Bung Karno pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, maka akan aku cabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia”. Perkataan Soekarno yang populer itu dirasa kurang tepat bila diucapkan pada zaman sekarang.
Sebab, sepuluh pemuda saat ini jika diajak untuk berjuang, terlebih dahulu mereka akan bertanya “saya dapat apa bila ikut berjuang?” atau dengan bahasa yang lain, “wani piro?”. Idealisme perjuangan politik pemuda zaman sekarang memang sedang mengalami degradasi.
Di samping dikarenakan perangkap kapitalisme yang berbentuk hedonisme telah berhasil mengalihkan perhatian mayoritas pemuda dari isu-isu politik yang krusial, para pemuda juga dikepung oleh senjata uang dan “bius” intelejen yang dapat meracuni nalar kritis dan idealisme para pemuda.
Pemuda saat ini sedang mengalami yang namanya hedonisme materialisme sebagai prodak dari modified capitalism (modifikasi kapitalisme). Kapitalisme memang mempunyai seribu satu cara agar tetap dapat berkuasa di dunia. Pada zaman sekarang, kebanggaan di kalangan pemuda bukan lagi bertumpu pada ketajaman intelektual, kekayaan gagasan, dan kesucian idealisme.
Rivalitas motor sport, iPhone (Apple), dan mobil baru adalah medan adu gengsi di kalangan kaula muda. Ber-selfie di tempat tongkrongan yang dianggap berkelas seperti Starbucks, Mall, dan hotel yang kemudian diupload di media sosial telah menjadi budaya yang lebih dipilih oleh generasi muda daripada nongkrong untuk diskusi filsafat, sejarah, politik, atau ekonomi di emperan kampus atau di warung kopi kaki lima.
Bila kita flashback sedikit sejarah Indonesia, maka kita akan menyadari bahwa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia selalu dipelopori oleh para pemuda. Seperti, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, Semaun, Marco Kartodikromo, Alimin, Tan Malaka, Soekarno, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Menariknya lagi, para pemuda pejuang kemerdekaan itu rata-rata berasal dari keluarga Priyayi atau Pangreh Praja (Pegewai Hindia Belanda), di mana mereka sangat berpeluang untuk hidup nyaman dan penuh hura-hura tanpa resiko disakiti atau dihukum oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Namun nyatanya, mereka (justru) memilih jalan yang terjal dan penuh duri, melebur bersama penderitaan rakyat, berjuang demi kemerdekaan rakyat Indonesia yang tak mereka kenal satu-persatu namanya. Bayaran yang mereka terima jelas, dinginnya penjara, pembuangan, penyiksaan, bahkan pembunuhan.
Soekarno misalnya, sudah sejak muda ia aktif di organisasi dan menulis. Soekarno aktif di Jong Java (Pemuda Jawa) dan Serikat Islam saat ia menempuh pendidikan di Hogere Burger School (setingkat SMA) Surabaya, dan ia aktif menulis di harian Oetoesan Hindia.
Ini menunjukkan bahwa Soekarno sangatlah produktif. Kemudian saat kuliah di Technische Hooge School (sekarang ITB) Bandung, ia sering mengikuti berbagai diskusi yang diselenggarakan di rumah Cipto Mangunkusumo.
Di sanalah ia banyak mengenal tokoh pergerakan yang lebih senior dan radikal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, J.E Stokvis (tokoh social democrat yang pro Indonesia), D.M.G. Koch (wartawan Indische Sociaal Democratische), dan banyak tokoh lainnya. Konon, dari Koch inilah Soekarno sering meminjam buku-buku Marxisme dan sosialisme.