berpengaruh pada terbatasnya wawasan. Hal itu tampak dalam budaya bertani yang  dilakukannya secara konvensional dan cenderung trasidional dalam arti dilakukan berdasarkan pengalaman yang diperolehnya secara turun temurun berdasarkan tradisinya.
Lahan garapan usahatani yang relatif sempit kurang dari 0,5 hektare. Bahkan banyak petani yang garapan lahan usahataninya lebih kecil lagi dari 0,5 hektare. Orientasi usahataninya  cenderung hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri (subsisten). Kalaupun ada yang menjual hasil, itu adalah sisa konsumsi.
Komoditas utama yang diusahakan di sawah biasanya fokus pada tanaman yang menjadi sumber bahan pangan pokok seperti misalnya padi. Lahan pekarangan ditanami tanaman sayuran, atau buah-buahan beberapa pohon. Di antaranya ada juga yang memelihara ternak. Namun semua jenis komoditas di luar bahan pangan pokok itu hanya diusahakan sebagai sampingan.
Budaya bertani di lingkungan petani dilakukan sendiri-sendiri, demikian juga keputusan dalam menentukan jenis komoditas yang diusahakan, kapan waktu tanam, dan kepada siapa kalau akan menjual hasil tanamannya diputuskan sendiri oleh petani. Tidak melibatkan petani lainnya.
Keberadaan kelembagaan kelompoktani belum berjalan efektif dalam mendukung kinerja budidaya pertanian. Motivasi pembentukan kelompoktani lebih banyak dilakukan untuk merespons bantuan pemerintah, yang menjadi persyaratan administratif. Akibat belum efektifnya kelembagaan kelompoktani ditunjukkan oleh relatif lemahnya bargaining position dalam pemasaran produk pertanian.
Jika tidak segera menindaklanjutinya dengan langkah-langkah strategis dan terencana dengan baik, diperkirakan perekonomian masyarakat pertanian dan pedesaan Indonesia akan mengalami kemunduran.
Langkah Strategis Transformasi Budaya Bertani
Transformasi budaya bertani tidak akan berjalan dengan sendirinya secara alamiah. Petani terkadang tidak sadar akan potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun yang ada di lingkungannya yang dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja usahataninya. Diperlukan sentuhan yang humanis agar petani menyadari potensinya untuk berubah kearah yang lebih baik.
Pertama, mendorong perubahan pola pikir atau mindset dalam bertani. Bahwa bertani dapat dijadikan andalan untuk meningkatkan pendapatan menuju perbaikan  kesejahteraan. Dapat dilakukan melalui bimbingan teknologi dan pendampingan, melibatkan narasumber yang kompeten dalam usaha tani.
Kedua, Â menyediakan fasilitas logistik sarana produksi usaha tani yang memadai dan adaptif sesuai dengan kondisi biofisik dan karekteristik petani.