Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi: Dari Mahkamah Keluarga ke Mahkamah Kontroversi

18 Oktober 2023   20:00 Diperbarui: 18 Oktober 2023   20:14 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya tidak tepat membandingkan perkara yang diajukan pemohon  dengan perkara MK No.50/PUU-XIX/2021, karena melihat jejak permohonan perkara MK No.50/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Herifuddin Daulay yang memiliki keterkaitan langsung  terhadap dirinya yang mempersoalkan status kebangsaannya yang kabur atas keberlakuan pasal 169 huruf b UU 7/2017 sehingga pemohon ingin mempertegas syarat menjadi capres dan cawapres adalah warga negara Indonesia berkebangsaan Indonesia asli nusantara.

Sementara pemohon perkara MK No.90/PUU-XXV/2023 jelas-jelas memposisikan dirinya sebagai pemilik hak pilih yang akan memilih capres dan cawapres potensial seperti Gibran dan pemohon bukanlah  orang yang mempunyai keterkaitan langsung dengan batasan usia capres dan cawapres yang diatur berdasarkan pasal 169 huruf q UU 7/2017.

Polemik Open Legal Policy

Bahwa dalam pertimbangan hakim MK telah menyadari dengan sendirinya dan konsisten tidak akan masuk dalam ranah Open Legal Policy karena akan masuk pada ranah pembentuk undang-undang kecuali produk open legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

Namun ada fakta lainnya dalam perkara MK No.90/PUU-XXV/2023., dimana ada pemaknaan baru terhadapat Open Legal Policy, yang mana MK menyatakan sikap bahwa:

apabila suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif tersebut kemudian dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted),...

 selanjutnya memberi kesempatan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang-undang yang muaranya dapat berupa norma yang diuji tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. 

Sehingga, implikasi konstitusi/hukumnya adalah norma yang semula merupakan kebijakan hukum terbuka, terlepas dari hasilnya, telah mendapat penilaian/uji konstitusionalitas oleh Mahkamah”

“Ihwal ini, telah menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada Konstitusi rmasuk Pancasila, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia (HAM).

Bahwa memang terdapat fakta pihak pemberi keterangan DPR maupun Presiden tidak benar-benar menolak atas dalil permohonan pemohoan namun telah nyata-nyata menyerahkan rumusan konstitusionalias open legal policy kepada MK sehingga MK bersikap akan menilai suatu rumusan norma untuk menghindari judicial avoidance meskipun itu berasal dari kebijakan open legal policy. Artinya MK tidak boleh seakan-akan berlindung dibalik open legal policy.

Keheranan sangat terasa ketika pembentuk UU (DPR dan Presiden) menyerahkan urusan konstitusionalitas batasan usia capres dan cawapres kepada MK dan MK-pun menyambutnya dengan baik. Padahal sangat mudah bagi pembentuk UU untuk merevisi UU 7/2017 dalam prosedur legislasi biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun