(KompasianaBaru-Jakarta) Salah seorang sahabat bercerita tentang pandangannya terhadap pernikahan, mungkin anda pernah dengar, menurut saya alangkah baiknya bila dapat dibagi-bagikan kepada orang lain, yang paling mengejutkan bagi sepasang pengantin -beberapa hari, satu dua minggu, mungkin juga sebulan lebih- usai menikah: bayangan sempurna suami/istri ternyata jauh panggang dari api. Suami kecewa karena istrinya tidak seperti ratu, yang sempurna di dapur dan juga di –maaf- kasur. Istri juga kesal ternyata suaminya, yang diidamkan sebagai pangeran, dianggap –maaf, lebih mirif sebagai pecundang.
Suami/istri seakan melihat semua pemandangan mengecewakan, jauh dari apa yang diidamkan saat sebelum perkawinan. Yang terlihat dari sikap dan perilaku suami/istri terpapar buruk. Suami kesal sekali, ketika mengetahui istrinya memasak telur mata sapi saja gosong. Sang istri, yang melihat penampilan keren sepanjang waktu saat sebelum menikah, baru mengetahui, suaminya punya hobby buruk meletakkan handuk usai mandi di sembarang tempat. Pulang kantor sepatu diletakkan seenaknya. Kaos kaki malas ganti hingga baunya menyebar ke seluruh ruangan rumah. Walhasil semua bangunan impian dan harapan indah seakan runtuh lantak.
Inilah titik awal paling rawan hubungan suami istri. Impian berbeda dari kenyataan. Seperti syair lagu, janji, tinggal janji, bulan madu, hanya mimpi. Segala harapan dan bayangan indah, ternyata berbanding terbalik.
Bila tak disadari, bukan tidak mungkin fakta dan data nyata itu menjadi amunisi pemicu perceraian. Bergulir seperti bola salju, menggelinding makin besar. Makin lama kekecewaan makin menggunung. Apalagi ketika tak ada lagi komunikasi. Jarak makin jauh, masalah makin menumpuk tak terselesaikan.
Saya pernah mengusulkan, ketika usai nikah, penghulu jangan hanya meminta suami membaca sighah taklid. Tetapi juga kedua mempelai menegaskan sikap untuk menerima keadaan masing-masing, apa pun adanya. Resiko ditanggung bersama, kedua belah pihak siap menerima apa adanya.
Ya. Ketika seorang menikah, harus siap menerima keadaan apa adanya. Ketika ijab kabul diucapkan seorang suami mau pun istri, harus siap menerima apa pun keadaannya. Tidak usah harus berfilsafat seperti sikap pedagang; barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dan karena tak dapat dikembalikan lalu dicampakkan. Yang terpenting ada keikhlasan saling menerima.
Tapi apa bisa? Harus bisa. Bahkan perlu disyaratkan sekurangnya diberikan penegasan bahwa salah satu kunci utama kelanggengan sebuah perkawinan adalah kesedian menerima kekurangan masing-masing. Suami menerima kekurangan istri, istri menerima kekurangan suami. Kedua, suami istri itu, berupaya saling mengisi. Kelebihan suami mengisi kekurangan istri, kelebihan istri mengisi kekurangan suami.
Lupakan keindahan yang terbentang sebelum menikah, yang biasanya memang dipaksakan terlihat indah. Bungkus rapat-rapat semua aroma manis yang ditebar saat pacaran di malam minggu, karena ternyata semuanya tak lebih dari bunga plastik. Buang jauh-jauh seribu janji, yang faktanya tak teralisir karena kemampuan sebenarnya memang tak ada. Jalani hidup di alam nyata.
Mulailah masing-masing membangun kesadaran diri; menyadari dan memahami diri sendiri. Suami harus sering menatap cermin bahwa dirinya, begitu banyak kekurangan. Istri pun demikian, jangan hanya memoles bibir dengan cat bibir, tapi menatap dengan jujur bahwa dirinya, ternyata tak bisa memenuhi harapan.
Ketika ada kesadaran bahwa ’aku’ memang dipenuhi kekurangan, bangkitkan sikap lapang dada untuk menerima kekurangan orang lain. Suami menerima kekurangan istri, demikian pula istri menerima kekurangan suami. Selesai? Belum. Kesadaran kekurangan tidak boleh mandeg dan pasrah. Kesadaran kekurangan diri harus dilanjutkan menuju proses saling belajar.
Ini memang tidak mudah. Tetapi bila suami istri sudah menyadari tentang kekurangannya, titik menuju kebersamaan sudah dimulai. Kesadaran kekurangan diri itu dapat menjadi fondasi utama untuk memulai sebuah proses interaksi yang sesungguhnya. Suami istri sudah mulai saling mendekatkan diri, melakukan harmonisasi.
Bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Benar, istri memiliki kekurangan. Dan ingat, bukan hanya istri yang berada dalam rumah memiliki kekurangan. ”Istri-istri” (baca:perempuan lain) yang terlihat indah dan sempurna yang berada di luar rumah, juga memiliki kekurangan ketika telah menjadi belahan dan bagian hidup dari seorang suami.
Demikian pula, suami yang ternyata memiliki kekurangan, tidak lagi dibandingkan dan mengharap ”suami-suami” (baca:laki-laki lain) yang terlihat bagai panggeran dan sempurna. Mereka itu, terlihat sempurna karena jauh dan belum menjadi bagian dan belahan hidup dari seorang istri.
Pernikahan pada dasarnya sebuah proses pembelajaran terutama tentang diri. Bukan tentang orang lain. Mudah melihat kekurangan orang lain; tidak mudah melihat kekurangan diri. Ketika melihat dan menyadari kekurangan diri, kita baru boleh dan merasa siap melihat kekurangan orang lain. Ketika itu terjadi, kita tidak akan mudah menyalahkan orang yang kita cintai dan sayangi. Tetapi berusaha bersama untuk memperbaiki kekurangan, membetulkan kesalahan, meningkatkan yang telah baik menjadi jauh dan jauh lebih baik.
Jangan pernah membandingkan dengan yang berada di luar rumah. Yang terkesan sempurna di luar rumah, karena belum terlihat aslinya. Belum menjadi bagian dan belahan hidup. Waspadalah...waspadalah.... he he he.... orang sering berpendapat rumput tetangga lebih indah, jangan berselingkuh lho...itu tidak baik...Jangan anda berselingkuh nanti anda pusing sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H