Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rekam Opini Yusril Ihza Mahendra terkait Anggaran Dasar Partai PDI (1996)

17 Oktober 2021   15:03 Diperbarui: 17 Oktober 2021   15:25 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam AD baru ini ketentuan bahwa hasil-hasil Munas yang harus dipertanggungjawabkan kepada Kongres sebagaimana diatur didalam Pasal 11 AD 1989 tak lagi tercantum. Bahkan Munas, sebagai lembaga darurat untuk mengatasi keadaan jika Kongres gagal diselenggarakan sebagaimana diatur AD 1989 turut dihapuskan. Dengan demikian, kalau berpegang pada AD yang baru, tak ada keharusan bagi DPP pimpinan Megawati untuk mempertanggungjawabkan hasil-hasil Munas kepada Kongres. Inilah alasan konstitusional kelompok ini menolak Kongres Medan.

Disinalah Problem ketentuan Anggaran dasar PDI. Haruskah Megawati mengikuti  ketentua AD 1989 yang mengharuskannya mengikuti mempertanggungjawabkan  hasil-hasilnya kepada Kongres? Bahkan berkat Munas itu pula ia terpilih menjadi Ketua Umum DPP. Atau sebaliknya, ia dapat mengesampingkan keharusan itu dengan dalih AD 1994 tak mengenal lembaga Munas.

Caretaker DPP PDI tampaknya tak memikirkan problem di atas ketika mereka merumuskan rancangan perubahan  AD kepada KLB PDI. Juga Munas 1993. Bahkan hal ini tampaknya tak dipikirkan juga oleh Tim Sinkronisasi Keputusan Munas PDI 1993, yang bertugas menyempurnakan perubahan perubahan AD sebelum disahkan DPP serta ditandatangani Megawati dan Alex Litaay. Padahal, dua tokoh yang kini berseberangan dalam dua kubu PDI, Soetarjo Soerjogoeritno dan Fatimah Achmad, justru  duduk dalam tim ini.

Akhirnya dualisme AD-lah yang terjadi. Lembaga apa yang berwenang untuk menyelesaikan perbedaan ini? Baik AD 1989 maupun AD 1994 sama mengatakan: kalau terjadi perbedaan tafsir mengenai  AD, yang sah adalah tafsiran yang ditetapkan DPP dan dipertanggungjawabkan di depan Kongres.

Kini perbedaan itu telah ada. DPP pimpinan Megawati sebenarnya mempunyai peluang "memenangkan" beda pendapat mengenai tafsiran ini. Tapi ia harus mempertanggungjawabkannya dalam Kongres. Sayangnya, Kongres Medan telah berlalu. Megawati bahkan tak bersedia menghadirinya. Jadi hilang pula kesempatannya mempertahankan tafsiran yang dianggapnya benar dan paling sesuai dengan maksud AD Partai.

Mungkin banyak pihak tak menyadari ada masalah dalam AD PDI itu. Itu membuka peluang bagi pihak yang berseteru untuk mendesakkan pendirian. Padahal, sebuah organisasi, apalagi partai politik, seharusnya mempunyai Anggaran Dasar yang jelas dan bebas dari celah  yang memungkinkan pihak yang berseteru memanfaatkannya demi kepentingan masing-masing.

Ada baikknya setiap organisasi meminta bantuan pada pakar konstitusi dala merumuskan AD-nya, agar kasus yang dialami PDI sekarang semaksimal mungkin dapat dihindari. Menyerahkan semua perumusan AD hanya kepada para politikus sering hasilnya tak memuaskan. Kita dapat memetik pelajaran dari kasus PDI sekarang, dengan tak menafikan faktor lain yang mendorong terjadinya kemelut ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun