Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)
Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekanbaru  ternyata menimbulkan kegaduhan dikalangan internal anggota DPRD Kota Pekanbaru (DPRD Kota), berawal penolakan  Fraksi PAN dan PKS  terhadap hasil Paripurna RPJMD hingga meluber ke pelaporan pimpinan DPRD Ginda Burnama dan Tengku Azwendi ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Pekanbaru. Persoalan kian rumit ketika 27 anggota DPRD Kota menyatakan mosi tidak percaya kepada Hamdani (Ketua DPRD Kota Pekanbaru) karena dianggap tidak mampu mengayomi dan mebawa kesejukan sebagai pimpinan lembaga legislatif Kota.
Menjadi sangat wajar kiranya apabila DPRD Kota menjalankan fungsi kontrol terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota, bahkan kita perlu mengapresiasi setiap kritik DPRD Kota karena mereka telah menjalankan fungsi konstitusionalnya. Begitu juga disaat adanya kebijakan Walikota Pekanbaru terkait perubahan Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang RPJMD 2017-2022, maka sepatutnya jugalah DPRD Kota menjalankan fungsi kontrolnya terhadap setiap materi perubahan RPJMD tersebut. namun apakah merupakan langkah yang tepat untuk melakukan penolakan  terhadap perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru? atau justru menjadi sebuah langkah yang menambah kerumitan dalam pencapaian kesepakan hukum dan politik terkait perubahan RPJMD tersebut?
Dinamika politik semakin meruncing saat paripurna penetapan perubahan Perda RPJMD tidak dihadiri oleh Fraksi PAN dan Fraksi PKS serta beberapa anggota DPRD lainya yang menyebabkan ketentuan 2/3 Â sebagai batas rendah kuorum paripurna tidak tercapai. Namun pun demikian keputusan paripurna tetap berjalan yang diakhiri dengan ketok palu beberapa pimpinan DPRD Kota.
Dengan kenyataan yang ada, maka perlu kiranya kita mengukur secara objektif dan tidak memihak atas polemik yang terjadi di lembaga legislatif kota Pekanbaru tersebut. satu sisi kita harus menghargai ada yang ingin memperjuangkan perubahan Perda RPJMD dan sisi lainnya kita juga harus menghargai ada yang menolak perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru.
Dari adanya penerimaan dan penolakan atas perubahan Perda RPJMD tersebut, maka untuk menilai keobjektifannya kita harus melakukan pendekatan poin-poin apa yang menjadi perdebatan terkait penolakan atas perubahan Perda RPJMD tersebut dan apapula argumentasi yang mendalilkan untuk meloloskan perubahan Perda RPJMD tersebut, tentu poin-poin itu juga harus dinilai dengan tolak ukur peraturan perundang-undangan agar lebih objektif. Â Dari data yang penulis dapatkan maka ada beberapa "titik isu" yang menjadi perdebatan terkait perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru.
- Perdebatan soal batas umur RPJMD yang kurang dari 3 (tiga) tahun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa anggota DPRD Kota Pekanbaru yang menolak perubahan Perda RPJMD tersebut dikarenakan umur RPJMD yang saat ini tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat dilakukan perubahan karena telah kurang dari 3 (tiga) tahun. Perlu diketahui bahwa  RPJMD Kota Pekanbaru mempunyai periode 2017 hingga 2022 yang tertuang didalam Perda Nomor 7 tahun 2017 tentang RPJMD Kota Pekanbaru 2017-2022, artinya jika perubahan RPJMD didasari dari masa periode Walikota Pekanbaru saat dilantik tanggal 22 Mei 2017 hingga akhir masa jabatan 22 Mei 2022 maka RPJMD yang dilakukan perubahan pada bulan Mei 2020 saat ini akan kurang dari 3 (tiga) tahun apabila dihitung pada batas akhir 22 Mei 2022.
Dari perdebatan diatas didapati bahwa tolak ukur umur perubahan RPJMD dimulai sejak dilakukan pembahasan di DPRD Kota, jika memang ini logikanya maka memang berdampak pada kurangnya sisa umur RPJMD dari 3 (tiga) tahun sehingga tidak mungkin dilakukan perubahan. Pertanyaannya apakah benar penghitungan perubahan perda RPJMD dimulai sejak pembahasan di DPRD Kota?
Jika kita ingin menilai secara "keobjektifan" maka sangat keliru apabila menghitung kurangnya sisa umur RPJMD dimulai dari pembahasan di DPRD Kota, Â padahal pasal 342 ayat (2) poin "b" Permendagri No. 86/2017 jelas mengatakan tolak ukurnya adalah "Perubahan RPJMD" dan bukanlah "Perubahan Perda RPJMD".
Jika disebutkan "Perubahan RPJMD" seharusnya perhitungan perubahan RPJMD dimulai ketika dilakukannya pengendalian dan evaluasi dengan mempersiapkan dokumen perubahan RPJMD, karena RPJMD itu sendiri merupakan dokumen perencanaan daerah sesuai makna yang disebutkan dari pasal 1 poin 26 Permendagri tersebut. sementara dokumen perencanaan perubahan RPJMD kota Pekanbaru sudah ada pada tahun 2019 saat umur RPJMD masih tersisa lebih dari 3 (tiga) tahun dan itu juga hasil dari rekomendasi Kemenpan-RB yang sudah ada sejak 2019 ketika batas umur RPJMD masih lebih dari 3 (tiga) tahun.
Namun menjadi keliru apabila menyamakan "Perubahan RPJMD" dengan "Perubahan Perda RPJMD", karena apabila itu disamakan maka wajar saja seolah-olah umur RPJMD dihitung sejak dilakukan pembahasan di DPRD Kota bahkan bisa dihitung saat tanggal perubahan Perda RPJMD diundangkan, sementara pasal 342 Permendagri tersebut menegaskan bahwa itu adalah "Perubahan RPJMD" yang konsekuensinya perubahan telah dianggap ada apabila sebuah dokumen perubahan RPJMD sudah dibentuk. Maka tidak bisa kita mengatakan perubahan RPJMD bertentangan dengan pasal 342 Permendagri 86/2017, karena pada dasarnya sudah cukup alasan bahwa umur RPJMD masih memenuhi syarat untuk dilakukan perubahan karena akan dihitung sejak dokumen perubahan RPJMD itu ada yang dikoordinasi oleh Bappeda Kota Pekanbaru.
- Perubahan RPJMD atas perubahan mendasar (Kebijakan Nasional)
Dokumen pendukung untuk meloloskan perubahan RPJMD Kota Pekanbaru dapat juga memakai pasal 342 ayat (1) poin "c" Permendagri 86/2017 yang menyatakan perubahan RPJMD dapat dilakukan apabila terjadi perubahan mendasar, yang mana perubahan mendasar itu dalam cakupan terjadinya bencana alam, guncangan politik, krisis ekonomi, konflik sosial budaya, gangguan keamanan, pemekaran daerah, atau perubahan kebijakan nasional.
Pada pasal 342 ayat (1) poin "c" ini, perubahan dapat saja dilakukan kapan saja tanpa terbebani oleh umur RPJMD memenuhi syarat atau tidak, maka pintuk masuk pentingnya perubahan RPJMD kota Pekanbaru salah satunya didasari perubahan mendasar terkait kebijakan nasional, disini Pemko Pekanbaru melalui Bappeda memiliki alasan hukum bahwa telah terjadi perubahan kebijakan nasional semenjak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) dan Perpres tersebut juga sudah dimasukkan sebagai bagian dari konsideran yang menjadi pertimbangan yuridis terhadap perubahan RPJMD Kota Pekanbaru.
Jika kita perhatikan pidato pengantar Walikota Pekanbaru dihadapan anggota DPRD Kota Pekanbaru tanggal 20 April 2020 Â juga tersurat perubahan kebijakan RPJMD Kota Pekanbaru didasari karena adanya perubahan kebijakan nasional sehingga semangat perubahan RPJMD tersebut merupakan bagian bentuk kewajiban Pemko untuk melakukan penyelarasan dengan kepentingan nasional.
Lebih lanjut dalam pidato Walikota Peknabaru tersebut menilai munculnya kebijakan dari pusat terkait Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019 Â tentang Klarifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan Keuangan Daerah maka sudah semestinya dilakukan perubahan RPJMD Kota Pekanbaru, bahkah Permendagri tersebut juga menjadi pertimbangan yuridis dalam Perda perubahan RPJMD Kota Pekanbaru.
Bentuk dari kebijakan nasional diatas sudah memenuhi syarat untuk dilakukan perubahan RPJMD dan pertimbangan kepentingan nasional teresbut masuk kategori pasal 342 ayat (1) poin "c" dimana pertimbangan kebijakan nasional bisa menjadi alasan perubahan RPJMD tanpa perlu memperhatikan apakah umur RPJMD kurang dari 3 (tiga) tahun. Dari fakta hukum terkait umur RPJMD tersebut maka gugurlah alasan penolakan perubahan RPJMD dengan dalil kurangnya masa periode umur RPJMD Kota Pekanbaru.
Dari 2 (dua) pertimbangan diatas terkait umur RPJMD maka semestinya kita memperhatikan perencanaan RPJMD memiliki tahapan yang berkesinambungan seperti yang tertuang dalam  Permendagri No.86/2017 bahwa RPJMD bermula dari proses dokumen teknokratik, persiapan penyusunan, penyusunan rancangan awal, penyusunan rancangan, pelaksanaan musrembang, perumusan rencana akhir dan proses penetapan.
Jadi untuk mengukur umur RPJMD Kota Pekanbaru semestinya harus dihitung dari poses teknokratik dan persiapan penyusunan rancangan awal namun jika hanya mengukur RPJMD sejak menjadi dokumen rancangan Perda maka sama saja pengukuran RPJMD dihitung saat perumusan rencana akhir karena saat perancangan akhirlah terbit dokumen rancangan Perda tersebut. Metode pengukuran umur RPJMD saat perumusan rencana akhir justru bertentangan dengan Permendagri No.86/2017 yang mana pengukuran itu melangkahi beberapa tahapan sebelumnya.
- Kondisi Kekinian (Eksisting Condition)
Salah satu jenis Perda yang banyak terkonsentrasi pada lampiran adalah Perda tentang RPJMD, biasanya jenis Perda selalu bertumpu pada norma batang tubuh dan penjelasan namun sebaliknya Perda RPJMD justru bertumpu pada lampiran sebagai substansi. Pada lampiran perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru terdiri dari 9 (Sembilan bab) yang dilengkapi dengan beberapa sub-bab, dan sifat dari Perda RPJMD tersebut sangatlah teknokratik hingga disajikan dengan analisis deskriptif, penjabarannya bersifat kualitatif dan kuantitatif dan disajikan dengan keterangan grafik, gambar hingga berbentuk tabel sesuai dengan sistematika yang tersusun secara baku bedasarkan Permendagri No. 86/2017.
Semangat perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru sebenarnya sudah menggambarkan kondisi kekinian (Eksisting Condition), gambaran kondisi kekinian harus dipandang saat ketika dokumen perubahan RPJMD itu ada pada tahun 2019 yang isinya mencakup indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran dalam upaya mewujudkan visi pembangunan jangka menengah daerah.
Dalam Perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru kondisi kekinian itu terlihat pada perubahan tujuan, sasaran dan indikator sasaran, misalnya pada Perda RPJMD No.7/2017 sebelum adanya perubahan memiliki 10 tujuan, 19 sasaran dan 40 indikator sasaran namun setelah terjadi perubahan RPJMD maka terdapat pengurangan yakni 5 tujuan, 13 sasaran dan 27 indikator sasaran. Data itu merupakan data yang terdapat pada lampiran perubahan Perda RPJMD pada bab V (tabel.V.1) yang dapat kita simpulkan justru  berdampak adanya pengurangan program sesuai dengan kebutuhan yang realistis dengan pendanaan dan justru tidak membebani APBD Kota Pekanbaru.
Hal konkrit dari penjabaran bab V justru sebenarnya sesuai dengan kondisi kekinian serta  tidak terlalu menggerogoti APBD Kota Pekanbaru, misalnya sebelum perubahan RPJMD  terdapat isi yang menjabarkan Misi ke-3 Walikota  Pekanbaru yakni "Mewujudkan Tata Kelola Kota Cerdas dan Penyedia Infrastruktur Yang Baik" maka direalisasikan dalam bentuk indikator kinerja dengan mewujudkan agar tersedianya MRT dan Areal Traffic Control System (ATCS), maka coba bayangkan hal tersebut tetap menjadi program prioritas Pemko Pekanbaru dengan membangun infrastruktur MRT tentu hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi kekinian karena proyek tersebut terlalu besar dan mahal serta dapat saja melukai hati masyarakat. Untuk itu dilakukanlah perubahan RPJMD yang mana indikator kinerja terhadap tersedianya MRT sepakat  untuk dihapus dan diganti dengan kondisi yang realistis, seperti yang tertuang dalam perubahan Perda RPJMD tersebut misalnya memfokuskan infrastruktur ke persoalan titik genangan air, titik kemacetan yang ditangani atau memperbaiki jalan dengan kondisi yang bagus.
Pada posisi saat ini, perubahan Perda RPJMD Kota Pekanbaru berpotensi dibatalkan  karena dinilai tidak melalui jalan kuorum pada rapat paripurna sehingga jika tidak tercapai juga pada kesepakan perubahan Perda RPJMD maka akan menghidupkan kembali Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang RPJMD Kota Pekanbaru, artinya kita harus bersiap-siap dampak dari penolakan perubahan Perda RPJMD akan kembali kepada indikator kinerja yang memiliki perncanaan yang begitu besar seperti tersedianya MRT dan ATCS tentu ini juga berimbas kepada pemborosan APBD karena kembali akan menghidupkan 10 tujuan, 19 sasaran dan  40 indikator sasaran yang begitu "gemuk" dan memaksa Pemko Pekanbaru lebih banyak menjalankan program yang tidak sesuai dengan "konsisi riil kekinian" sehingga jauh dari asas efektif dan efisien.
Pandangan isu riil terkini juga harus tergambar seperti yang sudah penulis sampaikan diatas dengan pendekatan analisis deskriptif, penjabaran kualitatif dan kuantitatif hingga disajikan dengan keterangan grafik, gambar hingga berbentuk tabel, jika ada pandangan lain maupun penolakan atas perubahan RPJMD maka harus ada data pembanding yang dapat diuji kedudukannya, misalnya jika ada tersebar isu adanya proyek ambisius Pemko Kota Pekanbaru terkait perubahan RPJMD maka penolakan itu harus disajikan dengan data valid. Dengan kata lain pada bab yang mana Pemko Pekanbaru berpotensi membuat proyek ambisius, pada tabel berapa, pada deskripsi yang mana, pada data kualitatif yang  mana Pemko Pekanbaru berpotensi membuat proyek ambisius.
Persoalan perubahan Perda RPJMD adalah persoalan substantif karena pokok pikiran RPJMD terdapat pada lampiran Perda tersebut maka pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan teknokratik dan sistematika. Maka jika ada yang menolak maupun memberi masukan maka juga harus juga melalui pendekatan teknokratik dan sistematika.
Sekali lagi, Perda RPJMD adalah bentuk dokumen publik yang dapat diakses masyarakat luas tidak ada yang bisa ditutup-tutupi dan tidak mungkin pula ada semangat teselubung dalam membuat kebijakan karena harus disadari sifat Perda RPJMD adalah teknokratik dan bersistematika yang terukur. Maka anggota DPRD Kota yang menolak atas Perubahan RPJMD tersebut harus mampu menunjukkan ada yang salah dari analisis deskriptif, penjabaran kualitatif dan kuantitatif dan ada yang salah dengan keterangan grafik, gambar hingga berbentuk tabel.
Misalnya ada data tabel yang bersumber dari Badan Pusat Statistik yang dirujuk didalam bab-bab RPJMD maka penolakan atas data tabel itu juga harus dibandingkan dengan tabel juga dan menyebutkan sumber datanya dari mana. Misalnya lagi, jika ada kesalahan yang  berkaitan dengan kerangka pendanaan pembangunan dan program perangkat daerah yang disusun oleh Bappeda atau ada kesalahan pada tabel indikasi rencana program prioritas  yang disertai kebutuhan  pendanaan  kota Pekanbaru maka kesalahan itu sebaiknya dilengkapi dengan data pembanding sebagai bentuk penolakan perubahan RPJMD.
Lampiran Perda perubahan RPJMD merupakan substansi yang dapat diukur karena sifatnya sangat teknokratik dan sistematis sehingga jika ada pertentangan antara Pemko Kota dengan DPRD Kota Pekanbaru maka yang harus dilakukan adalah adu dekskriptif, adu data kualitatif maupun kuantitatif, adu tabel dan adu grafik yang tertuang dalam sistematika, sehingga dari itu terpetakan mana yang mendekati kebenaran dan memihak masyarakat.
Jika perlu penolakan atas RPJMD disajikan dalam makalah yang diseminarkan sehingga penolakan RPJMD dapat diukur secara objektif dan ilmiah. Jika  penolakan perubahan RPJMD tidak dilakukan dengan data pembanding maka agak sulit menilai keobjektifitasannya justru yang terlihat adalah RPJMD dilakukan dengan politisir apalagi terkesan asumsi belaka.
- Menyoroti Arah dan Evaluasi GubernurÂ
Hasil dari Perda yang "cacat hukum" dikarenakan keputusan paripurna perubahan RPJMD tidak mencapai kuorum maka harus dianggap sebuah kenyataan hukum, namun keadaan yang menyatakan "cacat hukum" tidak bisa diklaim oleh beberapa pihak kecuali lembaga yang mempunyai otoritas untuk menyatakan Perda RPJMD itu terbukti "cacat hukum". Sebelum diuji oleh otoritas yang berwenang maka perubahan Perda RPJMD itu harus dianggap sah karena melekat didalamnya asas Vermoeden Van Rechtmatigheid dimana setiap tindakan hukum harus dianggap sah sepanjang tidak ada pembatalan dari otoritas yang berwenang.
Berbicara otoritas yang berwenang maka kini posisi Gubernur menjadi sangat menentukan karena berdasarkan peraturan perundang-undangan (UU No.23/2014, Permendagri No.80/2015, Permendagri No.86/2017) sebelum Walikota menetapkan Perda RPJMD maka harus terlebih dahulu di evaluasi oleh Gubernur melalui Bappeda Provinsi, Evaluasi yang dilakukan Bappeda Provinsi berdasarkan pasal 334 Permendagrai No.86/2017 yakni untuk menguji kesesuaian RPJMD Kota Pekanbaru dengan RPJDP Kota Pekanbaru, RPJMD Provinsi, RT/RW Kota, RPJMN hingga menguji RPJMD Kota Pekanbaru dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jika Gubernur menyatakan hasil evaluasi perubahan Perda RPJMD sesuai dengan pasal 334 Permendagri No.86/2017 maka diikuti dengan pemberian nomor registrasi untuk dipersiapkan sebagai bahan pengundangan namun sebaliknya jika Gubernur menyatakan hasil evaluasi tidak sesuai dengan pasal 334 tersebut maka berdasarkan pasal 338 ayat (3) Permendagri No.86/2017 bahwa Walikota Pekanbaru bersama DPRD Kota Pekanbaru kembali harus melakukan penyempurnaan terkait peubahan Perda RPJMD tersebut.
Saat ini menjadi momentum Gubernur melalui Bappeda Provinsi mendengar dan memberi solusi bagi kedua belah pihak bagi mereka yang menerima dan menolak perubahan RPJMD, Bappeda Provinsi dalam hal ini harus dapat membedakan mana bentuk penyempurnaan "materil" dan mana bentuk penyempurnaan "formil".
Jika tujuannya untuk mengevaluasi terkait materil atau substansi Perda maka bagi pihak yang menolak harus dapat membuktikan dengan data pembanding terkait masukan dan penyempurnaan perubahan RPJMD, Bappeda Provinsi harus detail melihat bagian mana yang harus disempurnakan, semisal harus dapat menunjukkan deskripsi mana yang mau dirubah, tabel apa yang ingin disempurnakan, atau bab-bab mana saja yang harus dirapikan maka penyempurnaan Perda tersebut harus mempunyai data pembanding yang akurat dan mempunyai nilai objektifitas dan harus ada alasan yang kuat untuk melakukan penyempurnaan materil  berdasarkan pendekatan teknokratik dan sistematika.
Namun jika untuk mengevaluasi bentuk formil Perda perubahan RPJMD maka bagi yang tidak menerima perubahan RPJMD pasti akan membuktikan bahwa hasil paripurna terkait perubahan Perda RPJMD tidak melalui proses kuorum atau tidak memenuhi unsur 2/3 batas rendah saat paripurna terjadi. Namun ada beberapa persoalan jika yang ingin dibuktikan itu adalah unsur formilnya saja, pertama, apakah berwenang Bappeada Provinsi atas nama Gubernur memberi arahan agar paripurna diulang hingga memenuhi batas kuorum? sementara paripurna adalah proses otonom politik legisltatif di tingkat Kota, sehingga bisa saja paripurna kembali menemukan jalan buntu.
Kedua, bagaimana jika menurut Gubernur materil/substansinya sudah bisa diterima namun proses formilnya yang tidak memenuhi syarat lalu apakah dengan itu Gubernur bisa memberi arahan kepada anggota DPRD yang menolak perubahan RPJMD untuk dapat menerima perubahan RPJMD tersebut dengan melaksanakan Paripurna yang kuorum? tentu hal tersebut kembali lagi keproses otonom politik di DPRD kota yang berpotensi mengalami "deadlock" sehingga arahan evaluasi Gubernur menjadi sia-sia belaka.
Persoalan yang ketiga, apa bisa Gubernur menggali dan mengobservasi alasan-alasan anggota DPRD terkait penolakan Perda Perubahan RPJMD? Jika bisa maka semestinya juga Gubernur wajib mendengar alasan-alasan anggota DPRD yang mendukung terbitnya Perda perubahan RPJMD Kota Pekanbaru karena ada kewajiban Gubernur untuk mendengar kedua belah pihak yang saling bertentangan, namun apa tidak terlalu jauh Gubernur masuk keranah politik otonom DPRD Kota Pekanbaru?
 Lain halnya jika paripurna yang lalu sudah memenuhi unsur kuorum, kerumitan saat ini bisa saja dihindari dan sangat bisa menjadi jalan yang saling menguntungkan bagi pihak yang menerima dan pihak yang menolak perubahan RPJMD. Bagi pihak yang menolak masih sangat bisa menggunakan hak konstitusional berdasarkan pasal 338 ayat (3) Permendagrai No.86/2017 dimana DPRD Kota secara internal bisa kembali menyempurnakan perubahan RPJMD bersama-sama Pemko Kota Pekanbaru tentu penyempurnaan ini berdasarkan keputusan evaluasi sesuai temuan dari Gubernur dan langsung diawasi oleh Gubernur sebagai penengah ditengah perbedaan pendapat.
Kelebihan menggunakan pasal 338 ayat (3) yakni semua pihak dapat terlibat memberi pendapat terkait dalam penyempurnaan perubahan RPJMD tanpa perlu lagi memikirkan jalur formil paripurna dan setelah penyempurnaan dilakukan maka Bappeda Provinsi kembali mengecek Perda tersebut hingga biro hukum Setda Provinsi memberi nomor registrasi Perda untuk diundangkan sebagai Perda perubahan RPJMD yang mengikat.
Kenyataan politik bahwa anggota DPRD Kota justru ingin memakai jalan yang berliku dengan tidak mengkuorumkan Perda perubahan RPJMD tersebut, konsekuensinya Perda itu bisa saja kembali harus diparipurnakan namun justru membuka lebar perdebatan politik dan cenderung tidak ada jalan keluarnya, sebaliknya jika anggota DPRD Kota fokus kepada materi/substansi Perda tersebut maka bisa menggunakan pasal 338 ayat (3) sebagai langkah untuk memperjuangkan dan menyempurnakan Perda perubahan RPMD tanpa harus menemukan kerumitan dan kebuntuan, jadi pasal tersebut tidak perlu mengembalikan pada proses politik pada paripurna namun lebih cenderung kepada pendekatan substantif. Karena memang perubahan Perda RPJMD lebih elegan jika dibahas melalui pendekatan substansi dengan membahas teknokratik dan sistematika pada lampiran Perda tersebut namun sebaliknya jika Perda itu dikembalikan pada proses paripurna maka yang terjadi adalah pendekatan politisnya lebih lebar dari pada pendekatan substansi atau materilnya.
- Pertentangan Logika Penolakan Perubahan RPJMD Kota Pekanbaru
Dalam beberapa argumentasi atas penolakan perubahan Perda RPJMD adalah sisa umur yang tidak memenuhi syarat untuk dilakukannya perubahan namun sisi lainnya penolakan justru memberi saran agar perubahan RPJMD dilakukan kajian ulang atau direvisi kembali yang sesuai dengan kondisi kekinian.
Pertentangan  dapat kita lihat bahwa anggota DPRD Kota yang menolak pada satu sisi bersandar pada pasal 342 Permendagri No.86/2017 yang mana  tidak mungkin dilakukan perubahan Perda RPJMD  namun anehnya pada sisi lain justru perubahan RPJMD itu disarankan untuk direvisi kembali agar sesuai dengan kondisi kekinian, artinya jika menyarankan perubahan RPJMD direvisi kembali berarti membenarkan bolehnya dilakukan perubahan RPJMD namun bukankah itu bertentangan dengan pendapat yang pertama bahwa perubahan RPJMD sudah terkunci dan tidak bisa dilakukan perubahan karena bertentangan dengan pasal 342 Permendagri No.86/2017?
Artinya saran merevisi kembali itu justru menjadi tidak berguna karena kalaupun direvisi maka  harus konsisten kembali pada umur RPJMD yang tidak memenuhi syarat jika dilakukan perubahan. Bukankan ini justru memperlihatkan pertentangan logika perubahan RPJMD tersebut?
- Konsekuensi Apabila Perubahan Perda RPJMD batal.
Jalan terjal menuju perubahan RPJMD Kota Pekanbaru semakin sulit dikarenakan Perda Perubahan RPJMD berpotensi tidak diterima oleh pihak Provinsi melihat telah terjadi Paripurna yang tidak kuorum, jika pun diterima oleh pihak Provinsi maka  tentu harus kembali mengulang paripurna sebagai bagian dari penyempurnaan perubahan Perda RPJMD, namun bukankah itu jalan yang rumit dengan kembali melakukan paripurna yang kuorum? andai saja pihak yang menolak perubahan RPJMD mau mengkuorumkan paripurna yang lalu tetap bisa menggunakan fungsi kontrolnya atas dasar pasal 338 ayat (3) Permendagri No.86/2017 maka win-win solution dapat terwujud karena diawasi langsung oleh Gubernur dan hasil dari penyempurnaan langsung dapat dijadikan produk hukum yang mengikat.
Namun konsekuensi penyempurnaan Perda kembali melalui proses politik di Paripurna tentu bisa saja berpotensi kembali menemukan jalan buntu karena yang dilakukan adalah pendekatan politik, jika memang Perda perubahan RPJMD kembali menemui jalan buntu maka mau tidak mau harus kembali ke Perda No.7/2017 tentang RPJMD Kota Peknbaru 2017-2022, kembali ke Perda semula bukan berarti meringankan beban justru menambah beban dari Pemerintah Kota. Maka konsekuensi jika kembali ke Perda semula (No.7/2017) yakni :
- Pemko Pekanbaru tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyelaraskan RPJMD Kota Pekanbaru dengan PerPres No.18/2020 tentang RPJMN (2020-2024)
- Pemko Pekanbaru tidak lagi memiliki kesempatan untuk menampung rekomendasi KemenPan-RB agar tujuan dan sasaran RPJMD lebih fokus kepada pencapaian target.
- Pemko Pekanbaru tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyelaraskan RPJMD Kota Pekanbaru dengan Permendagri No.90/2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.
- Pemko Pekanbaru kembali harus menjalankan 10 tujuan, 19 sasaran dan 40 indikator sasaran yang begitu "gemuk" dan tidak sesuai dengan kondisi kekinian bahkan berpotensi menguras APBD Kota Pekanbaru.
- Pemko Pekanbaru kembali harus memakai substansi sistematika pada lampiran Perda yang lama dimana lampiran itu justru tidak menggambarkan konsdisi kekinian (Eksisting Condition).
Dari gambaran konsekuensi dan pertimbangan-pertimbangan diatas mudah-mudahan kita bisa mengukur dan menguji secara objektif dengan mengembalikan kepada aturan hukum yang berlaku terkait perbedaan pendapat perubahan Perda RPJMD dan dari itu masyarakat dapat juga mengukur mana yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan atas Perubahan RPJMD Kota Pekanbaru. Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H