pendidikan, Indonesia kembali tercoreng oleh tragedi perundungan (bullying) yang berhasil menelan korban jiwa, meninggalkan trauma mendalam, bahkan merenggut nyawa seseorang. Tragedi ini bagaikan tamparan keras yang menyadarkan kita bahwa aksi perundungan (bullying) telah menjadi subkultur di lingkungan sekolah yang terjadi dari waktu ke waktu. Lalu, sampai kapan tragedi demi tragedi ini akan terus terjadi? Apakah kita akan tinggal diam dan membiarkan bullying menghancurkan masa depan anak-anak Indonesia?
Akhir-akhir ini, kasus perundungan (bullying) kembali menjadi perbincangan hangat yang selalu tampil di berbagai media. Kasus ini bagaikan bom waktu yang meledak di tengah masyarakat, dan menunjukkan bahwa budaya perundungan (bullying) masih menjadi masalah serius yang sulit untuk diatasi. Dalam duniaTragedi Berulang: Kasus Perundungan (Bulllying) yang Berujung pada Trauma hingga Kematian
Data pengaduan dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2024, menunjukkan terdapat 141 kasus perundungan (bullying) dengan 48 persen di antaranya terjadi di satuan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perundungan (bullying) benar-benar memantik keprihatinan mendalam pada tubuh pendidikan Indonesia.Â
Beredar-nya video viral mengenai aksi perundungan (bullying) di Binus School Serpong pada platform X milik @Bospurwa, menjadi contoh nyata tragedi yang mengejutkan di kalangan institusi ternama di Ibu Kota. Tragisnya, aksi yang dilakukan oleh sekelompok siswa bernama "Geng Tai (GT)" terhadap korban dilakukan secara berkelanjutan, yaitu pada 2 Februari 2024 dan 13 Februari 2024 yang berlangsung di Warung Ibu Gaul (WIG). Ironisnya, motif perundungan (bullying) yang terjadi di sekolah elit ini telah menjadi budaya yang terus menerus dilakukan sebagai syarat perekrutan sebuah geng selama 9 generasi belakangan ini. Hal ini mengakibatkan Arlo, sebagai korban mengalami trauma berat atas perlakuan kejam berupa kekerasan fisik dan ancaman yang dilakukan para pelaku, sehingga mengharuskannya menjalani perawatan di rumah sakit.Â
Aksi perundungan (bullying) juga kerap kali terjadi di lingkup daerah. Lagi dan lagi tragedi perundungan (bullying) kembali memakan korban pada salah satu Pondok Pesantren di Kediri, Jawa Timur. Bintang, seorang santri Pondok Pesantren Tartilul Qur'an (PPTQ) Al Hanifiyyah, dinyatakan meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan brutal oleh para seniornya. Kematian Bintang yang awalnya ditutupi dengan alasan terjatuh di kamar mandi, akhirnya terungkap setelah ditemukannya luka lebam serta sundutan rokok di sekujur tubuhnya. Kasus perundungan (bullying) yang terjadi atas motif sulit diaturnya korban dalam menuntut ilmu di Pondok Pesantren, turut menambah daftar panjang tragedi perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan Indonesia.Â
Di ibukota, kasus Binus School Serpong yang tak henti-hentinya menjadi sorotan media membuktikan, bahwa perundungan (bullying) dapat terjadi di mana saja, bahkan disekolah elit sekalipun. Motif yang diakui sebagai syarat perekrutan geng, menunjukkan budaya kekerasan yang telah mengakar dan terstruktur pada instansi tersebut. Berbeda dengan kasus di Pondok Pesantren Kediri yang dipicu oleh senioritas, menyatakan bahwa budaya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih marak terjadi di lingkungan pendidikan, termasuk pada instansi keagamaan seperti Pondok Pesantren. Namun demikian, tindakan yang diambil dalam kedua kasus ini pun berbeda. Binus School Serpong telah menindaklanjuti kasus ini kepada pihak berwajib dan mengeluarkan (drop out) beberapa pelaku. Di sisi lain, pihak Pondok Pesantren Kediri belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini. Sehingga, mengakibatkan timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya dan sistem yang diterapkan di kedua institusi tersebut.
Sisi Gelap Dunia Pendidikan: Menguak Realitas & Regulasi yang Bermasalah
Kasus perundungan (bullying) di Binus School Serpong dan Pondok Pesantren Kediri bagaikan sisi gelap dunia pendidikan yang tak mengenal batasan. Institusi yang diharapkan menjadi tempat terlahirnya individu yang bermoral, nyatanya menjadi tempat berkembangnya budaya kekerasan dan ketidakadilan yang sepatutnya tak terjadi di dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kasus ini  bagaikan sebuah petunjuk akan gagalnya sistem pendidikan Indonesia dalam menanamkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan pada para siswa.
Sistem Pendidikan yang BermasalahÂ
Sistem pendidikan Indonesia yang hanya terfokus pada aspek akademis, nyatanya kurang memperhatikan pengembangan karakter siswa. Hal ini turut menciptakan individu yang minim empati, egois bahkan individualis seperti para pelaku perundungan (bullying) di Binus School Serpong dan Pondok Pesantren Kediri.Â
Pengawasan dan Edukasi yang LemahÂ