Sulit dipahami jika sebuah peraturan menteri yang baru dua bulan diterbitkan dan tanpa disosialisasikan dengan baik, kemudian dijadikan dasar hukum bagi sebuah kegiatan yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Kejanggalan lain adalah ketidaksinkronan PM 22/2011 dengan Undang- Undang (UU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. PM 22/2011 yang seharusnya menjadi produk hokum turunan, justru bertentangan dengan UU Penyiaran sebagai payung hukum yang memiliki derajad lebih tinggi. UU Penyiaran secara terang-benderang menggariskan bahwa frekuensi merupakan ranah publik.
Penguasaan frekuensi TV digital oleh satu atau sekelompok orang sungguh riskan. Karena merupakan sumber daya terbatas, frekuensi TV digital sebaiknya dikelola negara, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan asas manfaat bagi segenap rakyat, terutama dalam mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa jadinya jika frekuensi TV digital jatuh ke satu atau sekelompok orang yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi dan politik semata?
Kita sepakat bahwa Indonesia pada 2014 harus mulai mengalihkan siaran TV analog ke digital sebagai bagian dari Geneva Frequency Plan Agreement yang ditetapkan International Telecommunication Union (ITU) pada 2006, di mana seluruh negara setuju melakukan migrasi dari sistem siaran analog ke digital paling lambat sejak Juni 2015. Tapi, bukan berarti pemerintah bisa menabrak apa saja, apalagi sampai membuat aturan yang dapat memicu moral hazard dan membahayakan kepentingan nasional.
Kita perlu terus mendorong DPR agar konsisten memperjuangkan terciptanya iklim bisnis yang kondusif di bidang penyiaran melalui ramburambu hukum yang adil, transparan, dan berpihak kepada masyarakat. Jika memang peraturan menkominfo menyalahi UU, para anggota parlemen tak perlu ragu menggugurkannya. DPR sedang merevisi UU Penyiaran, sehingga punya banyak kesempatan untuk mendesak agar pemerintah mencabut, atau setidaknya merevisi berbagai peraturan yang dianggap menyimpang.Tak ada salahnya pula jika kita terus mengingatkan segenap komponen bangsa bahwa frekuensi TV digital tak boleh dikelola serampangan dan harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara. Sungguh mencemaskan jika sumber daya yang sangat terbatas itu jatuh ke para pemburu rente dan kartel yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi dan politik semata.
Negara-negara Asia sudah mulai bermigrasi dari sistem analog ke digital. Di Singapura, TV digital telah diluncurkan sejak Agustus 2004 dan saat ini telah dinikmati lebih kurang 250.000 rumah. Di Malaysia, siaran TV digital juga sudah dirintis sejak 1998 dan saat ini diharapkan bisa dinikmati 1,8 juta rumah.Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah membentuk Tim Nasional Migrasi Siaran Analog ke Digital sejak 2005. Dengan melirik apa yang terjadi di negara lain, Kemenkominfo sendiri sudah menargetkan siaran televisi digital sudah bisa dinikmati 35%-55% penduduk Indonesia pada 2014 mendatang.
Untuk itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring mengatakan akan mengajukan permohonan dana anggaran sebesar Rp 300 miliar untuk memproduksi set-top box siaran TV digital dalam waktu dekat ke Kementerian Keuangan. Sehingga diharapkan dalam tujuh tahun mendatang, seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa menikmati siaran TV digital.Salah satu alasan untuk melakukan migrasi ke siaran digital adalah keterbatasan kanal yang dimiliki siaran analog. Dengan frekuensi yang sudah penuh, mau tidak mau harus segera melakukan migrasi ke siaran digital dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.
Bicara keunggulan, sistem siaran TV digital lebih baik secara dalam ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang sering berubah-ubah. Sehingga kecil kemungkinan terjadi penurunan kualitas gambar maupun suara seperti yang sering terjadi pada TV analog.Indonesia memiliki jumlah televisi terbesar kedua setelah Cina. Sebagian besar dari mereka sudah siap untuk memasuki era siaran digital. Meskipun demikian, mereka menyesalkan sikap pemerintah yang dinilai kurang menyosialisasikan masalah televisi digital ke masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H