Orientasi Renaisans pada awalnya sebenarnya tidak melihat ke masa depan, tetapi justru melihat ke belakang dengan menggali kembali ajaran-ajaran hasil pemikir-pemikir Yunani. Renaisans merupakan sebuah reaksi terhadap zaman abad pertengahan yang dianggap terlalu dogmatis, theosentris, tidak rasional yang kemudian diganti dengan prinsip yang bertolak belakang dari akal, nalar, dan ilmiah.
Adanya keterlibatan budaya timur (Arab, Cina, India) yang secara langsung atau tidak langsung tetap memiliki andil pada pembentukan budaya barat. Manusia dilihat sebagai makhluk yang unik. Memiliki derajat yang tinggi, mempunyai nilai serta berhak atas suatu karya. Kemudian muncul ide atau pemikiran tentang humanisme, penggalian kembali kebudayaan Yunani klasik di bidang retorika, sejarah, etika, dan politik.
Pada abad ke-15 muncul suatu proses transformasi baru dalam dunia berpikir yang menandai lahirnya suatu zaman yang disebut dengan Zaman Pencerahan atau Renaisans. Perubahan ini dikenal dengan Copernican Revolution yang mentengahkan konsep berpikir berdasarkan metode eksperimental dan pengamatan. Periode yang dibahas di dalam sini ialah 3 abad sejak Machiavelli sampai Burke, sebagai keseluruhan, kesatuan, itu dapat dianggap sebagai periode modern awal sejarah Eropa, pasca abad pertengahan, dan pra modern.
Pemikiran Politik Era Renaisans
Machiavelli
Skinner & Virolli dalam Gaus & Kukathas menyebutkan bahwa Discourses Machiavelli, kesetiaannya pada teori klasik, komitmen-komitmennya sebagai seorang warga kota, dan pengalamannya dengan krisis-krisis yang menghantam banyak rezim republik di Italia ditonjolkan dengan hamper mengabaikan reputasi Machiavelli (Gaus & Kukathas, 2012). Pandangan yang lebih layak dihormati tentang Machiavelli sebagai seorang realis politis dan penganjur politik kekuasaan amoral ditegaskan kembali beberapa dekade yang lalu oleh Leo Strauss yang menganggap bahwa Machiavelli merupakan pendiri utama modernitas dan masalah-masalahnya. Dalam hal tersebut, Machiavelli ditunjukkan sudah meninggalkan unsur-unsur utama tradisi klasik dan tradisi alkitab (termasuk hukum alam), mendistorsi banyak teks klasik demi tujuannya sendiri, terkadang juga dengan menggunakan metode esoteris dalam prosesnya.
Renaisans di Hari Berikutnya
Era di antara Machiavelli dan Hobbes tidak melahirkan seorang teoritukus politik sekelas mereka berdua sehingga realatif menjadi diabaikan oleh para peneliti pemikiran politik. Francis Bacon merupakan salah satu tokoh penting lainnya dari era ini yang selalu digemar, namun tidak pernah benar-benar dimasukkan ke deretan pertama teoritikus politik. Biasanya karya tentang teori politik milik Bacon menghubungkan politik dengan tulisan-tulisan luasnya yang mempromosikan kemajuan sains dan berfokus pada The New Atlantis sebagai petunjuk ambigu tentang masyarakat modern ketika sains membekali otoritas politik dengan teknologi control sebagai suatu segi kekuasaan.
Hobbes
Hobbes selalu menjadi salah satu tokoh yang penting di dalam teori politik, baik dalam arti historis ataupun dalam arti analitis. Hobbes seringkali diakui sebagai seorang pelopor intelektual, dan terkadang bahkan sebagai tokoh yang karyanya dapat dinilai kembali dan disistematisasikan secara bermanfaat untuk menarik perhatian penelitian kontemporer terhadap sumbangan-sumbanganya.
 Penggunaan kontemporer kepada Hobbes seperti itu menjadikannya sebagai pendiri dari pendekatan ekonomistis terhadap teori politik melalui postulasinya tentang bentuk kaku dari egoism rasional saat dikombinasikan dengan individualism metodologis. Menurut Skinner dalam Gaus & Kukathas, Hobbes berada di titik pertemuan antara dua kekuatan budaya besar yaitu humanisme renaisans yang terilhami secara klasik dan berkelanjutan dengan memerhatikan penggunaan retorika di dalam wacana moral dan metode serta budaya para ilmuwan alam yang umumnya anti klasik, namun semakin lama semakin berpengaruh yang meyakini bahwa demonstrasi ilmiah akan dapat menghasilkan persetujuan intelektual tanpa harus menggunakan teknik-teknik persuasif.
Burke dan Kaum Radikal Inggris
Sebagai orang yang memiliki pandangan berbeda mengenai hal agama atau sebagai pemikir bebas, mereka tidak tergolong ke dalam orang-orang yang mapan dalam kehidupan Inggris pada abad ke-18, fakta yang tidak menghalangi kemakmuran ekonomi dan gairah intelektual tingkat tinggi di dalam komunitas di mana tempat mereka berada. Tidak mengherankan bahwa kepentingan politis mereka yang utama adalah kepentingan anti kemapanan yang mewajarkan dan memperluas cabang parlementer ke arah demokratis. Mereka juga mendukung dan mengembangkan beberapa unsur radikalisme filsafati yang secara sadar diri progresif dan egaliter yang merupakan ciri khas Pencerahan Prancis ketimbang Pencerahan Inggris. Unsur-unsur tersebut meliputi hak-hak alami, ataupun utilitarianisme, yang kedua-duanya sesekali bersama-sama digunakan dengan cara sedemikian rupa untuk menyerang segala macam lembaga tradisional dan hak istimewa sosial.
Daftar Rujukan
Gaus, G. F., & Kukathas, C. (2012). HandBook Teori Politik.
Hidayatullah, T. (2020). RENAISANS (Abad 15-16).
Mujahid, H. (2011). Etika dan Kekuasaan: Pemikiran Niccolo Machiavelli atas Etika dan Kekuasaan dalam Ranah Politik. Jurnal Demokrasi, 1(1), 1--23. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=101282&val=1511&title=Demokrasi dan Hak Asasi Manusia%0Ahttp://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H