Setelah pertemuan 15 Juli 2018 itu, esok malamnya  aku dikirimi dua  buku oleh Pa Suparman: Kiyai Ibrahim dan Kerukunan Agama dan Sate Kuda Seberang  'Sakura' Untuk Ayah  dalam bentuk  file PDF melalui surat elektronik, Email.  Aku menerimanya, setelah sebelumnya beliau menanyaiku melalaui WA, "Apakaha punya email ?".Â
Kedua buku elektronik itu langsung ku buka di androidku,ku baca sekilas dan kusimpan. Buku Novel Kyai Ibrahim dan kerukunan Agama ternyata bukan karya Pa Suparman, melainkan karya Iwan Mucipto Moelyono sementara buku satunya novel Sate Kuda Seberang  'Sakura' Untuk Ayah, inilah buku novel  karya Pa Suparman sendiri. Entah kenapa  aku lebih memilih Novel Kiyai Ibrahim dan kerukunan agama dulu untuk aku bongkar. Alasannya lebih pada rasa penasaranku pada sosok Kiyai Ibrahim dalam novel itu.Â
thesisku sebelumnya kan menduga  Kyai Ibrahim dalam  novel itu jangan-jangan Pa Suparman. Nah aku ingin segera tahu jawabannya.  Bagian Cover buku itu aku baca hingga tiga kali, ku baca pula daftar isinya, lalu akulangsung menuju Sang Kiyai di halaman 36. Hampir 30 menit ku baca sambil menunggu panggilan antrian pengambilan  blangko KTP Elektronik di Kantor dinas Dukcapil  Kabupaten Tangerang.  Selanjutnya, karena masih belum dipanggil juga, aku lanjutkan membuka Kiyai Ibrahim  di halaman 126.Â
Selama tiga puluh  30 menit pula aku nikmati novel keren itu di temani segelas kopi  luwak dan sebungkus  kacang sukro. "ah..benarkan ?!". aku merasa menang. Thesis ku benar. Kiyai Ibrahim dalam Novel Kyai Ibrahim dan Kerukunan Agama  itu tak lain adalah Pa Suparman. Ehh..Prof. Dr. Suparman, I.A, Msc. Itu. Dekan Fakultas Pasca Sarjana UNINDRA Jakarta  yang aku kenal selama ini. Penulis Novel buku itu, Iwan Mucipto Moelyono dengan hampir detail menggambarkan sosok Pa Suparman.Â
Baik secara fisiknya, pikirannya maupun kiprahnya. Novel ini bercita  sastra  dan sedikit  rasa filsafat. Bercerita tentang hubungan langsung maupun  penulis dengan Kiyai Ibrahim. Aku kebetulan mantan mahasiswa sastra jurusan ilmu sejarah, jadi ga bengong-bengong amat saat membaca,memahami muatan filsafat dalam novel itu. Penulisnya memang seorang filsup, jadi wajarlah novelnya punya warna filsafatnya juga. Selain sudah aku temukan jawaban siapa Kiyai Ibrahim dalam novel itu, aku juga mengetahui banyak hal lain dari sosok Kiyai Ibrahim itu. Seorang duda di rumah yang besar yang selalu di ramaikan dengan teman, rekan,  Dosen dan mahasiswa-mahasiswinya.Â
Di ruang tamu rumahnya, terdapat berbagai lambang agama: Patung Buddha, patung dan relief Maria, salib kecil, potret Sai Baba, peta meridian. Tidak ada kaligrafi dan gambar Ka'Bah.  Teman, rekannya dari berbagai status sosial, profesi,  keyakinan, agama yang berbeda. Mereka datang dengan berbagai keperluan: Silaturahim,  bimbingan thesis,  bisnis,  diskusi kerukunan antar agama atau hanya sekedar ngobrol  ngalor ngidul dan kangen-kangenan. Kiyai Ibrahim di kenal Kiyai tanpa Pesantren.Â
Karena memang tidak memilki. Sebagaimana pemahaman umum,  umumnya Kiyai itu memilki pesantren, didalamnya terdapat para santri yang belajar, dan segala stereotif pesantren. Lalu mengapa ia di beri gelar Kiyai dengan lukisannya seperti  di gambarkan diatas?. Aku curiga, Gelar Kiyai nya di berikan oleh para pengagumnya karena Kiyai Ibrahim itu salah satu pengurus pusat NU  (Nahdlatul Ulama) Bidang Pendidikan dan pernah belajar di Irak dan Mesir bersama Gus Dur. Type Gus Dur dan Kiyai Ibrahim, menurut sang penulis sama.Â
Sama sama Joker, pembuat, penikmat,  Joke.  Sebuah kesadaran akan realita sosial  yang  di lisankan dengan cara sederhana, menghibur, betapapun  getir dan rumitnya masalah.  Kiyai Ibrahim merasa tidak masalah gelar Kiyai nya di sebut atau tak disebut. Ia memilih tersenyum dan menikamti saja. Jika aku boleh mewakili apa yang ia pikirkan saat tersenyum mungkin bahasanya kira-kira " Jika Pesantren itu seperti yang di steorotifkan secara amam, maka UNINDRA tidak akan dianggap sebuah 'pesantren' dan Dekan Fakultas Pascasarjananya tidak akan dianggap sebagai 'Kiyai'.  Di ruang tamu rumahnya terdapat berbagai lambang agama.Â
Bukan berarti dia multithesime. Ia mengaku tetap sebagai muslim. Baginya ciri orang beragama itu adalah "berbuat kebaikan !". Â jadi, semua lambang agama itu tak ada gunanya, tanpa disertai dengan polah kebaikan yang di tebarkan. Â Di rumahnya sering ada diskusi spiritual. Diikuti 5-7 orang dari berbagai agama dan status sosial. Kegiatan ini sedikit melukis Pa Suparman yang juga berkiprah sebagai pegiat dan aktivis dialog antar agama baik nasional maupun Internasional. Ini mengingatkanku pada pesantren di mana aku mondok saat aku menjadi mahasiswa di Solo.Â
Pondok Pesantren  Mahasiswa Al-Muayyad Windan-solo di kenal sebagai pondok yang memfasilitasi dialog antar agama atau interfaith, terutama dimasa-masa konplik sosial jelang dan pasca reformasi 1998. Tujuannya untuk saling menghormati, memahami dan menjaga persatuan saja.  K.H. Dian Nafi' pengasuh pondoknya kini menjadi salah satu Wakil Syuriah Pengurus Wilayah NU Jateng. Tokoh bangsa, pejabat, aktivis yang punya perhatian terhadap pentingnya Interfaith dialog pun kerap rahuh,  hadir di pondok. Gusdur, Mahfud MD, Masdar F Masudi, Ulil absar Abdala, dll.
Kyai Ibrahim  juga di sangkakan sebagai penganut kejawen. Meditasi di pertemuan sungai dan laut di Gadok dengan beberapa rekannya yang berbeda keyakinan jadi salahsatu ukurannya. Namun ia hanya tersenyum dengan prasangka itu. Aku dan leluhurku  jika mau  jujur, mungkin terkategori muslim yang  terpapar 'kejawen' berdasar stereotif dan prasangka. Banyak doa berbahasa jawa-sunda warisan leluhurku yang masih ku pakai. Banyak ritual leluhur yang masih di praktekkan. Menghitung hari baik, meruwat,  kum-kum di sungai, berdoa di makam-makam keramat, dll.  Aku ga mau bahas soal gelar Professor, Dr. Dan Mscnya, karena itu sudah di pahami umum.