JAKARTA-GEMPOL, Televisi digital atau penyiaran digital adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal video, audio, dan data ke pesawat televisi. Stasiun televisi memanfaatkan sistem teknologi digital (khususnya perangkat studio) untuk memproduksi program, editing, recording dan menyimpan data. Pengiriman sinyal gambar, suara dan data menggunakan sistem transmisi digital dengan menggunakan satelit hanya dimanfaatkan oleh siaran TV berlangganan.
Aplikasi teknologi digital pada sistem penyiaran TV yang dikembangkan di pertengahan tahun 90an dan diujicobakan pada tahun 2000. Pada awal pengoperasian sistem digital, dilakukan siaran TV secara bersama dengan siaran analog sebagai masa transisi. Ujicoba sistem tersebut dilakukan sampai mendapatkan hasil penerapan siaran TV digital yang paling ekonomis, sesuai dengan kebutuhan dari negara yang mengoperasikan.
Migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital membutuhkan penggantian perangkat pemancar TV dan penerima siaran TV. Karena pesawat TV analog tidak bisa menerima sinyal digital, maka diperlukan alat tambahan yang dikenal dengan Set-Top Box yang berfungsi menerima dan merubah sinyal digital menjadi sinyal analog.Set-Top Box berguna untuk meminimalkan resiko kerugian (baik bagi operator TV maupun masyarakat) agar pesawat penerima analog dapat menerima siaran analog dari pemancar TV yang menyiarkan siaran TV Digital, sehingga pemirsa (masyarakat) yang telah memiliki pesawat penerima TV analog secara perlahan-lahan dapat beralih ke teknologi TV digital dengan tanpa terputus layanan siaran yang ada selama ini.
Infrastruktur TV digital terrestrial relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan infrastruktur TV analog. Karena itu, operator TV (yang sudah ada) dapat memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun, seperti studio, bangunan, SDM dan lain sebagainya dan menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Sehingga di kemudian hari penyelenggara TV digital dapat dibagi menjadi penyedia jaringan (Network Provider) dan penyedia isi (Content Provider).Dengan siaran TV digital setiap satu kanal yang lebarnya 7-8 MHz bisa dipakai oleh enam program siaran TV, sehingga selain terjadi optimasi frekuensi juga optimasi bandwidth.
Pada 13 Agustus 2008, bertempat di auditorium TVRI, telah dilakukan soft launching siaran TV digital, dengan pelaksana LPP TVRI bekerjasama dengan PT.Telkom, BPPT, PT. LEN Industri, PT. INTI, Polytron, dan RRI. Launching yang dihadiri oleh wakil presiden tersebut merupakan pertanda dimulai proses migrasi dari sistem analog ke sistem digital di Indonesia.Pelaksana uji coba penyelenggaraan siaran televisi digital dilakukan sejak 30 April 2009. Peresmiannya dilakukan Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, pada 20 Mei 2009.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengajak masyarakat umum agar migrasi dari televisi analog menjadi televisi digital. Hal itu dilakukan untuk memenuhi ketentuan internasional tentang siaran televisi digital.International Telecommunication Union (ITU) atau otoritas telekomunikasi internasional telah memberi batas akhir (deadline) kepada seluruh negara di dunia, agar paling lambat, 17 Juni 2015 seluruh lembaga penyiaran melakukan penyiaran dengan digital.
Pemerintah telah melakukan uji coba terhadap siaran televisi digital pada Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada empat kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Batam sejak 2010.Sesuai dengan Undang-undang No 32 Tahun 2002, televisi digital akan menjamin diversity of ownership, diversity of content dan sistem stasiun jaringan (SSJ) yang tidak akan menimbulkan kasus monopoli.Pemerintah akan memisah penyelenggara multiplexer (mux) dengan penyelenggara siaran, tadinya 33 zona, sekarang 15 zona dengan 1 zona ada 6 mux dan 1 mux ada 12 channel. Jadi dalam 1 zona akan tersedia 72 channel televisi digital.
Pemerintah mengharapkan waktu migrasi dari televisi analog ke digital diberikan batas sampai 2018. Dalam masa transisi, konsumen yang mempunyai televisi analog memerlukan set top box untuk dapat menerima siaran digital tersebut.Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menggelar tender multiplexing TV digital pada April 2012.Multiplexing merupakan penyiaran dua program atau lebih dengan menggunakan transmisi pada satu saluran dalam waktu bersamaan. Dalam transmisi digital, sinyal biasanya di-multiplex-kan menggunakan time-division multiplexing (TDM).
Peraturan Menteri Kominfo No.22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) juga Peraturan Menteri Kominfo No.23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Teresterial. Rancangan Keputusan Menteri Kominfo tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multiplexing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) di Zona Layanan 4 (DKI Jakarta dan Banten), 5 (Jawa Barat), 6 (Jawa Tengah dan Yogyakarta), 7 (Jawa Timur) dan 15 (Kepulauan Riau).
RPM Standar Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) di Indonesia itu nantinya seandainya sudah disahkan akan menggantikan Peraturan Menteri Kominfo No. 7/P/M.KOMINFO/3/2007 tentang Standar Penyiaran Digital Teresterial Untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia. Dengan pertimbangan di antaranya adalah adanya perkembangan dan peningkatan standar dari DVB-T yang berubah menjadi DVB-T2 (DVB-T generasi kedua), setelah sebelumnya mengalami kajian dan konsultasi dengan para pelaku industri penyiaran terkait dengan standar penyoaran televisi digital tersebut.
Sorotan terhadap Kemenkominfo datang dari mana-mana, dari mulai anggota parlemen, pengamat, praktisi penyiaran, hingga pelaku industri penyiaran. Intinya, mereka tak setuju Kemenkominfo menggelar tender penyelenggara siaran TV digital terestrial. Mereka menuntut PM 22/2011 dicabut.
Banyak yang janggal dalam PM 22/2011. Kita selama ini hampir tak pernah mendengar kabar tentang peraturan tersebut. Aturan yang diterbitkan pada November 2011 ini baru mencuat beberapa hari belakangan, itu pun setelah polemic muncul.
Sulit dipahami jika sebuah peraturan menteri yang baru dua bulan diterbitkan dan tanpa disosialisasikan dengan baik, kemudian dijadikan dasar hukum bagi sebuah kegiatan yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Kejanggalan lain adalah ketidaksinkronan PM 22/2011 dengan Undang- Undang (UU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. PM 22/2011 yang seharusnya menjadi produk hokum turunan, justru bertentangan dengan UU Penyiaran sebagai payung hukum yang memiliki derajad lebih tinggi. UU Penyiaran secara terang-benderang menggariskan bahwa frekuensi merupakan ranah publik.
Penguasaan frekuensi TV digital oleh satu atau sekelompok orang sungguh riskan. Karena merupakan sumber daya terbatas, frekuensi TV digital sebaiknya dikelola negara, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan asas manfaat bagi segenap rakyat, terutama dalam mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa jadinya jika frekuensi TV digital jatuh ke satu atau sekelompok orang yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi dan politik semata?
Kita sepakat bahwa Indonesia pada 2014 harus mulai mengalihkan siaran TV analog ke digital sebagai bagian dari Geneva Frequency Plan Agreement yang ditetapkan International Telecommunication Union (ITU) pada 2006, di mana seluruh negara setuju melakukan migrasi dari sistem siaran analog ke digital paling lambat sejak Juni 2015. Tapi, bukan berarti pemerintah bisa menabrak apa saja, apalagi sampai membuat aturan yang dapat memicu moral hazard dan membahayakan kepentingan nasional.
Kita perlu terus mendorong DPR agar konsisten memperjuangkan terciptanya iklim bisnis yang kondusif di bidang penyiaran melalui ramburambu hukum yang adil, transparan, dan berpihak kepada masyarakat. Jika memang peraturan menkominfo menyalahi UU, para anggota parlemen tak perlu ragu menggugurkannya. DPR sedang merevisi UU Penyiaran, sehingga punya banyak kesempatan untuk mendesak agar pemerintah mencabut, atau setidaknya merevisi berbagai peraturan yang dianggap menyimpang.Tak ada salahnya pula jika kita terus mengingatkan segenap komponen bangsa bahwa frekuensi TV digital tak boleh dikelola serampangan dan harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara. Sungguh mencemaskan jika sumber daya yang sangat terbatas itu jatuh ke para pemburu rente dan kartel yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi dan politik semata.
Negara-negara Asia sudah mulai bermigrasi dari sistem analog ke digital. Di Singapura, TV digital telah diluncurkan sejak Agustus 2004 dan saat ini telah dinikmati lebih kurang 250.000 rumah. Di Malaysia, siaran TV digital juga sudah dirintis sejak 1998 dan saat ini diharapkan bisa dinikmati 1,8 juta rumah.Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah membentuk Tim Nasional Migrasi Siaran Analog ke Digital sejak 2005. Dengan melirik apa yang terjadi di negara lain, Kemenkominfo sendiri sudah menargetkan siaran televisi digital sudah bisa dinikmati 35%-55% penduduk Indonesia pada 2014 mendatang.
Untuk itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring mengatakan akan mengajukan permohonan dana anggaran sebesar Rp 300 miliar untuk memproduksi set-top box siaran TV digital dalam waktu dekat ke Kementerian Keuangan. Sehingga diharapkan dalam tujuh tahun mendatang, seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa menikmati siaran TV digital.Salah satu alasan untuk melakukan migrasi ke siaran digital adalah keterbatasan kanal yang dimiliki siaran analog. Dengan frekuensi yang sudah penuh, mau tidak mau harus segera melakukan migrasi ke siaran digital dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.
Bicara keunggulan, sistem siaran TV digital lebih baik secara dalam ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang sering berubah-ubah. Sehingga kecil kemungkinan terjadi penurunan kualitas gambar maupun suara seperti yang sering terjadi pada TV analog.Indonesia memiliki jumlah televisi terbesar kedua setelah Cina. Sebagian besar dari mereka sudah siap untuk memasuki era siaran digital. Meskipun demikian, mereka menyesalkan sikap pemerintah yang dinilai kurang menyosialisasikan masalah televisi digital ke masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H