Jika tujuannya untuk mengevaluasi terkait materil atau substansi Perda maka bagi pihak yang menolak harus dapat membuktikan dengan data pembanding terkait masukan dan penyempurnaan perubahan RPJMD, Bappeda Provinsi harus detail melihat bagian mana yang harus disempurnakan, semisal harus dapat menunjukkan deskripsi mana yang mau dirubah, tabel apa yang ingin disempurnakan, atau bab-bab mana saja yang harus dirapikan maka penyempurnaan Perda tersebut harus mempunyai data pembanding yang akurat dan mempunyai nilai objektifitas dan harus ada alasan yang kuat untuk melakukan penyempurnaan materil  berdasarkan pendekatan teknokratik dan sistematika.
Namun jika untuk mengevaluasi bentuk formil Perda perubahan RPJMD maka bagi yang tidak menerima perubahan RPJMD pasti akan membuktikan bahwa hasil paripurna terkait perubahan Perda RPJMD tidak melalui proses kuorum atau tidak memenuhi unsur 2/3 batas rendah saat paripurna terjadi. Namun ada beberapa persoalan jika yang ingin dibuktikan itu adalah unsur formilnya saja, pertama, apakah berwenang Bappeada Provinsi atas nama Gubernur memberi arahan agar paripurna diulang hingga memenuhi batas kuorum? sementara paripurna adalah proses otonom politik legisltatif di tingkat Kota, sehingga bisa saja paripurna kembali menemukan jalan buntu.
Kedua, bagaimana jika menurut Gubernur materil/substansinya sudah bisa diterima namun proses formilnya yang tidak memenuhi syarat lalu apakah dengan itu Gubernur bisa memberi arahan kepada anggota DPRD yang menolak perubahan RPJMD untuk dapat menerima perubahan RPJMD tersebut dengan melaksanakan Paripurna yang kuorum? tentu hal tersebut kembali lagi keproses otonom politik di DPRD kota yang berpotensi mengalami "deadlock" sehingga arahan evaluasi Gubernur menjadi sia-sia belaka.
Persoalan yang ketiga, apa bisa Gubernur menggali dan mengobservasi alasan-alasan anggota DPRD terkait penolakan Perda Perubahan RPJMD? Jika bisa maka semestinya juga Gubernur wajib mendengar alasan-alasan anggota DPRD yang mendukung terbitnya Perda perubahan RPJMD Kota Pekanbaru karena ada kewajiban Gubernur untuk mendengar kedua belah pihak yang saling bertentangan, namun apa tidak terlalu jauh Gubernur masuk keranah politik otonom DPRD Kota Pekanbaru?
 Lain halnya jika paripurna yang lalu sudah memenuhi unsur kuorum, kerumitan saat ini bisa saja dihindari dan sangat bisa menjadi jalan yang saling menguntungkan bagi pihak yang menerima dan pihak yang menolak perubahan RPJMD. Bagi pihak yang menolak masih sangat bisa menggunakan hak konstitusional berdasarkan pasal 338 ayat (3) Permendagrai No.86/2017 dimana DPRD Kota secara internal bisa kembali menyempurnakan perubahan RPJMD bersama-sama Pemko Kota Pekanbaru tentu penyempurnaan ini berdasarkan keputusan evaluasi sesuai temuan dari Gubernur dan langsung diawasi oleh Gubernur sebagai penengah ditengah perbedaan pendapat.
Kelebihan menggunakan pasal 338 ayat (3) yakni semua pihak dapat terlibat memberi pendapat terkait dalam penyempurnaan perubahan RPJMD tanpa perlu lagi memikirkan jalur formil paripurna dan setelah penyempurnaan dilakukan maka Bappeda Provinsi kembali mengecek Perda tersebut hingga biro hukum Setda Provinsi memberi nomor registrasi Perda untuk diundangkan sebagai Perda perubahan RPJMD yang mengikat.
Kenyataan politik bahwa anggota DPRD Kota justru ingin memakai jalan yang berliku dengan tidak mengkuorumkan Perda perubahan RPJMD tersebut, konsekuensinya Perda itu bisa saja kembali harus diparipurnakan namun justru membuka lebar perdebatan politik dan cenderung tidak ada jalan keluarnya, sebaliknya jika anggota DPRD Kota fokus kepada materi/substansi Perda tersebut maka bisa menggunakan pasal 338 ayat (3) sebagai langkah untuk memperjuangkan dan menyempurnakan Perda perubahan RPMD tanpa harus menemukan kerumitan dan kebuntuan, jadi pasal tersebut tidak perlu mengembalikan pada proses politik pada paripurna namun lebih cenderung kepada pendekatan substantif. Karena memang perubahan Perda RPJMD lebih elegan jika dibahas melalui pendekatan substansi dengan membahas teknokratik dan sistematika pada lampiran Perda tersebut namun sebaliknya jika Perda itu dikembalikan pada proses paripurna maka yang terjadi adalah pendekatan politisnya lebih lebar dari pada pendekatan substansi atau materilnya.
- Pertentangan Logika Penolakan Perubahan RPJMD Kota Pekanbaru
Dalam beberapa argumentasi atas penolakan perubahan Perda RPJMD adalah sisa umur yang tidak memenuhi syarat untuk dilakukannya perubahan namun sisi lainnya penolakan justru memberi saran agar perubahan RPJMD dilakukan kajian ulang atau direvisi kembali yang sesuai dengan kondisi kekinian.
Pertentangan  dapat kita lihat bahwa anggota DPRD Kota yang menolak pada satu sisi bersandar pada pasal 342 Permendagri No.86/2017 yang mana  tidak mungkin dilakukan perubahan Perda RPJMD  namun anehnya pada sisi lain justru perubahan RPJMD itu disarankan untuk direvisi kembali agar sesuai dengan kondisi kekinian, artinya jika menyarankan perubahan RPJMD direvisi kembali berarti membenarkan bolehnya dilakukan perubahan RPJMD namun bukankah itu bertentangan dengan pendapat yang pertama bahwa perubahan RPJMD sudah terkunci dan tidak bisa dilakukan perubahan karena bertentangan dengan pasal 342 Permendagri No.86/2017?
Artinya saran merevisi kembali itu justru menjadi tidak berguna karena kalaupun direvisi maka  harus konsisten kembali pada umur RPJMD yang tidak memenuhi syarat jika dilakukan perubahan. Bukankan ini justru memperlihatkan pertentangan logika perubahan RPJMD tersebut?
- Konsekuensi Apabila Perubahan Perda RPJMD batal.
Jalan terjal menuju perubahan RPJMD Kota Pekanbaru semakin sulit dikarenakan Perda Perubahan RPJMD berpotensi tidak diterima oleh pihak Provinsi melihat telah terjadi Paripurna yang tidak kuorum, jika pun diterima oleh pihak Provinsi maka  tentu harus kembali mengulang paripurna sebagai bagian dari penyempurnaan perubahan Perda RPJMD, namun bukankah itu jalan yang rumit dengan kembali melakukan paripurna yang kuorum? andai saja pihak yang menolak perubahan RPJMD mau mengkuorumkan paripurna yang lalu tetap bisa menggunakan fungsi kontrolnya atas dasar pasal 338 ayat (3) Permendagri No.86/2017 maka win-win solution dapat terwujud karena diawasi langsung oleh Gubernur dan hasil dari penyempurnaan langsung dapat dijadikan produk hukum yang mengikat.