Pada dasarnya sebuah permasalahan hukum privat yang terjadi, didasari dengan adanya ketidakadilan atau bahkan timbulnya kerugian bagi seseorang. Hal tersebut yang dapat mendorong seseorang agar mendapatkan keadilan untuk melakukan atau melayangkan gugatan ke pengadilan. Namun, hal tersebut tidak jarang menjadi salah artian dalam melaksanakan gugatan, yang sering terjadi adalah seperti tidak ada dasar hukum, gugatan yang tidak tepat sasaran, atau bahkan sama sekali tidak ada pelanggaran hukum sebelumnya. Hal tersebut biasa disebut dengan obscuur libel atau gugatan kabur.
Yang dimaksud dengan obscuur libel adalah surat gugatan tidak terang isinya atau isinya gelap (onduidlijk). Bisa disebut juga dengan formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan itu dianggap sudah memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Obscuur libel juga dapat diartikan dengan gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain.[1] Gugatan kabur ini dikarenakan oleh:[2]
- posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari gugatan.
- tidak jelas objek yang disengketakan.
- penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri.
- terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum.
- petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aequo et bono.
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan.[3] Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan ada lima prinsip yang harus ada dalam suatu gugatan, yaitu:
- harus ada dasar hukum
- adanya kepentingan hukum
- merupakan suatu sengketa
- dibuat dengan cermat dan terang
- memahami hukum formil dan materiil
Selain itu, bahwa gugatan yang tidak dapat diterima antara lain gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996:[4]
- gugatan tidak memiliki dasar hukum;
- gugatan error in persona dalam bentuk dikualifikasi atau plurium litis consortium;
- gugatan mengandung cacat atau obscuur libel, atau
- gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas, maka sudah seharusnya para pihak dalam menyusun sebuah gugatan agar dapat lebih teliti, terlebih dalam segi tuntutan dan kejelasan dasar hukum yang menjadi landasan akan sebuah gugatan tersebut. Karena apabila gugatan yang tidak sesuai dengan prinsip dan syarat-syarat gugatan, maka gugatan tersebut dapat ditolak atau tidak dapat dikabulkan oleh majelis hakim. Selain itu, jika objek gugatan tidak dijelaskan dengan jelas dan pasti, maka gugatan dapat dinyatakan obscuur libel. Hal tersebut mengacu pada Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974 yang menyatakan bahwa “Jika objek gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”.[5]
Daftar Pustaka
Buku
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
Dzulhifli Umar dan Utsman Handoyo, Kamus Hukum, Quantum Media Press, Surabaya, 2000.
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1994.
Sopar maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
Yurisprudensi
MA Nomor 556/K/Sip/1973
Disclaimer: Artikel ini dimaksudkan untuk tujuan informasi saja dan bukan merupakan nasihat hukum.
Ditulis Oleh :
Rachmat J Tanjung SH.,CTL.,CLA.,CLI.,CIRP dan Danur Ikhwantoro,SH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H