"Pulau Sebira jauh banget, kalian gak kan kuat", begitu anekdot yang sering dilontarkan beberapa teman kantor kala orang darat, panggilan rekan sejawat kami yang tugas di daratan- menanyakan dimana letak Pulau Sebira.Â
Ya, di antara 11 pulau berpenghuni di gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Sebira letaknya paling jauh, menyendiri dari jajaran pulau-pulau lain yang ada di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Saking jauhnya sebira, bahkan di antara kami, pegawai pemerintah yang ditugaskan di Kepulauan Seribu, tak semua yang pernah menginjakkan kakinya di pulau seluas 5 ha ini.Â
Pulau Sebira masuk dalam dalam RW 03, Kelurahan Pulau Harapan Kecamatan Kepualauan Seribu Utara.
Terakhir, saat kunjungan kerja Wakil Gubernur Sandiaga Uno, 30 Juli 2018, seharusnya saya hadir menemani. Namun, karena terpapar sakit akibat terlalu banyak kena angin laut, dengan sangat menyesal saya tak bisa ikut rombongan Pak Wagub.Â
Walhasil, dari kantor kami, hanya Pak Poltak, Kasudin yang hadir. Padahal, sebagai salah satu 'penguasa' di wilayah Kepulauan Seribu Utara, yang bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan perempuan, anak dan pengendalian penduduk di Kecamatan Seribu Utara, saya seharusnya ada disana. Sebagai Kasatpel Utara seharusnya saat itu saya menemani Kasudin mendampingi Pak Sandi. Namun, nyatanya saya sakit.
Maklum, hanya dinas kesehatan yang rutin menyambangi pulau penghasil ikan asin ini. Mereka punya jadwal sebulan sekali melakukan pelayanan disana. Saya wanti-wanti ke Yuli, tolong koordinasikan dengan pihak Puskes Kelurahan Harapan, kapan mereka akan ke Sebira.Â
Ya sebelum fajar Februari berganti, saya harus ke Sebira, bagaimanapun caranya. Malu saya, sudah hampir setahun bertugas di Seribu Utara, belum pernah sekalipun melakukan pembinaan ke wilayah yang menjadi tanggung jawab saya.Â
Akhirnya, kabar positif tiba di pertengahan Februari, saat saya bertemu dengan staf kesehatan Pulau Seribu, Bang Anci di dermaga Pulau Kelapa, ketika kami sama-sama hadir di Musrembang tingkat kecamatan.Â
Beliau kasih info kalau mereka akhir bulan Februari ini akan ke Sebira. Kepada Yuli saya minta agar koordinasi ke pihak Puskes kelurahan, takutnya rencana itu berubah. Dan, selasa malam, Yuli kasih kabar positif. Rabu, 27 Februari 2019 alhamdulilah akhirnya jadi juga ke Sebira.
Udara di Marina cerah berawan. Hanya riak-riak ombak kecil yang menemani perjalanan dari Marina ke Pramuka. Oh ya, kapal ini akan singgah ke beberapa pulau sebelum ke Sebira. Dari sekitar 30 seat yang tersedia, hampir semuanya terisi.Â
Pemberhentian pertama kami adalah pulau Pramuka, untuk menurunkan obat-obatan bagi RSUD. Satu dua penumpang pegawai kesehatan turun. Gantinya, naek beberpa orang teknisi AC untuk memperbaiki AC di Puskesmas Pulau Panggang.Â
Selepas, Pramuka, kapal menuju ke Pulau Panggang, menjemput beberapa tenaga Kesehatan lainnya. Tak lama singgah di Panggang, kapal menuju ke arah barat daya ke Pulau Kelapa.Â
Kali ini kami singgah agak lama, maklum banyak peralatan dan obat-obatan kesehatan yang diturunkan. Setelah bongkar muat barang dan penumpang, predator menuju ke Pulau Harapan, menjemput Yuli, staf PLKB dan beberapa tenaga kesehatan yang akan bertugas di pulau Sebira.
Maklum, pulau terluar di jajaran Kepulauan Seribu ini tak dilayani kapal predator. Untuk ke Sebira, kita harus berangkat dari pelabuhan rakyat di Muara Angke, numpang kapal nelayan yang biasanya mencari ikan jauh keluar dari gugusan Kepulauan Seribu.Â
Orang pulau biasa menyebut kapal kayu. Jika kita numpang kapal kayu, kita akan tua di laut lantaran lamanya waktu tempuh. rata-rata 8 jam perjalanan, sangat berbeda jauh bila kita naik kapal cepat yang hanya butuh waktu 3 jam-an.Â
Sadar akan sulitnya transportasi ke Sebira, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menginstruksikan kepada jajaran Dishub DKI Jakarta agar membuka layanan kapal cepat ke Sebira.Â
Syukur Alhamdulillah mulai Maret 2019, kini Sebira tak lagi terisolasi. 2 kali dalam seminggu kapal cepat milik Pemprov DKI melayari rute Muara Angke -- Sebira.
Setengah jam kemudian, kapal keluar gugusan pulau memasuki laut lepas. Kiri kanan, depan belakang hanya ada lautan yang tampak di mata. Guncangan ombak pun mulai terasa.Â
Ombak tinggi-tinggi mulai mengiringi perjalanan. Sungguh ini merupakan sensasi yang tak pernah saya rasakan. Tanpa sadar, secara reflek tangan kiri menyambar jaket pelampung yang selama perjalanan Marina Harapan saya letakkan di bawah kaki, tak saya pakai.Â
Ya, naluri bertahan hidup saya berkata, kalau ada apa-apa akibat gelombang tinggi, saya sudah siap. Minimal bila harus kecebur ke laut tidak langsung tenggelam.Â
Bayangan-bayangan keluarga sekelabatan langsung muncul. Tawa dan senyum anak di rumah seketika hadir dalam ingatan. Cerewet manja istri muncul di khayalan bagai fatamorgana. Saya sadar saat ini saya ada di tengah lautan, jauh dari kehangatan keluarga. Segala hal terburuk bisa saja terjadi di kapal yang saya tumpangi.Â
Saya harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. Jalur pelayaran Harapan - Sebira memang terkenal dengan ombaknya yang ganas. Saya masukkan handphone kedalam wadah plastic kedap air. Jaga-jaga kalau.. (hmmm).Â
(bersambung..)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI