Dari potongan kalimat pembuka pertimbangan hakim Saldi Isra tampak tergambar tidak adanya alasan yuridis yang mendahuluinya namun lebih ke curahan kekecewaan dan keheranan atas teman-teman hakim lainnya yang menerima permohonan pemohoan yang diluar kapasitas penalaran yang wajar.
Dengan demikian berikut merupakan beberapa sorotan kerancuan dan keanehan putusan MK atas Perkara MK No.90/PUU-XXV/2023
Konsistensi Pemohon
Perkara MK No.90/PUU-XXV/2023 memang membingungkan dan mengherankan, perkara tersebut diajukan oleh pemohon memang tampak tidak adanya konsistensi, misalnya pemohon sempat mencabut permohonan disaat sidang pendahuluan telah dijalankan namun MK berbaik hati untuk menggelar sidang dengan agenda mengkonfirmasi apakah pemohon benar-benar ingin mencabut perkara atau melanjutkan perkara, dan tanpa diduga pemohon kembali kepada pendiriannya diawal untuk melanjutkan perkara hingga tuntas sehingga hakim menerima keberlanjutan perkara tersebut.
Kerancuan Legal Standing Pemohon
Dalam aspek lainnya jika melihat legal standing dari pemohon adalah perorangan warga negara yang bernama Almas Tsaqibbiru yang berstatus sebagai mahasiswa.
Salah satu jabaran dalil pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian batas usia capres dan cawapres adalah pemohon mengidolakan Gibran (Walikota Solo Periode 2020-2025) sebagai tokoh inspirasi, Gibran juga dianggap berhasil dalam membangun pertumbuhan ekonomi di Kota Solo, dengan alasan itulah pemohon menilai bahwa Pasal 169 huruf q UU No.7/2017 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945.
Jabaran dalil pemohon juga menyatakan bahwa 169 huruf q UU No.7/2017 telah menimbulkan diskriminasi nyata terhadap pemohon yang jelas-jelas dirugikan dan melanggar hak konstitusionalitas pemohon yang dilindungi oleh Konstitusi bahwa “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif....”
Meletakkan pemohon memiliki legal standing adalah sebuah kerancuan, misalnya pemohon hanya memposisikan diri sebagai pengagum Gibran yang berstatus sebagai Walikota Solo namun merasa didiskriminasi atas keberlakuan pasal 169 huruf q UU No.7/2017 tentunya alam sadar pemohon berharap jika batas usia capres dan cawapres dilonggarkan maka ada potensi pemohon yang memiliki hak pilih untuk memilih idolanya Gibran.
Dari sisi tersebut terlihat rancu karena tidak terdapat kerugian langsung atas berlakunya pasal 169 huruf q UU No.7/2017 terhadap hak untuk memilih bagi pemohon, dengan kata lain bagaimana memberi keterkaitan kerugian sebagai pemilih pemilu dengan kerugian sebagai peserta pemilu? Maka disini jelas bahwa pemohon tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Begitu pula pemohon mendalilkan agar pemohon diterima memiliki kedudukan hukum mengingat berdasarkan putusan MK No.50/PUU-XIX/2021, MK pernah memberikan kedudukan hukum bagi perseorangan yang menguji pasal 169 UU 7/2017 sementara pemohon belum pernah mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres.