Pembaca  seolah berada dalam gelembung yang berisi informasi yang itu-itu aja. Pembaca seperti dipersulit untuk melihat keluar dari gelembung. Dan setiap orang terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Menurut Pasirer (2011), wajar kalau filter bubble adalah faktor penting dalam semakin berpengaruhnya fake news, hoax, dan hate speech.Â
Lebih parah lagi, apa yang kita percaya di dalam lubuk hati terdalam, lama kelamaan akan membantuk komitmen, dan itu akan menggerakkan pembaca dalam berbuat sesuatu.
Akibat buruk dari era Post Truth secara tidak langsung  membuat emosi atau gampang stress. Kita susah memilah antara fakta dan bukan fakta. Selain itu kita jadi punya permasalahan kepercayaan  dan takut perbedaan.
Peranan Literasi Media
Mengutip Devega pada kominfo.go.id (10/10/2017), literasi media dapat menjadi solusi Post Truth.  Kenapa demikian, hal itu tidak terlepas dari fakta 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, berada pada urutan kelima  dunia terbanyak kepemilikan gadget.
Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Masih menurut Devega, lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax itu
Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya memang begitu, diukur lewat Alexa.com beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti Antaranews dan Tempo.co
Kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok. Mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting.
Selain tidak mempersoalkan kebenaran informasi yang disebar luaskan, munculnya Post Truth ini juga mengabaikan kepercayaan kita terhadap kredibilitas nama medianya.Â
Ketika media mainstream tidak sepaham faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru berbalik menjadi tidak percaya terhadap media bernama besar itu. Di sini yang mengganggu bukan  hanya media sosial berisi hoax, tetapi juga media fake news yang menyebarluaskan opini yang terpolarisasi.