Pernahkah Anda melihat gambar-gambar yang berisi plesetan sarkastik mengenai brand tertentu?
Yups, gambar yang Anda lihat pada caption artikel ini merupakan salah satunya. Gambar tersebut adalah bentuk dari culture jamming yang mengkritik brand ternama yaitu Starbucks. Berbicara mengenai culture jamming, ternyata terdapat kaitan yang erat antara hal tersebut dengan konsep posmodernisme.
Namun sebelum membahas lebih dalam mengenai culture jamming brand Starbucks, simak dahulu penjelasan singkat mengenai konsep posmodernisme dengan culture jamming.
Mengenal Posmodernisme
Munculnya posmodernisme merupakan reaksi dari modernisme. Jika budaya pada modernisme dianggap sebagai sesuatu yang tinggi dan sakral, maka posmodernisme adalah sebaliknya.
Posmodernisme menciptakan bias mengenai batas-batas antara “high culture” dengan “low culture”. Artinya, perbedaan antara budaya yang umumnya hanya dinikmati oleh kalangan atas (high culture) dengan budaya yang dapat dinikmati oleh semua orang (low culture) sudah buram dan tidak jelas.
Melalui hal tersebut, budaya cenderung dikomodifikasi untuk dapat dikonsumsi secara massal. Dengan kata lain, mustahil untuk memisahkan kepentingan ekonomi dari ideologi atau budaya.
Pernyataan diatas berkaitan dengan pendapat Jean Baudrillard berdasarkan Edkins & Vaughan-Williams (2009), yang menyatakan bahwa posmodernisme memunculkan budaya “simulacrum”. Simulacrum berbicara tentang manipulasi tanda dalam kehidupan manusia sehari-hari terutama dalam bidang industri dan komersialisasi. Manipulasi inilah yang kemudian memunculkan budaya konsumerisme.
Secara sederhana, posmodernisme memunculkan budaya konsumerisme melalui komodifikasi budaya untuk kepentingan ekonomi. Kemudian, culture jamming hadir sebagai tanggapan akan budaya konsumerisme tersebut.
Memahami Culture Jamming
Berdasarkan Nomai (2008), culture jamming merupakan sebuah gerakan perlawanan terhadap komersialisasi yang menimbulkan budaya konsumerisme dan mencerminkan kapitalisme.
Gerakan culture jamming ini dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut sebagai culture jammer. Culture jammer berusaha untuk membelokkan pesan yang ingin disampaikan iklan agar artikulasi makna dan ideologi dalam iklan juga mempertimbangkan nilai-nilai sosial, budaya, maupun politik.
Upaya untuk membelokkan pesan tersebut dilakukan dengan cara merumuskan kembali unsur-unsur yang terdapat dalam iklan. Iklan yang identik dengan pembawaan citra brand dan visualiasasi logo brand kemudian dibedah oleh culture jammer. Pembedahan tersebut didasari oleh teks pada iklan yang memperkuat makna dan konteks yang memberi makna pada objek iklan (Barker & Jane, 2016).