Mohon tunggu...
Rachel Novitasari
Rachel Novitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Terancam Diblokir, Berikut Penyimpangan Regulasi Melalui Telegram

8 Maret 2021   11:01 Diperbarui: 8 Maret 2021   12:53 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, perkembangan teknologi secara berkelanjutan membentuk budaya-budaya baru. Budaya-budaya baru inilah yang secara tidak sadar kita adopsi dalam kegiatan sehari-hari. Selaras dengan pernyataan oleh Hall (1997), bahwa budaya juga berbicara mengenai kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya atau dengan kata lain disebut juga sebagai “mass or popular culture”.

Sebagai contoh sederhana, zaman dahulu untuk saling bertukar pesan melalui surat memerlukan prosedur yang panjang dan waktu yang lama. Namun melalui perkembangan teknologi, sudah tersedia berbagai macam aplikasi layanan chat yang siap mengirimkan pesan secara digital. Salah satu contohnya, yaitu Telegram.

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang aplikasi Telegram?

Aplikasi yang dirilis pada tahun 2013 ini, sangat diminati oleh netizen Indonesia. Berdasarkan Alfarizi (2021), jumlah unduhan Telegram yang telah mencapai lebih dari 6 juta di Indonesia dan terus meningkat.

Hal ini terjadi sebab, Telegram dinilai memiliki kebijakan privasi yang lebih aman dan lebih efektif dalam distribusi file besar dibandingkan aplikasi lainnya. Penilaian ini berdasar akan layanan yang tersedia pada Telegram, yaitu fitur “Secret Chat” dan kebijakan distribusi file hingga 1,5 GB kepada lebih dari 100.000 pengguna.

Melihat kesuksesan Telegram di Indonesia, siapa sangka bahwa Telegram justru identik dengan hal-hal kontroversial.

Tahun 2017 dan 2020, Telegram sempat diblokir oleh Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Alasan dibalik hal ini, sebab pemanfaatan fitur layanan Telegram tidak sesuai dengan regulasi di Indonesia. Bahkan Pavel Durov selaku CEO Telegram sampai harus turun tangan untuk membuka blokir, dengan cara menyetujui persyaratan yang diajukan Kominfo.  Melalui hal tersebut, dapat dilihat bahwa regulasi menjadi hal vital bagi produk budaya seperti Telegram.

Lantas regulasi seperti apa yang mampu membuat Telegram diblokir? Mengapa Telegram harus menyesuaikan kebijakannya dengan regulasi di Indonesia?

Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dijelaskan melalui elemen regulasi dalam konsep sirkuit kebudayaan (circuit of culture).

Elemen Regulasi dalam Sirkuit Kebudayaan

Source : medium.com
Source : medium.com

Stuart Hall merupakan pelopor dari konsep sirkuit kebudayaan. Dalam sirkuit kebudayaan terdapat lima elemen yang saling bergantung dan memengaruhi satu dengan yang lainnya. Elemen-elemen tersebut yaitu representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi.

Pada elemen regulasi, Hall (1997) menyatakan bahwa regulasi merupakan kekuasaan yang diterapkan dalam suatu budaya sebagai bentuk akibat dari industri. Secara sederhana, regulasi dapat dimaknai sebagai aturan atau kontrol akan aktivitas budaya.

Sehingga, dalam mengkaji aturan atau kontrol yang mengikat Telegram di Indonesia dipilih elemen regulasi dalam konsep sirkuit kebudayaan.

Sarana Pertukaran Pesan Radikal dan Teror

Seperti yang telah disebutkan, Telegram memiliki fitur yang disebut sebagai “Secret Chat”. Berdasarkan Riyanto (2021), secret chat alias obrolan rahasia, dilengkapi dengan sistem enkripsi MTProto end-to-end dan sistem screenshot alerts.

Artinya, pesan hanya akan terbaca pada akun dan perangkat yang sama seperti pesan tersebut dikirim. Sistem enkripsi tersebut juga memampukan pesan untuk terhapus secara otomatis, sesuai dengan waktu yang telah diatur penggunanya. Juga terdapat peringatan jika lawan bicara melakukan tangkap layar pada ruang obrolan. Melalui kemampuan inilah, Telegram kerap dinyatakan sebagai aplikasi layanan pesan dengan tingkat keamanan tertinggi.

Akan tetapi realitanya, layanan yang ditawarkan Telegram kerap disalahgunakan oleh kaum radikalis. Mereka memanfaatkan Telegram untuk mengirimkan pesan radikal dan terror seperti ajakan perakitan bom, pesan kebencian, propaganda radikalisme, dan hal lain yang berlawanan dengan regulasi di Indonesia.

Hal-hal semacam ini tentu mengancam keamanan negara dan melanggar UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mengatur mengenai jenis-jenis tindakan yang termasuk upaya teror beserta sanksinya.

Sarana Distribusi Film secara Ilegal

Berdasarkan Wahyudi (2018), dengan layanan Telegram yang memampukan pembuatan grup hingga lebih dari 100.000 pengguna serta distribusi file, audio, dan video hingga 1,5 GB, memicu timbulnya aksi distribusi film secara ilegal. Bahkan tidak hanya film, tetapi juga drama serial, musik, dan berbagai karya lain yang dilindungi hak cipta.

Tidak hanya didukung oleh layanan pada Telegram, pembajak film juga didukung oleh peraturan Telegram yang masih longgar. Telegram diketahui belum memiliki SOP (Standard Operating Procedure) untuk menangani persebaran konten informasi yang bersifat negatif. Melalui hal inilah, distribusi film secara ilegal semakin menjamur di Telegram.

Dikatakan ilegal sebab baik film, drama serial, maupun musik yang dibagikan, dominan telah dilindungi oleh HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), belum tentu telah lulus sensor, dan melanggar regulasi di Indonesia seperti UU Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta, UU Perfilman, dan UU Nomor 11 Tahun 2008 mengenai ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). 

Melalui kedua penyimpangan tersebut, berpotensi menimbulkan pemblokiran akses Telegram di Indonesia secara total. Sedangkan jumlah pengunduh Telegram di Indonesia merupakan jumlah terbesar kedua setelah India. Sehingga tidak heran, jika CEO Telegram menyepakati persyaratan teknis yang diajukan oleh Kominfo. Persyaratan tersebut terkait dengan penetapan SOP dan penyediaan software dalam menindaklanjuti konten negatif, sebagai kontrol atau aturan yang mengawasi Telegram dalam setiap penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alfarizi, M. K. (2021, Februari 8). Telegram aplikasi terbanyak diunduh pada januari 2021, tiktok peringkat 2. Tempo.co. Diambil dari sini

Hall, S. (1997). Representation : cultural representation and signifying practices. Open University.

Riyanto, G. P. (2021, Januari 13). Mengenal telegram, aplikasi chat yang dilirik sebagai pengganti whatsapp. Kompas.com. Diambil dari sini

Wahyudi, T. (2018, Mei 27). Apa bedanya aplikasi telegram dengan aplikasi chat lainnya?. Diambil dari  sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun