Indonesia menghadapi masalah stunting yang cukup serius dengan prevalensi sekitar 36%. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini melalui kebijakan, peraturan, dan intervensi yang berbeda-beda. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan regulasi penanggulangan stunting di Indonesia dan memberikan pandangan penulis tentang kebijakan yang telah diterapkan pemerintah.
Indonesia memiliki banyak pedoman dan peraturan untuk mencegah stunting, yang diterapkan melalui intervensi khusus dan terencana. Intervensi khusus dilakukan oleh sektor kesehatan dengan fokus pada program 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), serta intervensi sensitif seperti penyediaan akses air bersih dan sanitasi. Selain faktor kesehatan, aspek sosial ekonomi seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan pendapatan rumah tangga juga mempengaruhi terjadinya stunting.
Pencegahan stunting memerlukan kerjasama lintas sektor dan harus dilakukan secara menyeluruh. Kebijakan dan peraturan dari tingkat pusat perlu diterapkan dan ditindaklanjuti hingga ke tingkat daerah dan desa. Hal ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan, tetapi juga sektor-sektor terkait lainnya. Sistem respons berbasis masyarakat juga perlu ditingkatkan, karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang, kebersihan, dan sanitasi lingkungan sangat penting untuk mengurangi angka stunting.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), stunting adalah kondisi di mana anak di bawah lima tahun memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan anak seusianya. Stunting biasanya terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan anak karena gizi buruk yang kronis. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu, sehingga mereka lebih rentan terkena penyakit. Anak yang mengalami stunting seringkali juga menghadapi masalah dalam perkembangan tubuh dan otak. Berdasarkan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), tanda utama stunting adalah tinggi atau panjang badan yang lebih pendek dari standar yang ditetapkan KIA.
Faktor utama penyebab stunting di Indonesia adalah masalah asupan gizi, sementara faktor keturunan hanya menyumbang sekitar 15%. Masalah hormon pertumbuhan juga berperan dalam terjadinya stunting. Dampak jangka pendek dari stunting adalah daya tahan tubuh anak yang menurun, sehingga mereka mudah terserang berbagai penyakit. Dalam jangka panjang, stunting dapat mengganggu perkembangan kognitif dan motorik anak. Jika masalah ini tidak segera diatasi, kualitas sumber daya manusia di Indonesia bisa menurun dan sulit bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berusaha keras untuk memperbaiki keadaan gizi masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak kebijakan untuk mengatasi stunting. Berbagai lembaga dan kementerian juga memiliki program terkait intervensi gizi, baik yang spesifik maupun intensif. Misalnya, Kementerian Kesehatan melalui puskesmas dan posyandu menjalankan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting mengatur dua jenis intervensi: intervensi spesifik dan intervensi intensif. Intervensi spesifik berfokus pada masalah gizi langsung, seperti pemberian nutrisi, ASI eksklusif, susu pertumbuhan, asupan protein, dan penanganan bayi dengan berat lahir rendah. Sementara itu, intervensi intensif mencakup edukasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, jaminan kesehatan masyarakat, pemenuhan pangan, serta peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Indonesia memiliki rencana aksi intervensi stunting di Indonesia terdiri dari lima pilar utama:
1. Komitmen dan Visi Pemimpin Negara: Menguatkan komitmen politik dan visi dari pemimpin tertinggi.
2. Kampanye Nasional: Fokus pada pemahaman, perubahan perilaku, dan akuntabilitas.
3. Koordinasi Program: Mengonsolidasikan program nasional, daerah, dan masyarakat.
4. Kebijakan Food Nutritional Security: Mendorong keamanan gizi makanan.
5. Pemantauan dan Evaluasi: Melakukan pemantauan dan evaluasi program secara berkala.
Penanggulangan masalah gizi dilakukan melalui intervensi spesifik dan sensitif. Pada tahun 2018, kebijakan penanggulangan stunting memprioritaskan 160 kabupaten/kota, masing-masing dengan 10 desa. Tahap pertama di tahun 2018 melibatkan 100 kabupaten/kota dengan total 1.000 desa. Tahap kedua di tahun 2019 melibatkan 60 kabupaten/kota dengan total 600 desa. Setiap kementerian terkait harus mengalokasikan programnya di desa-desa prioritas ini. Pihak yang terlibat termasuk Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, TNP2K, Kementerian Kesehatan, dan BPKP.
Penurunan angka stunting menjadi agenda utama pembangunan kesehatan Indonesia pada periode 2015-2019, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019 dan RPJPN 2005-2025. Pemerintah juga meluncurkan Program Akses Universal Air Minum dan Sanitasi untuk memastikan layanan air minum dan sanitasi layak bagi seluruh rakyat pada tahun 2019.
Dalam RPJMN 2015-2019, target penurunan stunting adalah dari 32,9% pada 2013 menjadi 28%. Pada 2022, prevalensi stunting menurun menjadi 21,6%, meskipun masih di atas standar WHO yang menetapkan masalah gizi akut jika prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau balita kurus di atas 5%. Pemerintah menetapkan stunting sebagai isu prioritas dalam RPJMN 2020-2024, dengan target menurunkan prevalensi dari 24,4% pada 2021 menjadi 14% pada 2024. Penurunan ini cukup signifikan, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah cukup efektif. Dengan berbagai upaya ini, diharapkan angka stunting terus menurun, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, menjadi generasi yang cerdas, unggul, dan mampu bersaing di kancah internasional.
Dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Pemerintah sudah menerapkan berbagai kebijakan dan peraturan untuk menangani masalah ini, termasuk intervensi di sektor kesehatan dan sektor lainnya. Faktor sosial ekonomi seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan pendapatan rumah tangga juga mempengaruhi stunting. Meskipun kebijakan dan peraturan yang ada cukup efektif dalam menurunkan angka stunting, implementasinya masih perlu dioptimalkan. Kebijakan di tingkat pusat harus ditindaklanjuti hingga ke tingkat daerah dan desa, melibatkan semua sektor terkait. Kerja sama lintas sektor di daerah perlu dikembangkan agar kebijakan yang ada dapat diterapkan oleh semua pemangku kepentingan, termasuk elemen sosial, akademis, dan sektor swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H