Sebenarnya tidak tepat membandingkan perkara yang diajukan pemohon dengan perkara MK No.50/PUU-XIX/2021, karena melihat jejak permohonan perkara MK No.50/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Herifuddin Daulay yang memiliki keterkaitan langsung terhadap dirinya yang mempersoalkan status kebangsaannya yang kabur atas keberlakuan pasal 169 huruf b UU 7/2017 sehingga pemohon ingin mempertegas syarat menjadi capres dan cawapres adalah warga negara Indonesia berkebangsaan Indonesia asli nusantara.
Sementara pemohon perkara MK No.90/PUU-XXV/2023 jelas-jelas memposisikan dirinya sebagai pemilik hak pilih yang akan memilih capres dan cawapres potensial seperti Gibran dan pemohon bukanlah orang yang mempunyai keterkaitan langsung dengan batasan usia capres dan cawapres yang diatur berdasarkan pasal 169 huruf q UU 7/2017.
Polemik Open Legal Policy
Bahwa dalam pertimbangan hakim MK telah menyadari dengan sendirinya dan konsisten tidak akan masuk dalam ranah Open Legal Policy karena akan masuk pada ranah pembentuk undang-undang kecuali produk open legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Namun ada fakta lainnya dalam perkara MK No.90/PUU-XXV/2023., dimana ada pemaknaan baru terhadapat Open Legal Policy, yang mana MK menyatakan sikap bahwa:
“apabila suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif tersebut kemudian dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted),...
selanjutnya memberi kesempatan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang-undang yang muaranya dapat berupa norma yang diuji tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya.
Sehingga, implikasi konstitusi/hukumnya adalah norma yang semula merupakan kebijakan hukum terbuka, terlepas dari hasilnya, telah mendapat penilaian/uji konstitusionalitas oleh Mahkamah”
“Ihwal ini, telah menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada Konstitusi rmasuk Pancasila, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia (HAM).”
Bahwa memang terdapat fakta pihak pemberi keterangan DPR maupun Presiden tidak benar-benar menolak atas dalil permohonan pemohoan namun telah nyata-nyata menyerahkan rumusan konstitusionalias open legal policy kepada MK sehingga MK bersikap akan menilai suatu rumusan norma untuk menghindari judicial avoidance meskipun itu berasal dari kebijakan open legal policy. Artinya MK tidak boleh seakan-akan berlindung dibalik open legal policy.
Keheranan sangat terasa ketika pembentuk UU (DPR dan Presiden) menyerahkan urusan konstitusionalitas batasan usia capres dan cawapres kepada MK dan MK-pun menyambutnya dengan baik. Padahal sangat mudah bagi pembentuk UU untuk merevisi UU 7/2017 dalam prosedur legislasi biasa.