Indonesia memiliki satu tokoh reformasi yang dikenal sebagai "Bapak Pluralisme Indonesia", Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau sosok yang akrab disapa Gus Dur. Ia adalah tokoh Muslim yang menjunjung tinggi kebhinekaan di tanah air. Adil dan toleran, dua kata yang paling tepat menggambarkan sikapnya terhadap keanekaragaman suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia.
Di era kepemimpinannya, Gus Dur menunjukan bahwa ia tak hanya bicara. Salah satunya adalah mengembalikan hak-hak umat beragama Konghucu yang terpasung selama Orde Baru, atau mencabut peraturan yang melarang kegiatan adat warga Tionghoa secara terbuka. Nilai toleransi sudah tertanam di dalam jiwa Gus Dur sejak saat ia masih muda. Saat masih duduk di bangku sekolah, Gus Dur sudah dijejali bermacam buku yang tak selalu mengajarkan tentang Islam saja. Gus Dur dalam pidatonya mengatakan pluralisme yang menjadi isi buku dan roh dirinya diambil dari keputusan Muktamar Nahdatul Ulama (NU) pada 1935.
Bukan hanya studi di luar negeri saja, Gus Dur telah banyak menamatkan beberapa karya sastra. Karya sastra yang dibacanya antara lain karya Ernest Hemigway, Jhon Steinback, dan William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Mairaux, Ortega Y.Gaset dan beberapa karya tulis Rusia, seperti: Puskin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.
Karier Gus Dur di dunia sudah tidak diragukan lagi, bahkan segudang prestasi sudah diraihnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang manusia yang agamis dan layak disebut tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia. Namun, meskipun memiliki karier yang sukses, Gus Dur merasa sulit hidup dari satu mata pencaharian saja, hingga akhirnya dia mencari pekerjaan tambahan dengan menjual kacang dan es lilin yang dirintis dengan istrinya.
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur merupakan presiden republik Indonesia yang keempat dan dalam masa pemerintahannya dipenuhi dengan kontroversi dan menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat. Setelah jatuhnya Rezim Soeharto Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara, konflik meletus di berbagai daerah.
Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Seperti penyelesaian konflik Aceh secara damai dan menetralisir Irian Jaya dengan mendorong penggunaan nama Papua. Gus Dur menjadi pemimpin yang meletakkan pondasi perdamaian Aceh, karena pada pemerintahan Gus Durlah ada pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga Indonesia terbuka, yang tadinya permasalahan ini merupakan permasalahan yang tabu, yang seakan-akan tertutup rapat.
Ditambah lagi saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya dengan Aceh, Gus Dur tetap memilih pendekatan penyelesaian yang simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membicarakan Aceh secara damai.
Langkah yang diambil Gus Dur memang banyak larangan dari para tokoh politik karena dianggap akan membahayakan kestabilan negara. Namun Gus Dur menganggapnya dari sudut yang berbeda, dia menganggap apabila tidak ada sebuah tindakan yang nyata maka Aceh akan lebih berbahaya dan bisa saja dia keluar dari NKRI. Dalam ambisinya, Gus Dur sering melontarkan pendapat yang kontroversial, ia tak getar mengungkapkan sesuatu yang diyakini nya benar padahal banyak orang yang sulit memahami dan menerimanya.
Setelah berhenti menjadi presiden Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karir dan perjuangannya sampai di sini saja. Tahun 2002, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Kemudian pada tahun 2003, Gus Dur menjadi penasihat dalam Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional. Pada tahun 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik bersama koalisi Nusantara Bangkit Bersama bersama Tri Sutrisno, Wiranto Akbar Tanjung dan Megawati, di mana koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan pada tahun 2009, merupakan hari terakhir bagi Bapak Pluralisme Indonesia ini. Gus Dur meninggal pada hari Rabu, 30 Desember 2009 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18:45 WIB.
Gus Dur dan Pluralisme memang dua kata yang tidak bisa dipisahkan dari telinga masyarakat Indonesia. Karena jasa-jasa Gus Dur dalam mengedepankan kebersamaan walaupun berbeda ras dan keyakinan. Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, Katolik dan etnis Tionghoa.
Dan sikap yang ditunjukkan oleh Gus Dur ini menghadirkan pro dan kontra tersendiri dari pemikirannya yang sering kontroversial. Dalam memperjuangkan pluralisme di Indonesia dan dalam membela kaum minoritas, Gus Dur tidaklah takut untuk melawan arus demi menegakkan apa yang ia anggap benar, walaupun risiko yang didapat dari perbuatannya itu bisa berakibat fatal untuk ke depannya.