Mohon tunggu...
HENDRA WIJAYA
HENDRA WIJAYA Mohon Tunggu... Penulis - NICE DAY

Mengajar di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Prof.Dr. Suparman, I.A. MSc dari Novel

19 Juli 2018   13:32 Diperbarui: 19 Juli 2018   13:35 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenal Prof. Dr. Suparman, I.A, MSc

Dari  Novel : Kyai Ibrahim dan Kerukunan Agama Karya Iwan Mucipto Moelyono

Sementara aku akan memanggil Prof.Dr. Suparman, I.A, MSc dengan panggilan " Pa Suparman". Paling tidak untuk mengawali tulisanku ini.  Karena nanti  di tengah, atau diakhir tulisanku, mungkin aku akan memanggilnya dengan nama panggilan yang berbeda sesuai dengan pemahamanku kekinian tentang beliau. 

Loch ko  begitu ? ya karena jujur ada pengetahuanku yang berbeda tentang sosok beliau sebelum  bertemu langsung dengannya dan membaca Novel berjudul Kyai Ibrahim karya Iwan  dan sesudah membacanya.karenanya tulisan inipun sebenarnya ingin bercerita tentang kesan dan pengetahuan  saya tentang sosok Pa Suparman sebelum dan sesudah membaca Novel berjudul Kyai Ibrahim Karya Iwan Mucipto Moelyono, Responsible Development International Indonesia, Jakarta, 2015, 290 halaman.

Sosok Pa Suparman Yang aku kenal  Sebelum  membaca Novel Kyai Ibrahim

Sebelum membaca Novel Kyai Ibrahim karya Iwan Mucipto Moelyono, Pa Suparman sosok yang sangat belum aku kenal banyak tentang siapa dan apa kiprahnya. Aku hanya tahu beliau itu Dekan Fakultas Fasca Sarjana UNINDRA Jakarta saja, karena selama dua tahun aku pernah 'memburu magister' ku di UNINDRA Jakarta.udah.titik. Namun pengetahuanku tentang sosoknya sedikit berubah usai pertemuan singkatku dengan Pa Suparman  di hari minggu    Juli 2018 Pukul 13.30 di ruang Rapat Sasana Krida Fakultas Pasca Sarjana UNINDRA Jakarta.

Pertemuan singkat itu di inisiasi oleh keinginanku untuk bertemu dengannya, untuk sekedar menyerahkan kedua buku karyaku: Merawat Indonesia Merawat Ibu Kita dan 1001 cerita di ruang guru. kenapa aku menyerahkan kedua buku ku padanya ? karena dalam buku itu, gelar MPd ku dari Fakultas Pasca Sarjana UNINDRA Jakarta yang beliau pimpin  tertera dalam namaku. Bagiku penyerahan ini cukup penting, sebagai rasa suka cita dan syukur ku saja. Atau anggap saja itu celebration kecil-kecilan ku dan promosiku,barangkali Pa Suparman berkenan memberi kode untuk menerimaku menjadi staff pengajajar UNINDRA. He..he..modus kan.  

Pa Suparman menjadwal pertemuan kami Minggu, 15  Juli 2018 Pukul 13.30. Aku sempat bertanya melalui pesan WA, "Dimana tempatnya ?". " Minggu 13.30 ". Jawabnya. Berapa kali aku tanyakan pertanyaanku yang sama, jawaban darinya juga selalu sama. Aku berprasangka baik saja, Pa Suparman menganggap aku tahu jawabannya.  Akhirnya, aku mengalah, pertanyaanku terpaksa ku jawab sendiri  dalam benakku. "ah..biasanya kalau hari minggu kan Pa Suparman ada di Ruang Dosen Pasca Sarjana di Gedung A Kampus UNINDRA Jakarta." Pikirku.  Benar saja, hari minggu,   15 Juli  2018  pukul 13.30  saat aku sudah duduk di ruang tunggu di Lt.3 kampus itu,  Pa Suparman keluar dari Ruang Kerjanya.  

Sayangnya, belum beberapa langkah, segerombolan mahasiswa S2 yang sudah dari tadi menunggunya menyerergapnya. "ada apa ini ?" tanya pa Suparman santai. Melihat ekspresi wajahnya yang datar, aku kira itu hanya pertanyaan basa basi saja, karena sepertinya beliau sudah tahu jawabannya. "kami mau bimbingan thesis Pa..!". " oh..ayo kita ke ruang rapat saja..!". Mereka menuju Ruang Rapat Sasana Krida yang  satu lantai dekat dengan ruang dosen Pascasarjana. 

Jadwalku merasa di serobot, tapi aku berusaha tenang. Saat mereka asik bimbingan thesis, aku diam-diam masuk ke ruangan yang mereka tempati dan menempati salah satu kursi dekat pintu masuk ruangan yang ada di luar meja yang melingkar yang mereka gunakan. "siapa tahu dia ingat jadwalku !" pikirku. "bapak siapa ?" teriak serak  kecil Pa Suparman,sepertinya ke arah ku. "saya Hendra pa !" spontanku, setelah memastikan wajah dan sorot mata Pa Suparman ke arahku. Bimbingan Thesis sejenak terhenti, semua mata ke arahku. 

"ada keperluan apa ? mau bimbingan juga ?" sergapnya. "em..saya mau ketemu sama Bapa, janjinya 13.30 pa..!". "ow..ya..ada keperluan apa ?".  sorot mata Pa Suparman dan pertanyaan yang ketiganya itu, seolah memaksaku untuk segera menghampirinya. Dengan agak gigih aku menyerang ke depan, melewati peserta bimbingan thesis yang setia menatapku,menghampiri Pa Suparman.

 "Saya Hendra Wijaya Pa, Semalam konfirmasi ke Bapak pertemuan kita Jam 13.30, hari ini. ini pak..dua buku saya..gelar MPd saya yang saya raih di sini Alhamdulillah sudah tercantum di Buku saya. !". setelah memperkenalkan diri, aku menyodorkan kedua buku karyaku. Aku tak berani duduk di kursi kosong samping Pa Suparman, karena takut di siriki mahasiswa yang ada disitu. 

Lagi pula Pa Suparman tak mempersilahkanku. Jadi  menghindari kesan belagu, Jadilah aku dodok. "ow..ya..Hendra..Buku Ya..Bagus..Bapak Ibu..ini Penulis Buku ! Bagus...!".  Pa Suparman menatap semua peserta bimbingan thesis dan memamerkan kedua buku ku. "Kedua buku itu, kumpulan tulisan saya yang dimuat di Kompassiana Pa..!, waktu saya masih kuliah S2 disini, identitas saya di kompassiana menggunakan 'mahasiswa pasca sarjana UNINDRA !". 

"Oh..buku ini tentang apa ?". "yang Merawat Indonesia Merawat Ibu Kita, isisnya seputar masalah kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia kekinian Pa. Soal Korupsi, soal nasionalisme, soal maraknya intoleransi,soal berita hoaxs, soal dasar negara sampai soal poligami...he..he..sementara buku yang ini: 1001 cerita di ruang guru, adalah kumpulan cerpen yang terjadi di ruang guru...!". "ya..masalah intoleansi saat ini marak, kelompok yang hanya 2 persen ingin memaksakan kehendak, bahkan dengan cara kekerasan. Ingin mengganti dasar negara, mengkafirkan orang lain bahkan yang se agama. Yang dianggap pemimpin mereka malah mabur, saat rakyat dan pemerintah bersatu menolak keinginan kelompok mereka. 

Masih untung  pemerintah tidak garang dan kasar menindak kelompok mereka. Sekarang kita lihat pemerintah bekerja membangun infrastrukur. Ekonomi cukup baik. Kita melihat dan merasakannya toh ? kita sebenarnya bisa swadaya pangan. Indonesia subur makmur. Saya punya pikiran akan menyamakan harga daging sapi dengan daging ayam. Bisa ? bisa..kenapa kita harus di impor pangannya terus..karena mentri dan yang terlibat dalam perdagangannya akan mendapat fee dari kegiatan import. 

Dapat uangnya cepet ga perlu ribet bikin program swadaya pangan. Saya adalah salah satu Founder dari lembaga  yang bergerak dalam hal Kerukunan antar umat beragama..nanti kalau ada kegiatan saya kasih tau ya..saya suka novel..saat ini juga saya sedang akan menyelesaikan novel karya saya. Saya suka baca Novel berjudul Kyai Ibrahim....!".  Pa Suparman dengan santai terus berbicara, seperti sedang memberi bimbingan kepada seluruh mahasiswanya di ruang itu. Ada rasa cemas di benakku. Wajah peserta bimbingan mulai mencurigaiku dan sorot matanya seperti merasa terganggu dengan kehadiranku. Pa Suparman sepertinya mengerti juga dengan gelagat itu. "Ok. 

Lain waktu kita ngobrol lagi..nanti kita chat chatan lah..!" tutup Pa Suparman,  menyelamatkanku dari tatapan mata peserta bimbingan thesis yang mulai menusuk ku. "baik Pa...Boleh saya minta di photo dengan bapak ?". pintaku. Dengan di bantu salah satu peserta bimbingan thesis, kami pun di Foto. Ckrek. "terimkasih atas waktu dan kesempatannya pa.. ! bapak ibu, saya mohon maaf apabila telah mengganggu..!". aku bergerak cepat keluar dari ruangan dengan hati yang senang. 

Di Bis yang mengantarku kembali dari Jakarta ke Tangerang,  aku mencoba mengingat beberapa yang disampaikan oleh Pa Suparman. Aku seperti menemukan chemistri baru hubunganku dengan Pa Suparman. Beberapa yang di paparkan Pa Suparman secara singkat tadi, hampir semua ada di  ulas di buku ku: Merawat Indonesia Merawat Ibu Kita. Nasionalisme, praktek intoleransi, perilaku koruptif, dan masalah kebangsaan lainnya. Hanya, yang paling kuat menyerang pikiran dan ingataanku adalah novel yang berjudul : Kiyai Ibrahim dan Kerukunan Agama. Yang Pa Suparman promosikan tadi. Aku mulai curiga, jangan-jangan Kyai Ibrahim dalam Novel itu adalah Pa Suparman. 

Aku mulai sadar, nama Pa Suparman itu adalah Prof. Dr. Suparman, I.A , MSc. Bukankah I nya adalah Ibrahim dan A nya adalah Abdullah ?. ow..Pa Suparman juga bergelar Kiyai ?  lalu soal kerukunan beragama ?. ah..sosok Gus Dur langsung terbayang dalam benakku. Iseng aku ketik di papan searching mbah google: "Dr. Suparman  Ibrahim Adullah". Tak lama bermunculan foto dan  info seputar nama yang aku ketik itu." nah...benarkan..!". Aku perlu sampaikan kenapa aku menghubungkan dengan Gus Dur  ?, aku cerita sedikit ya.  

Selama dua tahun aku 'memburu magister' ku di UNINDRA, mungkin hanya  empat  atau lima kali pertemuanku dengan Pa Suparman dalam dua tahun itu, itupun sangat formalistik dan cenderung pasif.  Saat  awal kuliah ketika beliau memberi sambutan, saat  berpapasan di selasar kampus, saat minta tandatangan sebagai Penguji Thesis, dan saat wisuda S2 ku di  TMII. Tak ada  istilah 'ngobrol' dalam lima pertemuan itu. Namun, setelah beberapa waktu aku mengikuti kuliah, samar terdengar Pa Suparman itu kerabatnya Gus Dur.

 Informasi samar itu, entah kenapa aku langsung mempercayainya. Karenanya, pada saat usai  minta tanda tangan beliau untuk  menjadi penguji Thesisku dan saat  wisuda S2  aku cium tangannya, serasa mencium tangan orang tuaku, guru-guruku atau kyai-kyai ku di pesantren dimana aku pernah mondok. Dan pertemuanku yang ke enam terjadi hari minggu,  15 Juli 2018 kmaren itu.   

Dokpri
Dokpri
Sosok Pa Suparman Yang aku kenal  Sesudah  membaca Novel Kyai Ibrahim

Setelah pertemuan 15 Juli 2018 itu, esok malamnya  aku dikirimi dua  buku oleh Pa Suparman: Kiyai Ibrahim dan Kerukunan Agama dan Sate Kuda Seberang  'Sakura' Untuk Ayah  dalam bentuk   file PDF melalui surat elektronik, Email.  Aku menerimanya, setelah sebelumnya beliau menanyaiku melalaui WA, "Apakaha punya email ?". 

Kedua buku elektronik itu langsung ku buka di androidku,ku baca sekilas dan kusimpan. Buku Novel Kyai Ibrahim dan kerukunan Agama ternyata bukan karya Pa Suparman, melainkan karya Iwan Mucipto Moelyono sementara buku satunya novel Sate Kuda Seberang  'Sakura' Untuk Ayah, inilah buku novel  karya Pa Suparman sendiri. Entah kenapa  aku lebih memilih Novel Kiyai Ibrahim dan kerukunan agama dulu untuk aku bongkar. Alasannya lebih pada rasa penasaranku pada sosok Kiyai Ibrahim dalam novel itu. 

thesisku sebelumnya kan menduga  Kyai Ibrahim dalam  novel itu jangan-jangan Pa Suparman. Nah aku ingin segera tahu jawabannya.  Bagian Cover buku itu aku baca hingga tiga kali, ku baca pula daftar isinya, lalu akulangsung menuju Sang Kiyai di halaman 36. Hampir 30 menit ku baca sambil menunggu panggilan antrian pengambilan  blangko KTP Elektronik di Kantor dinas Dukcapil  Kabupaten Tangerang.  Selanjutnya, karena masih belum dipanggil juga, aku lanjutkan membuka Kiyai Ibrahim  di halaman 126. 

Selama tiga puluh  30 menit pula aku nikmati novel keren itu di temani segelas kopi  luwak dan sebungkus  kacang sukro. "ah..benarkan ?!". aku merasa menang. Thesis ku benar. Kiyai Ibrahim dalam Novel Kyai Ibrahim dan Kerukunan Agama  itu tak lain adalah Pa Suparman. Ehh..Prof. Dr. Suparman, I.A, Msc. Itu. Dekan Fakultas Pasca Sarjana UNINDRA Jakarta  yang aku kenal selama ini. Penulis Novel buku itu, Iwan Mucipto Moelyono dengan hampir detail menggambarkan sosok Pa Suparman. 

Baik secara fisiknya, pikirannya maupun kiprahnya. Novel ini bercita  sastra  dan sedikit  rasa filsafat. Bercerita tentang hubungan langsung maupun  penulis dengan Kiyai Ibrahim. Aku kebetulan mantan mahasiswa sastra jurusan ilmu sejarah, jadi ga bengong-bengong amat saat membaca,memahami muatan filsafat dalam novel itu. Penulisnya memang seorang filsup, jadi wajarlah novelnya punya warna filsafatnya juga. Selain sudah aku temukan jawaban siapa Kiyai Ibrahim dalam novel itu, aku juga mengetahui banyak hal lain dari sosok Kiyai Ibrahim itu. Seorang duda di rumah yang besar yang selalu di ramaikan dengan teman, rekan,  Dosen dan mahasiswa-mahasiswinya. 

Di ruang tamu rumahnya, terdapat berbagai lambang agama: Patung Buddha, patung dan relief Maria, salib kecil, potret Sai Baba, peta meridian. Tidak ada kaligrafi dan gambar Ka'Bah.  Teman, rekannya dari berbagai status sosial, profesi,  keyakinan, agama yang berbeda. Mereka datang dengan berbagai keperluan: Silaturahim,  bimbingan thesis,  bisnis,  diskusi kerukunan antar agama atau hanya sekedar ngobrol  ngalor ngidul dan kangen-kangenan. Kiyai Ibrahim di kenal Kiyai tanpa Pesantren. 

Karena memang tidak memilki. Sebagaimana pemahaman umum,  umumnya Kiyai itu memilki pesantren, didalamnya terdapat para santri yang belajar, dan segala stereotif pesantren. Lalu mengapa ia di beri gelar Kiyai dengan lukisannya seperti  di gambarkan diatas?. Aku curiga, Gelar Kiyai nya di berikan oleh para pengagumnya karena Kiyai Ibrahim itu salah satu pengurus pusat NU  (Nahdlatul Ulama) Bidang Pendidikan dan pernah belajar di Irak dan Mesir bersama Gus Dur. Type Gus Dur dan Kiyai Ibrahim, menurut sang penulis sama. 

Sama sama Joker, pembuat, penikmat,  Joke.  Sebuah kesadaran akan realita sosial  yang  di lisankan dengan cara sederhana, menghibur, betapapun  getir dan rumitnya masalah.  Kiyai Ibrahim merasa tidak masalah gelar Kiyai nya di sebut atau tak disebut. Ia memilih tersenyum dan menikamti saja. Jika aku boleh mewakili apa yang ia pikirkan saat tersenyum mungkin bahasanya kira-kira " Jika Pesantren itu seperti yang di steorotifkan secara amam, maka UNINDRA tidak akan dianggap sebuah 'pesantren' dan Dekan Fakultas Pascasarjananya tidak akan dianggap sebagai 'Kiyai'.  Di ruang tamu rumahnya terdapat berbagai lambang agama. 

Bukan berarti dia multithesime. Ia mengaku tetap sebagai muslim. Baginya ciri orang beragama itu adalah "berbuat kebaikan !".  jadi, semua lambang agama itu tak ada gunanya, tanpa disertai dengan polah kebaikan yang di tebarkan.  Di rumahnya sering ada diskusi spiritual. Diikuti 5-7 orang dari berbagai agama dan status sosial. Kegiatan ini sedikit melukis Pa Suparman yang juga berkiprah sebagai pegiat dan aktivis dialog antar agama baik nasional maupun Internasional. Ini mengingatkanku pada pesantren di mana aku mondok saat aku menjadi mahasiswa di Solo. 

Pondok Pesantren  Mahasiswa Al-Muayyad Windan-solo di kenal sebagai pondok yang memfasilitasi dialog antar agama atau interfaith, terutama dimasa-masa konplik sosial jelang dan pasca reformasi 1998. Tujuannya untuk saling menghormati, memahami dan menjaga persatuan saja.  K.H. Dian Nafi' pengasuh pondoknya kini menjadi salah satu Wakil Syuriah Pengurus Wilayah NU Jateng. Tokoh bangsa, pejabat, aktivis yang punya perhatian terhadap pentingnya Interfaith dialog pun kerap rahuh,  hadir di pondok. Gusdur, Mahfud MD, Masdar F Masudi, Ulil absar Abdala, dll.

Kyai Ibrahim  juga di sangkakan sebagai penganut kejawen. Meditasi di pertemuan sungai dan laut di Gadok dengan beberapa rekannya yang berbeda keyakinan jadi salahsatu ukurannya. Namun ia hanya tersenyum dengan prasangka itu. Aku dan leluhurku  jika mau  jujur, mungkin terkategori muslim yang  terpapar 'kejawen' berdasar stereotif dan prasangka. Banyak doa berbahasa jawa-sunda warisan leluhurku yang masih ku pakai. Banyak ritual leluhur yang masih di praktekkan. Menghitung hari baik, meruwat,  kum-kum di sungai, berdoa di makam-makam keramat, dll.  Aku ga mau bahas soal gelar Professor, Dr. Dan Mscnya, karena itu sudah di pahami umum.

Memahami fakta ada sosok manusia dengan segala keunikan seperti Prof. Dr. Ibrahim Abdullah, MSc, mungkin agak sulit. Bahkan kalau tidak sadar dan sabar kita akan menjudge dengan dalih stereotif  awam yang sudah mapan. 

"Orang ga jelas lah, Bid'ah lah", dan kutukan lainnya. Bagiku,  mengenal Prof. Dr. Suparman Ibrahim Abdullah, MSc pasca membaca Novel Kiyai Ibrahim dan kerukunan Agama karya Iwan Setiyono Moelyono   seperti  mempertemukan kembali dengan para leluhurku, dengan guru-guru dan kyai-kyai ku. Jika saja dapat merasakan 'kegaduhan ontologis' dengannya, itu berkah bagiku. Di ujung tulisan izinkan aku memanggil Prof. Dr. Suparman Ibrahim Abdullah, MSc  tidak lagi dengan sapaan Pa Suparman tapi dengan sapaan agak  mengandung filosofis dan berbau karya sastra: Kiyai Ibrahim. Mohon di izinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun