. Yang menarik adalah, untuk menjaga mata air tersebut, ada aturan adat yang diberlakukan. Setiap orang yang merusak mata air akan diganjar dengan denda adat. Denda adat adalah sistem yang diberlakukan apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Bentuknya berupa denda membayar babi atau uang sesuai dengan tingkat kesalahannya. Denda adat ini harus dijalankan, karena apabila tidak dipenuhi maka akan ada konsekuensi yang mungkin timbul di kemudian hari entah itu berupa penyakit atau bahkan sampai kematian. Itu juga yang menjadi alasan kenapa perang suku (klan) sering terjadi yaitu karena salah satu pihak tidak membayar denda adat dengan semestinya. Wow!
Melanjutkan perjalanan, aku pun diberi banyak tambahan informasi oleh pak Philep. Suku Lani biasanya menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar rumah. Waktu untuk berada di rumah mereka yang biasa disebut honai hanya pada waktu hari mulai gelap untuk istirahat atau tidur. Honai juga dilengkapi dengan tungku yang berisi kayu bakar untuk menghangatkan penghuni honai waktu tidur. Maklum, suhu udara malam hingga pagi buta di wilayah ini bisa mencapai 7 - 11 derajat Celcius. Tungku itu juga dipakai untuk memanggang hipere atau sekedar menjerang air untuk minum kopi atau teh.
Dengan banyak waktu yang dihabiskan di luar rumah, maka kebutuhan akan air minum, mandi, mencuci baju, sampai mencuci hipere, dan lain-lain dilakukan di mata-mata air atau di sungai. Persediaan air di honai hanya secukupnya saja. Biasa disimpan dalam jirigen berukuran 5 - 10 Liter. Lalu bagaimana dengan kebutuhan untuk buang hajat? Ternyata suku Lani mempunyai aturan khusus tentang ini. Tidak ada orang yang diperkenankan untuk membuang hajat baik itu buang air kecil atau air besar di sekitar lokasi mata air. Buang air kecil dan air besar harus dilakukan jauh dari pinggir sungai. Wah, sungguh kearifan lokal yang luar biasa untuk daerah terpencil seperti ini.
Dengan persediaan air yang sedikit di dalam honai, maka orang suku Lani mencukupkan kebutuhan akan air selama mereka ada di luar rumah dengan mata air yang ada di sepanjang perjalanan dari rumah menuju ke ladang maupun sebaliknya. Mereka percaya akan kualitas air pada mata air tersebut. Ini yang kadang menimbulkan persoalan pada program pipanisasi yang banyak dilakukan didaerah ini. Kadang orang suku Lani langsung meminum begitu saja air yang keluar dari pipa/ kran layaknya air itu berasal dari sebuah mata air.
[caption id="attachment_363139" align="aligncenter" width="442" caption="Minum langsung dari keran. Dok. Pribadi."]
Sambil terus berjalan, pikiranku melayang-layang membayangkan tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia. Sejenak terbayang beberapa artikel yang pernah kubaca tentang air. Siapa yang tahu kalau ternyata gajah bisa mencium bau air dari jarak 3 mil (1 mil = 1,609 km)? Hebat bukan? Atau fakta bahwa hanya 3 persen saja air di muka bumi ini yang berbentuk air segar (fresh water). Sisanya 97 persen adalah air laut. Nah, dari tiga persen itu ternyata hanya 30% yang ada di daratan, sisanya masih terperangkap dalam bentuk es yang memang semakin lama semakin mencair juga oleh proses global warming. Kalau proses pencairan itu dibiarkan terus, maka malapetaka akan terjadi. Jumlah daratan pun akan berkurang.
[caption id="attachment_363130" align="aligncenter" width="560" caption="Hebatnya gajah, bisa mencium air dari jarak yang sangat jauh. "]
Itu baru fakta yang berbicara tentang jumlah air. Belum lagi fakta-fakta yang menyedihkan di berbagai belahan dunia yang menggambarkan tentang sulitnya air didapatkan. Sebanyak 750 juta orang di muka bumi ini diperkirakan tidak punya akses untuk air yang layak minum. Itu melebihi dua kali penduduk Amerika! Belum lagi fakta bahwa penyakit Diare membunuh 842,000 orang setiap tahunnya. Kurang lebih 2,300 orang setiap harinya!
Padahal tubuh kita sebagian besar terdiri atas air. Ada yang mengatakan bahwa 55 - 78 persen dari berat tubuh kita berasal dari kandungan air didalamnya. Saat bayi dalam kandungan, bisa dikatakan tubuhnya terdiri dari hampir 100% air. Jumlah ini menurun seiring dengan bertambahnya umur seseorang sampai mendekati hanya 50% saat kita tua nanti. Air merupakan pelarut universal yang mampu melarutkan dan menyerap senyawa berlebih dalam tubuh kita dan selanjutnya mengeluarkannya. Sebagai bahan utama dari darah dan cairan getah bening, air mengangkut nutrisi dan oksigen ke semua 100 trilyun sel kita dan membawa pergi produk limbah dan karbon dioksida. Proses ini mengakibatkan ginjal harus menyaring sekitar 400 galon darah setiap harinya! Air juga berfungsi sebagai pelumas, yang mencegah gesekan antara bagian yang bergerak dalam tubuh kita, dan memungkinkan gerakan licin makanan melalui sistem pencernaan kita. Secara keseluruhan air lah yang membuat tubuh kita menjadi fleksibel.
Menyadari berbagai fakta tentang air tersebut membuatku terheran-heran sendiri dan pada akhirnya menengadah ke atas sambil mengucap syukur. Mengucap syukur bahwa kita masih diberikan nikmat oleh Yang Maha Kuasa untuk bisa menikmati air yang membantu kelangsungan hidup kita dan beraneka mahluk di muka bumi ini. Namun rasa syukur itu diselipi rasa was-was pula mengingat bahwa di dunia industripun peran air sangat dominan. Dunia industri membutuhkan 20% dari total air yang ada dan sebanyak 75% dari penggunaan air itu adalah untuk menghasilkan energi. Sayangnya dampak industri juga berbuah pada pencemaran air dimana 70% sisa industri di negara-negara berkembang dibuang begitu saja ke aliran air sehingga mencemarinya.
Akupun mencoba membahas soal denda adat yang diceritakan pak Philep tadi, apakah mungkin itu diterapkan juga untuk para pembuang sampah yang mencemari sumber air. Secara garis besar, para lelaki Lani itu tampak mengangguk-angguk setuju. Ini baru sebagian kecil dari mereka. Masih banyak lelaki Lani lain yang harus diberi pemahaman yang sama. Pemahaman tentang pentingnya melestarikan mata air. Pemahaman tentang hubungan air dan pembangunan di masa mendatang. Semoga masih cukup waktu untuk bertindak dan menyelamatkan mata-mata air itu.
Bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H