Pernah dengar istilah Post Truth? Apa hubungannya dengan Literasi Media?Â
Sekitar tigapuluh tahun silam, tepatnya di tahun 1992, Steve Tesih memperkenalkan istilah Post Truth dalam tulisannya  "The Government of Lies" yang dimuat dalam majalah The Nation. Penulisan topik tersebut berkaitan dengan kondisi perang Teluk dan Iran.  Isu Post Truth ini kemudian diangkat lagi oleh Ralph Keys bersama dengan Stephen Colber  seorang komedian pada tahun 2004 dengan menulis artikel berjudul "Truthiness".  Di tahun 2016, istilah Post Truth menjadi word of the year pada kamus Oxford.
Apakah itu Post Truth?
Pada kamus Oxford, istilah Post Truth didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh teradap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Mengutip ruangguru.com, makna dari kata Post Truth itu merujuk kepada sesuatu  yang seolah-olah benar padahal tidak benar sama sekali.
 Secara simpel Post Truth diartikan sebagai kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.  Ada pepatah "kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran". Bagaimana cara mengubah kebohongan menjadi seolah-olah kebenaran, hal itu dilakukan dengan  memainkan emosi dan perasaan.
Di era Post Truth, Â orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya berita hoax.
Banyaknya muncul berita hoax itu menyebabkan kesimpangsiuran informasi. Kita jadi susah memilah,  mana fakta dan bukan fakta. Hal itu  membuat kita ragu.
Munculnya era Post Truth itu membahayakan, karena kita disuguhi  berita dan informasi yang seolah-olah benar adanya. Padahal berita itu tidak faktual, tetapi lebih diwarnai konten yang menggiring pembaca untuk mempercayai informasi yang ada.
Bahaya lainnya  dari Post Truth itu, adalah kerja sama dengan filter bubble.  Filter bubble  yaitu algoritma yang dibuat oleh media sosial dimana kita disuguhkan informasi sesuai dengan yang kita suka saja. Artinya jika kita suka dengan informasi yang disebarkan dalam media sosial, padahal itu hoax maka selanjutnya media sosial akan terus mengirimkan berita lainnya yang sifatnya juga hoax.
Dengan seringnya membaca berita hoax seperti itu, kedepannya akan membentuk mindset di pikiran pembaca seolah-olah berita yang dibacanya itu benar adanya.
Pembaca  seolah berada dalam gelembung yang berisi informasi yang itu-itu aja. Pembaca seperti dipersulit untuk melihat keluar dari gelembung. Dan setiap orang terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Menurut Pasirer (2011), wajar kalau filter bubble adalah faktor penting dalam semakin berpengaruhnya fake news, hoax, dan hate speech.Â
Lebih parah lagi, apa yang kita percaya di dalam lubuk hati terdalam, lama kelamaan akan membantuk komitmen, dan itu akan menggerakkan pembaca dalam berbuat sesuatu.
Akibat buruk dari era Post Truth secara tidak langsung  membuat emosi atau gampang stress. Kita susah memilah antara fakta dan bukan fakta. Selain itu kita jadi punya permasalahan kepercayaan  dan takut perbedaan.
Peranan Literasi Media
Mengutip Devega pada kominfo.go.id (10/10/2017), literasi media dapat menjadi solusi Post Truth.  Kenapa demikian, hal itu tidak terlepas dari fakta 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, berada pada urutan kelima  dunia terbanyak kepemilikan gadget.
Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Masih menurut Devega, lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax itu
Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya memang begitu, diukur lewat Alexa.com beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti Antaranews dan Tempo.co
Kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok. Mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting.
Selain tidak mempersoalkan kebenaran informasi yang disebar luaskan, munculnya Post Truth ini juga mengabaikan kepercayaan kita terhadap kredibilitas nama medianya.Â
Ketika media mainstream tidak sepaham faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru berbalik menjadi tidak percaya terhadap media bernama besar itu. Di sini yang mengganggu bukan  hanya media sosial berisi hoax, tetapi juga media fake news yang menyebarluaskan opini yang terpolarisasi.
Solusi mengatasi hal tersebut  dapat dilakukan dengan membangun literasi media dan menjembatani polarisasi itu. Dalam hal ini pihak Menkominfo harus tegas, membuat pelabelan terhadap situs atau artikel sebagai hoax dengan kriteria dan prosedur yang jelas.Â
Selain itu kita bisa juga menulis yang isinya kontra narasi yang kredibel terhadap hoak/opini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI