Secara sederhana, culture jamming merupakan upaya untuk mengubah isi pesan iklan menjadi suatu bentuk kritik melalui karya yang kreatif.
Karya yang kerap digunakan sebagai sarana culture jamming adalah meme. Meme merupakan bentuk imitasi dari unsur-unsur karya yang asli. Misalnya logo, teks, dan slogan yang kemudian diganti dengan bentuk yang hampir serupa, namun memiliki makna yang jauh berbeda.
Untuk memahami lebih dalam mengenai implementasi culture jamming, simak analisis culture jamming berupa meme yang mengkritik Starbucks.
Analisis Culture Jamming Starbucks
Starbucks merupakan gerai kopi ternama yang telah tersebar di berbagai negara. Seluruh gerai Starbucks menawarkan berbagai macam menu baik minuman maupun makanan. Walaupun Starbucks telah membuka banyak cabang, namun Starbucks tetap berupaya meningkatkan mangsa pasarnya dengan membuka gerai tambahan di berbagai wilayah dengan peluang pasar baru.
Seiring dengan perkembangannya, Starbucks menjual produknya lebih mahal dibandingkan dengan gerai kopi lainnya. Hal ini dilakukan sebab Starbucks mengklaim perusahannya sebagai coffee sourcing, tea sourcing, cocoa sourcing yang berkualitas tinggi. Selain itu, Starbucks juga mengkampayekan perusahaannya sebagai farmer support.
Melalui hal inilah, Starbucks membentuk iklannya untuk menunjukkan citra bahwa Starbucks merupakan gerai kopi yang eksklusif. Pembentukan citra tersebut dapat dilihat melalui iklan Starbucks. Iklan Starbucks dibintangi oleh orang-orang dengan pakaian formal nan rapi seperti jas yang berperan sebagai konsumen. Selain itu, konteks logo yang ditunjukkan iklan juga disasarkan kepada kalangan atas dengan memperlihatkan dominasi kalangan atas yang membeli produk Starbucks.
Berdasarkan hal ini, culture jammers bereaksi dengan memproduksi meme tentang Starbucks. Mulanya logo Starbucks yaitu seperti ini, lengkap dengan tulisan “Starbucks Coffee”
Namun culture jammers mengubah teksnya menjadi “Big Bucks Coffee” dan “High Society Coffee”.
Melalui meme tersebut, culture jammers ingin memperlihatkan bahwa Starbucks tidak memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya. Starbucks hanya berorientasi terhadap nilai-nilai ekonomi yang mencerminkan kepentingan kapitalis.
Ketimbang mengamati dan menikmati kekayaan citarasa kopi yang khas, masyarakat justru diajak untuk menikmati kepuasaan dengan “membeli” simbol. Melalui iklan dan logo Starbucks, masyarakat seolah-olah diarahkan untuk “mengonsumsi” simbol dan tanda milik Starbucks, dalam rangka mendapatkan “pengakuan” sebagai masyarakat yang berasal dari kalangan atas.