Dalam teori hukum tata negara darurat yang ditulis oleh Jimly Assidiqie menyatakan ragam corak keadaan darurat terbagi 2 yakni "Emergency De Facto" dan "Emergency De Jure", dalam keadaan darurat "de facto" pemerintah memberlakukan keadaan darurat namun keadaan darurat itu tidak dideklarasikan dan dalam keadaan darurat "de jure" ketika pemerintah memberlakukan keadaan darurat dengan diikuti pernyataan resmi oleh Presiden.Â
Darurat "de facto" keberlakuan keabsahan tindakan pemerintah secara hukum sedangkan darurat "de jure" keberlakuan keabsahan tindakan pemerintah secara hukum yang diikuti dengan legitimasi sehingga diterima dan didukung oleh masyarakat luas.
Darurat Sipil dalam UU Prp No.23/1959
Berbicara UU Prp No.23/1959 maka kita akan lebih banyak melihat dominasi militer dalam sebauah keadaan darurat sipil, bahwa perencaanaan darurat sipil yang digunakan sebagai opsi terakhir penanganan Covid-19 sangat mungkin terjadi penolakan keras dari masyarakat, karena bisa saja peran militer lebih dominan dari pada sipil.
Walaupun dalam keadaan darurat sipil namun Presiden berdampingan dengan Panglima Tertinggi angkatan perang dan dibantu oleh Menteri Pertahanan dan jika kedudukannya di daerah maka Kepala Daerah masih merupakan penguasa yang ada didaerah tersebut namun perlu diketahui bahwa Kepala Daerah itu dibantu oleh seorang Komandan Militer, Kepala Polisi dan Kepala Kejaksaan yang tertinggi di daerah itu.
Tidak hanya itu, UU Prp No.23/1959 adalah sebuah aturan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman karena pada awalnya keadaan bahaya sudah ada sejak 1946 dengan UU No.6/1946 tentang Keadaan Bahaya, memang pada zamannya UU tersebut sangat bermanfaat sekali dikarenakan untuk kebutuhan stabilitas keutuhan bangsa hingga hadirnya UU Prp No.23/1959 juga pada zamannya berguna sekali karena ketika 1959 tantangan stabilitas negara Indonesia sempat memanas karena lahirnya Dekrit Presiden 1959.Â
Dalam suasana politis bahwa parlemen juga sudah pernah menggodok RUU tentang penanggulangan keadaan bahaya dengan maksud untuk mengganti UU Prp tersebut artinya kenyataan politik juga mengakui sudah sepatutnya UU Prp itu disempurnakan dan tidak sesuai lagi jika diterapkan untuk penanganan Covid-19.
Keadaan darurat terkadang memaksa pemerintah untuk melakukan tindakan yang tidak lazim, seandainya darurat sipil diberlakukan untuk penanganan Covid-19 maka sangat wajar kiranya ada suasana ruang militer yang lebih besar daripada ruang sipil tentu ini sebuah keadaan yang tidak lazim.
Keterbatasan ruang gerak masyarakat yang diawasi militer memang menciptakan suasana tidak nyaman namun dengan tujuan kemaslahatan kehidupan umat manusia untuk memutus mata rantai Covid-19 maka mau tidak mau hal itu harus dilaksanakan dan seharusnya ini sebagai bentuk tindakan kewajaran apabila didahului suatu pernyataan darurat dari pemerintah.
Terbitnya beberapa aturan pasca penetapan keadaan darurat kesehatan sebenarnya juga menciptakan norma hukum diluar kewajaran. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) No.21/2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar yang mana pemerintah melakukan pembatasan kegiatan masyarkat dan disertai dengan tekanan.Â
Karena situsi dalam keadaan darurat maka tindakan dan tekanan pemerintah itu dianggap wajar saja, lain hal kiranya apabila status darurat kesehatan sudah dicabut maka tindakan pemerintah itu bisa dianggap telah melakukan penyimpangan dan melanggar hak kebebasan seseorang maupun kelompok. Artinya penyimpangan tindakan pemerintah itu mempunyai limit waktu sepanjang keadaan darurat itu belum dicabut.