Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tren Mempertahankan Jabatan, dari Salaman hingga Cium Tangan

19 Desember 2017   09:29 Diperbarui: 19 Desember 2017   21:55 2863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://srabahyudi.blogspot.co.id

Bagi para pejabat yang sedang menjabat, agar jabatannya itu aman, maka beragam cara dan upaya dilakukan untuk mempertahankan jabatannya. Ada yang menggunakan cara-cara positif, ada pula yang negatif. 

Positif berarti bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin bekerja dengan menunjukan prestasi (performa) dan catatan kerja yang baik. Bila sebelum itu kerjanya lamban, misalnya, maka agar posisinya aman, ia akan bekerja lebih cepat dan lebih baik. Tentu bos takkan memecat anak buah yang bekerja baik. Pada akhirnya, pimpinan atau bosnya tetap mempertahankannya. Jabatannya aman.

Cilakanya, bagi mereka (pejabat) yang memang asalnya gak becus kerja, tentu mempunyai masalah tersendiri. Mau kerja bener, gak mampu. Mau menunjukkan prestasi, gak tau apa yang mesti ditunjukkan. Lha wong ia memang tak punya kemampuan. Nah, untuk tipe pejabat seperti ini maka biasanya mereka menggunakan cara negatif untuk mempertahankan jabatannya.

Pokoknya segala cara --kalau perlu pergi ke dukun-- agar jabatannya aman. Tak hanya itu, agar bos besar bersimpati padanya, maka ilmu menjulurkan lidah pun digunakan. Apa itu? Ilmu menjilat atasan. Ya, ia berusaha mempertahankan posisi dan jabatannya dengan cara membuat bos senang. Senang akan service-nya, senang terhadap kepatuhan dan ketundukannya. Bagaimana pun juga, bos adalah manusia. Yang namanya manusia tentu senang dipuja-puji, senang disanjung-sanjung.

Sebagai anak buah, bila bos kita menggunakan cara-cara positif, tentu kita akan senang melihatnya. Kita sama-sama terpacu untuk maju dan berkembang. Masalahnya, tak selamanya kita peroleh bos yang bisa kerja.

Bila mendapati bos yang gak capable, maka bersiap-siaplah menyaksikan aneka kekonyolan yang dilakukan si bos demi mempertahankan jabatannya. Sewaktu bekerja di swasta dulu, kadang saya tertawa geli melihat sikap dan tingkah bos saya bila menerima telepon dari atasannya. Ada kegugupan, takut bercampur panik yang kulihat di raut wajahnya. Di sela-sela pembicaraannya selalu terselip kata-kata, "Siap Bu..!" atau "Iya Bu.."

Tak hanya itu, bila hendak berbicara pun, bos saya selalu berucap, "Izin, Bu.." atau "Mohon, Bu.." dan kalimat-kalimat ber-nas kepatuhan antara bawahan terhadap atasannya. Atasan bosku memang seorang wanita, kami memanggilnya Bu Kepala.

Ada cerita menarik yang saya dapatkan dari teman saat makan siang. Menurut cerita temanku, saking takutnya para pejabat dengan Bu Kepala, bahkan sampai ada salah satu bos dari divisi sebelah, sebut saja namanya Pak Dahar, yang rela mengganti tampilan profile picture (Propic) di WA pribadinya lantaran tampilan propic itu tidak sesuai dengan selera Bu Kepala. 

Saya sampai tertawa ngakak mendengar cerita teman itu. Padahal kalau dipikir, itu adalah HP pribadi dan WA pribadi Pak Dahar. Lha, kenapa Bu Kepala ikut cawe-cawe hanya karena Pak Dahar satu Group WA dengan Bu Kepala. Namun begitulah yang terjadi, hingga hal-hal yang bersifat pribadi, Pak Dahar pun tak berdaya dihadapan Bu Kepala. 

Bagiku tindakan Pak Dahar yang mengganti propic-nya adalah lambang dari kebodohan Pak Dahar. Ia takut berkonfrontasi membela hak pribadinya di depan Bu Kepala. Mungkin karena takut kehilangan jabatan, yang membutakan akal waras Pak Dahar.

Pernah suatu ketika saat menyopiri bos, berdua kami dalam satu mobil, ia berkata, "Mas, Bu Kepala mau datang ke kantor, mau buka acara/kegiatan kita."

"Bagus dong Pak, kalau Bu Kepala datang ke kantor kita," jawabku acuh tak acuh sambil tetap konsentrasi menyetir, maklum di depan kami melewati jalan sempit yang hanya cukup satu mobil.

"Iya, tapi kan aku jadi repot Mas, nyiapin keperluannya," gerutu bosku.

Oleh bosku, kehadiran Bu Kepala tidak selamanya membawa kebahagiaan. Sering sekali kehadirannya membawa "petaka dan mimpi buruk". Kenapa saya katakan demikian karena bila Bu Kepala datang maka si pejabat (bawahan Bu Kepala) akan menyiapakan segala keperluan, mulai dari kesiapan kerja di unit yang ia pimpin sampai kepada hal-hal teknis yang remeh temeh dan kadang diada-adakan. Nah, hal-hal remeh yang saya nilai lebay inilah yang kadang menyita waktu dan energi kami untuk menyiapkannya.

Si Udin misalnya, OB di kantor ini dipanggil oleh bosku. Ia diperintah untuk membeli durian. Iseng kutanya padanya, "Tumben bapak nyuruh beli duren, emang kenapa, Din?

"Iya mas, Bu Kepala kan mau datang, bapak nyuruh saya beli duren, untuk Bu Kepala," jawab Udin.

Saya tak habis pikir, sampai sebegitunya bosku melayani bosnya. Tak cukup dijamu dengan makan siang dari katering ternama yang biasa dipesan, di ruang kerja bosku tersaji pula parsel buah dan aneka snack nampan yang akan menemani makan siang Bu Kepala. Tak hanya itu, rangkaian bunga segar pun menghiasi ruang kerja bosku.

Tak hanya Udin. Siti, Pardjo, Mukidi, Septi, dan Pandjul, juga dipanggil ke (lantai) atas untuk diberi arahan. Dalam arahannya kepada para OB dan tenaga kebersihan, bosku berpesan agar mereka merapikan taman di depan kantor, membersihkan seluruh ruang kerja, pantry hingga toilet yang mungkin nantinya akan "disidak" oleh Bu Kepala. 

Ya, jangan sampai terjadi Bu Kepala menemukan ketidak rapihan di kantor kami. Maklum, Bu Kepala dikenal resik. Di mobilnya selalu tersedia buah-buahan segar dan tisu basah. Beliau memang gak betah kotor. Selalu ingin bersih dan rapih.

Bagiku ini adalah bentuk yang luar biasa dari "penjilatan" bawahan kepada atasan. Agar dinilai good boy, bosku melayani Bu Kepala dengan segenap jiwa raganya. Pengabdiannya kepada Bu Kepala sangat sepenuh hati. Untuk menggambarkan itu, kalau di militer ada istilah "melebihi panggilan tugas". 

Begitulah sikap bosku. Selain itu tutur kata dan perilaku bosku di depan Bu Kepala juga sangat sopan, laksana rakyat di hadapan rajanya. Tanpa sungkan ia membungkukkan badan tatkala berjabat tangan dengan Bu Kepala. Masih mending itu, bahkan ada salah satu bos dari divisi sebelah yang sampai mencium tangan Bu Kepala saking hormat dan penyerahan diri secara total kepadanya.

http://srabahyudi.blogspot.co.id
http://srabahyudi.blogspot.co.id
Bagi saya, (cium tangan) ini perbuatan yang menjijikkan. Selain pada orang tua, guru, dan kerabat (saudara) yang tua, --dalam ajaran yang orang tuaku terapkan-- pantang bagiku mencium tangan seseorang.

Inilah yang lazim terjadi di lingkungan kantorku. Demi mempertahankan jabatan, apapun dilakukan asalkan bos senang. Sebenarnya, menjamu atau memperlakukan bos adalah bagian dari tata krama adat ketimuran. Namun bila dalam jamuan itu lebih kental nuansa "penjilatan" ketimbang penghormatan yang wajar, yang ada hanyalah kebodohan yang dipertontonkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun