Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menyadurkan tulisan/opini Yusril Ihza Mahendra yang menelisik KLB PDI dan Anggaran Dasar Partai PDI Â ketika terjadi dualisme kepemimpinan Partai PDI. Tulisan Yusril ini ditulis pada tahun 1996 pada Majalah Gatra dengan judul "Kongres PDI". Simak opininya dibawah ini.
KONGRES PDI
Oleh : Yusril Ihza Mahendra
Haru biru Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan belum menampakkan tanda mereda. Situasi bahkan cenderung memanas. PDI kini punya kepengurusan ganda. DPP (Dewan Pimpinan Pusat) pimpinan Soerjadi dan DPP Megawati, keduanya mengklaim keabsahan. Megawati kini bahkan berupaya menggugat pihak terkait dengan Kongres Medan.
 Menurut Megawati dan Alex Litaay serta tokoh PDI yang lain, kongres di Medan disebut inskonstitusional. Karena itu, tak sah. Kalau begitu, semua hasil Kongres Medan, termasuk DPP yang dibentuknya, adalah tak sah pula. Bagaimana sebenarnya Kongres Medan dilihat dari konstitusi PDI?
Jika digungkan Anggaran Dasar (AD) 1989, jelas dikatakan pasal 11 bahwa segala keputusan musyawarah nasional dipertanggungjawabkan kepada Kongres, mana kala Kongres sudah dapat diselenggarakan. DPP PDI Pimpinan Megawati memang terbentuk sebagai hasil Musyawarah Nasional (Munas) 1993, bukan hasil Kongres, karena Kongres dan Kongres Luas Biasa (KLB) yang diadakan sebelumnya gagal membentuk DPP PDI.
 Lembaga yang dinamakan Munas memang dikenal dalam pasal 12 Anggaran Dasar 1989. Munas dapat diselenggarakan apabila setelah lewat setahun dari waktu yang ditetapkan Kongres tak dapat diselenggarakan. Jadi, Munas adalah pengganti Kongres untuk mengatasi keadaan darurat. Pasal 12 ini juga menegaskan bahwa Munas mempunyai kewenangan yang sama dengan Kongres. Kalau begitu, Munas berwenang mengubah terhadap AD sebagai salah satu kewenangan Kongres. Namun, anehnya, dalam pasal 27 AD PDI dikatakan bahwa "Perubahan Anggaran Dasar Partai hanya dapat dilakukan dalam Kongres Partai". Adanya kata-kata "hanya" di sini, apakah bermakna bahwa Munas, meskipun meskipunya kewenangan sama dengan Kongres, tak berwenang mengubah AD Partai?
 Namun, menurut ketentuan Pasal 11 seperti dikemukakan diatas, keputusan Munas harus dipertanggungjawabkan kepada Kongres. Padahal. Disinilah dilema ketentuan pasal 11 ini. Di satu pihak dikatakan bahwa Munas mempunyai kewenangan sama dengan Kongres. Tapi di pihak lain, hasil-hasil Munas harus dipertanggungjawabkan kepada Kongres. Padahal, Pasal 12 tadi mengatakan bahwa Munas mempunyai kewenangan sama dengan Kongres. Kalau kewenangannya sama, mestinya hasil-hasil Munas tak perlu dipertanggungjawabkan lagi kepada Kongres.
Celah-celah diatas itulah yang dijadikan hujah kelompok Fatimah Acmad untuk menyelenggarakan Kongres Medan. Sebab, sejak Munas 1993, DPP Pimpinan Megawati belum pernah mempertanggung jawabkan hasil-hasil Munas kepada Kongres, sesuai dengan ketentuan pasal  11 AD 1989. Fatimah Achmad berhujah bahwa kongres medan harus diselenggarakan demi  "menegakkan konstitusi partai". Jumlah cabang yang dianggap mencapai suara mayoritas juga dijadikan dalih menyelenggarakan kongres.
Namun, rupanya Munas 1993 telah mengambil langkah yang cukup prinsipil, yakni AD 1989. Naskah perubahan yang telah diserahkan oleh Munas itu berasal dari naskah rancangan perubahan yang diajukan Caretaker DPP PDI kepada KLB. Namun, tampaknya rancangan itu belum sempat disahkan karena KLB itu sendiri berakhir dengan kericuhan. Selanjutnya Munas 1993 memberikan kewenangan kepada DPP hasil bentukannya untuk  menyempurnakan perubahan tadi dan sekaligus mengesahkannya.
Berdasarkan kewenangan diatas, dengan Keputusan DPP PDI Nomor 012/DPP/KPTS/I/1994, disahkanlah AD PDI  yang baru, yang dapat disebut sebagai AD Tahun 1994. Sahkah perubahan ini? Apa dasar kewenangan Munas mengubah AD dan kemudian memberikan kewenangan lagi kepada DPP untuk menyempurnakan dan  mengesahkan perabahan itu?Bukankah menurut pasal 27 AD 1989 perubahan AD "hanya dapat dilakukan" Kongres?
Dalam AD baru ini ketentuan bahwa hasil-hasil Munas yang harus dipertanggungjawabkan kepada Kongres sebagaimana diatur didalam Pasal 11 AD 1989 tak lagi tercantum. Bahkan Munas, sebagai lembaga darurat untuk mengatasi keadaan jika Kongres gagal diselenggarakan sebagaimana diatur AD 1989 turut dihapuskan. Dengan demikian, kalau berpegang pada AD yang baru, tak ada keharusan bagi DPP pimpinan Megawati untuk mempertanggungjawabkan hasil-hasil Munas kepada Kongres. Inilah alasan konstitusional kelompok ini menolak Kongres Medan.
Disinalah Problem ketentuan Anggaran dasar PDI. Haruskah Megawati mengikuti  ketentua AD 1989 yang mengharuskannya mengikuti mempertanggungjawabkan  hasil-hasilnya kepada Kongres? Bahkan berkat Munas itu pula ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP. Atau sebaliknya, ia dapat mengesampingkan keharusan itu dengan dalih AD 1994 tak mengenal lembaga Munas.
Caretaker DPP PDI tampaknya tak memikirkan problem di atas ketika mereka merumuskan rancangan perubahan  AD kepada KLB PDI. Juga Munas 1993. Bahkan hal ini tampaknya tak dipikirkan juga oleh Tim Sinkronisasi Keputusan Munas PDI 1993, yang bertugas menyempurnakan perubahan perubahan AD sebelum disahkan DPP serta ditandatangani Megawati dan Alex Litaay. Padahal, dua tokoh yang kini berseberangan dalam dua kubu PDI, Soetarjo Soerjogoeritno dan Fatimah Achmad, justru  duduk dalam tim ini.
Akhirnya dualisme AD-lah yang terjadi. Lembaga apa yang berwenang untuk menyelesaikan perbedaan ini? Baik AD 1989 maupun AD 1994 sama mengatakan: kalau terjadi perbedaan tafsir mengenai  AD, yang sah adalah tafsiran yang ditetapkan DPP dan dipertanggungjawabkan di depan Kongres.
Kini perbedaan itu telah ada. DPP pimpinan Megawati sebenarnya mempunyai peluang "memenangkan" beda pendapat mengenai tafsiran ini. Tapi ia harus mempertanggungjawabkannya dalam Kongres. Sayangnya, Kongres Medan telah berlalu. Megawati bahkan tak bersedia menghadirinya. Jadi hilang pula kesempatannya mempertahankan tafsiran yang dianggapnya benar dan paling sesuai dengan maksud AD Partai.
Mungkin banyak pihak tak menyadari ada masalah dalam AD PDI itu. Itu membuka peluang bagi pihak yang berseteru untuk mendesakkan pendirian. Padahal, sebuah organisasi, apalagi partai politik, seharusnya mempunyai Anggaran Dasar yang jelas dan bebas dari celah  yang memungkinkan pihak yang berseteru memanfaatkannya demi kepentingan masing-masing.
Ada baikknya setiap organisasi meminta bantuan pada pakar konstitusi dala merumuskan AD-nya, agar kasus yang dialami PDI sekarang semaksimal mungkin dapat dihindari. Menyerahkan semua perumusan AD hanya kepada para politikus sering hasilnya tak memuaskan. Kita dapat memetik pelajaran dari kasus PDI sekarang, dengan tak menafikan faktor lain yang mendorong terjadinya kemelut ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H