Mohon tunggu...
Nadira Syfha Febriyani
Nadira Syfha Febriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Undergraduate Public Relations and Digital Communication at State University of Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bullying Kembali Mencoreng Dunia Pendidikan Indonesia

19 April 2024   16:31 Diperbarui: 20 April 2024   00:45 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, kasus perundungan (bullying) kembali menjadi perbincangan hangat yang selalu tampil di berbagai media. Kasus ini bagaikan bom waktu yang meledak di tengah masyarakat, dan menunjukkan bahwa budaya perundungan (bullying) masih menjadi masalah serius yang sulit untuk diatasi. Dalam dunia pendidikan, Indonesia kembali tercoreng oleh tragedi perundungan (bullying) yang berhasil menelan korban jiwa, meninggalkan trauma mendalam, bahkan merenggut nyawa seseorang. Tragedi ini bagaikan tamparan keras yang menyadarkan kita bahwa aksi perundungan (bullying) telah menjadi subkultur di lingkungan sekolah yang terjadi dari waktu ke waktu. Lalu, sampai kapan tragedi demi tragedi ini akan terus terjadi? Apakah kita akan tinggal diam dan membiarkan bullying menghancurkan masa depan anak-anak Indonesia?

Tragedi Berulang: Kasus Perundungan (Bulllying) yang Berujung pada Trauma hingga Kematian

Data pengaduan dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2024, menunjukkan terdapat 141 kasus perundungan (bullying) dengan 48 persen di antaranya terjadi di satuan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perundungan (bullying) benar-benar memantik keprihatinan mendalam pada tubuh pendidikan Indonesia. 

Beredar-nya video viral mengenai aksi perundungan (bullying) di Binus School Serpong pada platform X milik @Bospurwa, menjadi contoh nyata tragedi yang mengejutkan di kalangan institusi ternama di Ibu Kota. Tragisnya, aksi yang dilakukan oleh sekelompok siswa bernama "Geng Tai (GT)" terhadap korban dilakukan secara berkelanjutan, yaitu pada 2 Februari 2024 dan 13 Februari 2024 yang berlangsung di Warung Ibu Gaul (WIG). Ironisnya, motif perundungan (bullying) yang terjadi di sekolah elit ini telah menjadi budaya yang terus menerus dilakukan sebagai syarat perekrutan sebuah geng selama 9 generasi belakangan ini. Hal ini mengakibatkan Arlo, sebagai korban mengalami trauma berat atas perlakuan kejam berupa kekerasan fisik dan ancaman yang dilakukan para pelaku, sehingga mengharuskannya menjalani perawatan di rumah sakit. 

Aksi perundungan (bullying) juga kerap kali terjadi di lingkup daerah. Lagi dan lagi tragedi perundungan (bullying) kembali memakan korban pada salah satu Pondok Pesantren di Kediri, Jawa Timur. Bintang, seorang santri Pondok Pesantren Tartilul Qur'an (PPTQ) Al Hanifiyyah, dinyatakan meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan brutal oleh para seniornya. Kematian Bintang yang awalnya ditutupi dengan alasan terjatuh di kamar mandi, akhirnya terungkap setelah ditemukannya luka lebam serta sundutan rokok di sekujur tubuhnya. Kasus perundungan (bullying) yang terjadi atas motif sulit diaturnya korban dalam menuntut ilmu di Pondok Pesantren, turut menambah daftar panjang tragedi perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan Indonesia. 

Di ibukota, kasus Binus School Serpong yang tak henti-hentinya menjadi sorotan media membuktikan, bahwa perundungan (bullying) dapat terjadi di mana saja, bahkan disekolah elit sekalipun. Motif yang diakui sebagai syarat perekrutan geng, menunjukkan budaya kekerasan yang telah mengakar dan terstruktur pada instansi tersebut. Berbeda dengan kasus di Pondok Pesantren Kediri yang dipicu oleh senioritas, menyatakan bahwa budaya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih marak terjadi di lingkungan pendidikan, termasuk pada instansi keagamaan seperti Pondok Pesantren. Namun demikian, tindakan yang diambil dalam kedua kasus ini pun berbeda. Binus School Serpong telah menindaklanjuti kasus ini kepada pihak berwajib dan mengeluarkan (drop out) beberapa pelaku. Di sisi lain, pihak Pondok Pesantren Kediri belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini. Sehingga, mengakibatkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya dan sistem yang diterapkan di kedua institusi tersebut.

Sisi Gelap Dunia Pendidikan: Menguak Realitas & Regulasi yang Bermasalah

Kasus perundungan (bullying) di Binus School Serpong dan Pondok Pesantren Kediri bagaikan sisi gelap dunia pendidikan yang tak mengenal batasan. Institusi yang diharapkan menjadi tempat terlahirnya individu yang bermoral, nyatanya menjadi tempat berkembangnya budaya kekerasan dan ketidakadilan yang sepatutnya tak terjadi di dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kasus ini  bagaikan sebuah petunjuk akan gagalnya sistem pendidikan Indonesia dalam menanamkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan pada para siswa.

Sumber: Rawpixel.com/Shutterstock
Sumber: Rawpixel.com/Shutterstock
Sistem Pendidikan yang Bermasalah 

Sistem pendidikan Indonesia yang hanya terfokus pada aspek akademis, nyatanya kurang memperhatikan pengembangan karakter siswa. Hal ini turut menciptakan individu yang minim empati, egois bahkan individualis seperti para pelaku perundungan (bullying) di Binus School Serpong dan Pondok Pesantren Kediri. 

Pengawasan dan Edukasi yang Lemah 

Kurangnya pengawasan dan edukasi juga menjadi faktor utama yang memperparah situasi. Sekolah, seakan menutup mata terhadap potensi bahaya yang telah lama mengintainya, minimnya edukasi terkait anti-bullying, turut menjadi celah bagi budaya kekerasan untuk terus berkembang di dalam ranah pendidikan. Begitupun orang tua yang terlena atas kesibukan yang dijalaninya, membuat dirinya kehilangan peran dan tanggung jawab dalam memberikan pendidikan moral kepada anak-anaknya. 

Ketidaktegasan Regulasi dan Sanksi

Ketidaktegasan hukum terhadap regulasi yang lemah dan pemberian sanksi yang tak setimpal, juga kerap menunjukkan sistem hukum yang jauh dari kata mampu dalam memberi perlindungan bagi para korban. Hal ini  tidak memberikan efek jera, bahkan membuat pelaku merasa aman dan tak takut untuk mengulang perbuatannya di kemudian hari.

Membangun Generasi Bermoral: Jadikan Upaya Kolaboratif sebagai Solusi & Strategi

Fakta dan permasalahan yang ada, membuktikan bahwa kasus perundungan (bullying) di sekolah telah menjadi masalah serius yang mencoreng nama baik pendidikan Indonesia. Dengan begitu, untuk mengatasinya diperlukan perubahan tegas yang berfokus pada penanaman nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya kolaboratif yang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti orang tua, pemerintah bahkan instansi sekolah sendiri.

Hal ini dapat dimulai dari langkah dan peran orang tua dalam mendekatkan diri kepada anak-anaknya, menanamkan budaya yang saling menghormati dan menghargai sejak dini, serta memantau aktivitas anak-anaknya di sekolah maupun luar sekolah.  Begitupun pemerintah, instansi ini dapat berkontribusi dengan memberikan pelatihan bagi para pendidik mengenai penanaman nilai-nilai moral dan pengembangan karakter, merevisi kurikulum pendidikan, serta mengalokasikan dana untuk menyeimbangkan aspek akademis dan pengembangan karakter yang akan diterapkan di sekolah. Sedangkan pihak sekolah dapat memberikan kampanye edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran mengenai bahaya perundungan (bullying) dan memperkuat sistem pengawasannya dengan menerapkan sanksi tegas terhadap para pelaku yang terlibat dalam aksi perundungan (bullying). Namun tak hanya itu, peran dan kesadaran dari diri sendiri juga tak kalah penting, kita perlu menanamkan bahwa budaya perundungan (bullying) bukan bagian yang dapat diterima, bahkan dinormalisasikan di dalam ranah pendidikan. 

Dengan upaya tersebut, maka hal ini diharapkan dapat membawa perubahan besar bagi dunia pendidikan Indonesia. Demi membangun generasi yang bermoral, semua pihak harus bahu-membahu dan bertanggung jawab untuk menciptakan sistem pendidikan yang aman dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, mari bersama-sama wujudkan pendidikan Indonesia yang bebas perundungan, karena masa depan pendidikan Indonesia yang gemilang ada di tangan kita.

Nadira Syfha Febriyani. Mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Digital, Universitas Negeri Jakarta angkatan 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun