Aku bosan. Aku merasa hidupku tak menarik seperti mereka. Berjalan sesuka hati. Mengikuti langkah kaki atau hati.
Aku tak menyalahkan orangtua angkatku. Dia baik. Keluarganya juga memperlakukanku dengan baik, sangat baik bahkan. Aku dimanja, diberi kasih sayang. Aku tak perlu memikirkan tempat tinggal atau makan. Aku cukup bersikap manis saja.
Tetapi, hidup seperti sekarang tidak membuat semangatku bergelora. Aku sering muram. Kadang saat aku bercermin, aku melihat wajah tanpa gairah. Seperti wajah mereka yang kehilangan orang tersayang. Hanya saja, aku memiliki semua orang yang menyayangiku. Aku membalas rasa sayang itu. Tetapi, lagi-lagi, sering aku berpikir, aku menginginkan perubahan dalam hidupku. Aku ingin kebebasan. Bebas melihat dunia.
Pernah sesekali aku pergi keluar rumah. Jaraknya tak cukup jauh dari pagar rumah. Aku merasakan kebebasan. Merasakan langit yang beda. Melihat orang-orang baru. Bermain dengan bahaya. Sungguh, aku pernah melakukan itu semua. Aku suka ketika melakukannya. Sangat memuaskan hati dan pikiranku.
Namun, saat aku ingin melangkah lebih jauh. Aku takut. Aku memikirkan bagaimana aku bertahan. Di mana aku tinggal. Siapa yang memberiku kasih sayang. Apakah aku akan dimanja. Aku butuh belaian. Aku akui, aku suka dibelai. Itu membuatku nyaman, sangat nyaman. Kadang, saat orangtua angkatku atau keluarganya membelai, aku tertidur di pangkuannya. Tertidur pulas sampai aku bermimpi. Mimpi yang indah pastinya.
Aku hentikan langkahku untuk pergi jauh. Aku ketakutan lalu berbalik menuju rumah. Aku juga tak ingin orangtua angkatku sedih. Aku tak mau ia muram karena kehilanganku. Gundah hatinya memikirkan kepergianku.
Aku tak pernah ingat kapan aku pertama kali tinggal bersama orangtua angkatku. Aku punya kamar sendiri. Letaknya memang di belakang, tapi itu sudah cukup untukku. Aku merasa nyaman.
Seiring umurku bertambah, saat aku mampu berjalan mandiri hingga berlari sendirian, aku keluyuran di rumah sementaraku ini. Aku kadang naik ke lantai dua. Sesekali aku mencoba naik ke genteng. Tentu saja itu dilarang, namaku dipangil-dipanggil. Tetapi, gairah dan darahku yang masih muda menepis larangan itu. Aku paksa keberanianku, aku enyahkan ketakutanku. Aku pun sudah berada di ketinggian. Di atas genteng.
Pernah suatu kali aku mendapat omelan. Piring jatuh karena tanganku sebabnya. Pecahan kaca pun berhamburan jadinya. Aku hanya ingin mencoba mengambil makan dari meja makan. Aku sangat ingat kesalahan pertamaku ini.
Namanya orangtua, sudah pasti memberi ceramah panjang. Aku hanya menunduk layaknya anak kebanyakan. Ini hanya satu dari sekian banyak ocehan panjang dari orangtuaku. Termasuk saat  aku keluyuran terlalu lama. Mencoba mencari teman baru dari lingkunganku. Mencoba mengerti perasaan selain diriku, orangtua angkatku dan keluarganya.
Semakin hari, siklus kehidupanku monoton. Tidur, makan, bermain atau bersantai ria. Atau menatap perilaku orang-orang serumah. Jika sudah begini, aku keluar saja lewat jendela di salah satu kamar lantai dua. Aku keluyuran sebentar. Mencari angin. Mencari kehidupan lain. Bermain resiko ingin kabur. Tetapi, aku pasti balik lagi ke rumah. Alasannya masih sama... Aku takut kehidupan di luar sana.