Mohon tunggu...
Rachmat Galuh Septyadhi
Rachmat Galuh Septyadhi Mohon Tunggu... -

Bersenang senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Obyektif dalam Memendam Benci

25 April 2011   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika kita mencintai seseorang, kita selalu menceritakan hal hal yang positif kepada orang lain. Walaupun sebenarnya orang yang kita kasihi tersebut lebih banyak menyakiti hati kita. Rasa cinta dan kasih sayang telah membalut hati kita sehingga kesalahan yang dilakukannya, sebesar apapun itu, bisa kita maafkan. Kita pun tidak pernah mengharapkan pamrih atas kebaikan yang kita berikan. Tanpa sadar sebenarnya telah terjadi ketimpangan apa yang kita beri dengan apa yang kita terima.

Sebaliknya, ketika kita tidak menyukai seseorang maka apapun yang berkenaan dengan orang tersebut akan terasa mengusik hati kita. Walaupun orang tersebut mengerjakan suatu kebaikan. Jika sudah membenci seseorang, maka kebaikan yang ia lakukan pun akan terkalahkan oleh sisi negatifnya. Padahal begitu besar dan berharga kebaikan yang dilakukannya. Kitapun selalu menilai kebaikkannya dengan firasat negatif. Ketika ia memberi salam kepada kita, kita menilainya sok idealis. Ketika ia membantu kita, kita menilainya sok kuat. Ketika ia memberi masukan, kita menilainya sok pintar. Semua sikap baiknya termentahkan oleh kebencian yang kita ciptakan.

Sikap subyektif memang manusiawi, namun jika kita membenci orang atas dasar subjektif maka secara tidak sadar kita telah mengerogoti keindahan dalam hidup. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan perintah agama dan etika berhipotesis.

Demikian pula jika mencintai orang terlalu subyektif. Akhirnya muncul sikap sikap kekonyolan dan hal hal yang tidak masuk akal. Aku memberikan contoh apa yang terjadi pada The Teapot Dome Scandal di Amerika Serikat.

Singkat ceritanya begini, The Teapot Dome Scandal adalah kasus korupsi di bidang oil and gas Amerika Serikat pada tahun 1922 – 1923. Saat itu Amerika tengah dijabat presiden Warren G. Harding.  Kasus korupsi ini menjadi kasus yang sangat hangat saat itu. Ratusan surat kabar dan masyarakat  Amerika mencecar habis habisan pemerintah selama satu tahun.

Kasus ini berawal dari seorang Albert Fall yang saat itu bertindak sebagai menteri dalam negeri. Ia diberikan amanat untuk mengatur segala kebijakan energi minyak di beberapa lapangan seperti lapangan Teapot Dome, Eik Hill, dan Buena Vista. Bersama bagian internal Navy, ia bertanggung jawab untuk mengawasi cadangan minyak yang ada disana untuk kebutuhan militer Amerika Serikat. Ia yang berhak menentukan perusahaan mana yang dapat memenangi tender untuk beroperasi di wilayah tersebut.

Namun Albert tidak melakukan hal itu. Ia justru melangkahi prosesi lelang dan secara pribadi menunjuk langsung rekannya bernama Hillary F Sinclair untuk menggarap blok Teapot Dome. Ia juga menghadiahkan lapangan Eik Hill dan Buena Vista kepada rekannya bernama Edward L Doheny.

Kondisi ini menyeret Albert ke dalam praktik korupsi karena segala keuntungan dari proyek itu mengalir deras ke kantong Albert dan kedua rekannya itu. Tidak ada orang yang mengetahui hal ini sebelum ketamakan Edward yang merugikan dirinya dan akhirnya terbongkarnya kasus ini.

Edward menyarankan kepada Albert untuk memerintahkan Navy yang berada dibawah perintahnya untuk segera mengusir sekawanan kontraktor minyak yang berdekatan dengan Eik Hill. Mereka semua diusir secara paksa agar lokasi sumur tersebut menjadi miliknya. Kontraktor minyak tersebut mengadukan kasus tersebut kepada pengadilan dan akhirnya tersingkaplah konspirasi hitam ini.

Kejadian ini sempat menghujam partai demokrat dengan kritik pedas dari masyarakat. Krisis kepercayaan terjadi dalam kabinet presiden Harding. Klimaksnya, Albert dan rekan rekannya dijebloskan dalam penjara seumur hidupnya.

Beberapa tahun setelah Albert meninggal dan kasus tersebut memudar dari media dan masyarakat, kebencian rakyat amerika kepada Albert kembali teringat setelah kelakuan istrinya Albert , Emma G. Morgan yang sangat memalukan.

Saat itu presiden Amerika Serikat, Herbert Hoover sedang berpidato dalam acara politik. Kebetulan Emma menghadiri acara tersebut karena acara itu dihadiri pejabat pejabat negara. Namun dalam pidatonya  Hoover mengatakan bahwa wafatnya Harding adalah stress yang diakibatkan oleh temannya sendiri yang merusak citra dirinya dan partainya.

Mendengar pidato publik tersebut, Emma berdiri dari kursinya dan berteriak tanpa menghiraukan para hadirin yang lain. Dengan lantang ia mengatakan, ” What! Harding betrayed by Fall? No! My Husband never betrayed anyone. This whole house full of gold would not tempt my husband to do wrong. He is the one who has been betrayed and led to slaughter crucified”

Betapa keras kepalanya istri Fall yang dalam ucapannya masih saja mendewa dewakan suaminya. Sudah terbukti secara terang terangan bahwa dia bersalah di pengadilan tapi masih menganggap suaminya sebagai korban.

Begitulah, sifat subyektif dalam darah kita memang selalu akan membuat kita terlihat konyol dan tidak masuk akal. Hadirnya cinta ataupun benci akan membiaskan nilai nilai obyektif dalam diri kita. Berbicara tentang obyektifitas, mungkin menjadi pelajaran yang tak akan pernah selesai untuk kita pelajari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun